indeks
Sejarah Kaltara: Tragedi Istana Bulungan

uas Bulungan (sebelum pemekaran) setara dengan sebuah provinsi di Jawa. Karena itu, menjadi wajar apabila Bulungan kini menjadi bagian dari provinsi Kalimantan Utara.

Penulis: Aris Santoso

Editor:

Google News
Sejarah Kaltara: Tragedi Istana Bulungan
kaltara, istana bulungan, kalimantan utara, pangdam mulawarman

KBR68H, Jakarta - Luas Bulungan (sebelum pemekaran)  setara dengan sebuah provinsi di Jawa. Karena itu, menjadi wajar apabila Bulungan kini menjadi bagian dari provinsi Kalimantan Utara. Sebelum menjadi kabupaten di awal 1960-an, sistem pemerintahan Bulungan adalah Kesultanan, maka sebutannya adalah Kesultanan Bulungan. Sultan Bulungan terakhir adalah Sultan Maulana Muhammad Jalaluddin (memerintah 1931-1958). Kesultanan Bulungan sendiri memiliki riwayat yang panjang sejak masa penjajahan Belanda.

Salah satu peristiwa yang takkan terlupakan dalam perjalanan Kesultanan Bulungan, adalah saat terjadi pembakaran Istana Kesultanan Bulungan, di Tanjungselor,  pada 24 Juli  1964. Peristiwa ini seolah menjadi penanda, bahwa riwayat Kesultanan Bulungan telah sampai di batas akhir. Saat peristiwa pembakaran terjadi, penguasa keraton sedang lowong, karena Sultan Maulana Muhammad Jalaluddin telah  wafat beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada  21 Desember 1958.

Bagaimana asal muasal terjadinya pembakaran tersebut, sampai sekarang masih simpang-siur. Salah satu versi menyebut keterlibatan militer, yang melakukan serbuan ke istana.  Pangdam Mulawarwan (yang meliputi seluruh Kaltim) ketika itu adalah Soehario Padmodiwirio  atau biasa dipanggil Hario Kecik. Saat dihubungi KBR68H, Hario Kecik menyebut peristiwa itu sebagai “revolusi sosial” kecil, seperti yang pernah terjadi pada Kesultanan Langkat, Sumut, di masa-masa perang kemerdekaan seputar tahun 1947. Soehario secara tegas menyatakan, bahwa dia tidak memerintahkan pembakaran itu.

Menurut Hario Kecik, tindakan itu merupakan reaksi spontan rakyat setempat atas sikap pihak kesultanan, yang di mata rakyat dianggap melawan arus zaman. Yang dimaksud Hario Kecik, ketika itu sedang gencar-gencarnya konfrontasi dengan Malaysia, sementara pihak kesultanan cenderung memihak Malaysia, khsusnya Sabah. Keberpihakan kepada Malaysia karena ada bisnis karet mentah, antara Kesultanan dengan pihak Sabah.
Sampai saat ini, tragedi itu tertutup rapat. Upaya untuk merehabilitasi nama baik bangsawan dan kesultanan terbentur pada persoalan administratif, karena pewaris Kesultanan Bulungan, yakni Datu Maulana Muhammad Al Ma'mun bin Muhammad Djalaludin, berstatus warga negara Malaysia, dan mukim di Sabah.

Ketika Sultan Maulana wafat, status Bulungan masih merupakan Daerah Istimewa. Sultan Maulana merupakan Kepala Daerah Istimewa Bulungan (DIB) yang pertama dan terakhir. Pada tahun 1959, status DIB diubah menjadi Daerah Tingkat (Dati) II Bulungan, dengan ditetapkannya Andi Tjatjo Gelar Datuk Wiharja (1960-1963) sebagai Bupati Bulungan yang pertama. Bupati Andi Tjatjo Gelar Datuk Wiharja dilantik pada tanggal  12 Oktober 1960. Tanggal tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Jadi Kota Tanjungselor dan Kabupaten Bulungan.

Kemakmuran Kesultanan Bulungan di masa lalu banyak ditopang oleh hasil minyak, yang produksinya melimpah, utamanya di Pulau Bunyu dan Pulau Tarakan. Produksi minyak dikelola oleh perusahaan Belanda, yaitu BPM (Bataafse Petroleum Maatschappij),  dan perusahaan ini memberikan royalti cukup besar kepada pihak Sultan Bulungan.
Minyak di Tarakan pada masanya memang terkenal dengan kualitas terbaik (world purest oil). Sebuah harian yang terbit di Batavia (Jakarta) pada tahun 1932 menulis soal kualitas minyak Tarakan:“kwaliteit minjak boemi di Tarakan tjoekoep baik, bisa dikasi masuk dalam tank  dengan begitu saja”

Kekayaan Kesultanan Bulungan juga bisa digambarkan dengan hajatan pernikahan akbar putra mahkota Sultan Kasimuddin, yaitu Datuk Achmad Sulaiman (kelak dikenal dengan Sultan Achmad Sulaiman), pada awal dasawarsa 1920-an. Datuk Acmad Sulaiman menikah dengan putri Sultan Langkat, Sumut. Pernikahan ini  disebut-sebut sebagai salah satu pernikahan terbesar dalam sejarah Kesultanan Bulungan.

Sultan Kasimuddin memerintahkan kepada kerabat istana, untuk meramaikan pernikahan itu di Istana Kesultanan Langkat. Untuk keperluan itu telah dikirim sekitar 300 pemuda berdarah Bulungan dan Tidung berangkat menuju Langkat, dengan mencarter kapal khusus.

kaltara
istana bulungan
kalimantan utara
pangdam mulawarman

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...