NASIONAL
Ruang Digital Aman dan Sehat bagi Anak, Menakar Efektivitas PP Tunas
PP Tunas bertujuan menciptakan ruang digital yang aman dan sehat bagi anak-anak di Indonesia.

KBR, Jakarta - Efektivitas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggara Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) masih dipertanyakan sejumlah kalangan.
Pasalnya, data dari National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) selama empat tahun terakhir menyebutkan ada 5.566.015 kasus pornografi anak di Indonesia, sehingga menjadikannya sebagai yang terbanyak keempat di dunia dan kedua di ASEAN.
Selain itu, 48 persen anak-anak Indonesia mengalami perundungan online, dan sekitar 80.000 anak di bawah 10 tahun terpapar judi online.
Diketahui, PP Tunas bertujuan menciptakan ruang digital yang aman dan sehat bagi anak-anak di Indonesia.
PP Tunas mengatur kewajiban platform digital, seperti media sosial, game online, dan layanan keuangan digital, untuk melakukan literasi digital, melarang profiling anak untuk tujuan komersial, dan memastikan perlindungan anak lebih diutamakan daripada kepentingan komersial.
Menurut peneliti di Center for Trusted Internet and Community – National University of Singapore (CTIC-NUS), Eka Nugraha Putra, PP Tunas hadir tanpa proses yang transparan.
"Meskipun sudah disahkan Presiden Prabowo pada Jumat, 28 Maret 2025, tapi publik baru bisa mengakses naskahnya belakangan," katanya.
Pelibatan pihak-pihak terkait dalam pembahasannya juga dinilai tidak jelas. Lembaga-lembaga masyarakat sipil hanya dilibatkan saat awal atau pengumpulan pendapat, tapi kemudian "ditinggalkan" ketika proses penyusunan substansi.
Pendapat pakar hukum pidana
Ahli Hukum Pidana Anak dari Universitas Bina Nusantara, Ahmad Sofian berpendapat senada.
Menurutnya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) terkesan "menutup diri" dalam proses finalisasi PP Tunas.
“Lembaga-lembaga masyarakat sipil diajak ketika hanya pengumpulan pendapat. Ketika sudah jadi drafting, kita enggak diajak lagi didalamnya itu seperti apa. Komdigi ini "nakal" menurut saya, mau melegitimasi saja prosesnya yang katanya melibatkan masyarakat, tapi ketika sudah jadi draft kita tidak dilibatkan lagi bagaimana substansinya,” tegasnya dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (14/4/2025).
Ahmad juga menjelaskan tentang aturan PP Tunas yang mengatur tiga aspek utama yaitu Perlindungan data pribadi anak, Keselamatan anak, dan Kesejahteraan Anak.
Dikatakan Ahmad, regulasi ini mencakup pembatasan usia untuk mengakses ruang digital, kewajiban platform untuk mengedukasi orang tua dan anak, hingga sanksi administratif bagi pelanggarnya.
Namun, menurutnya, sanksi administratif yang diberikan terlalu bergantung pada Kementerian Komdigi, tanpa adanya lembaga independen.
"Seharusnya ada lembaga independen yang bisa menilai yang secara obyektif siapa yang salah. Platform, pemerintah, atau orang tua, bukan hanya Komdigi," ujarnya.
Ahmad juga menjelaskan, sanksi administratif yang dimaksud dalam PP Tunas ini adalah teguran, peringatan, penutupan akses untuk sementara serta penutupan akses permanen.
“Saya pernah menyatakan, seharusnya pengaturan tentang pembatasan anak di dunia digital ini ada dalam undang-undang, bukan dalam PP. Sehingga ada lembaga independen yang bisa menilai secara obyektif tentang pelanggaran yang dilakukan penyelenggara sistem elektronik,” tegas Ahmad.
Diketahui, PP Tunas mengatur batasan usia untuk mengakses aplikasi digital dan konten tertentu, dengan anak dibawah 13 tahun dibatasi menggunakan aplikasi digital.
Dari sisi pembatasan usia itu, Ahmad menilai, aturan itu merupakan langkah yang penuh risiko dalam membatasi ruang gerak anak untuk berekspresi dan mengembangkan diri.
“Situasi digital bagi anak itu adalah bagian daripada children rights (hak-hak anak) untuk beraktualisasi, untuk mengembangkan apa yang ada pada dirinya, bukan membatasi. Padahal pembatasan usia bisa juga akhirnya membatasi ruang gerak anak di dunia digital,” imbuh Ahmad.
Menurutnya, pendekatan yang lebih ideal adalah mengatur konten yang boleh dan mana yang tidak boleh diakses.
"Bukan hanya membatasi berdasarkan usia. Jadi sebetulnya dunia digital yang seperti apa yang boleh diakses anak, dan dunia digital apa yang tidak boleh diakses anak. Bukannya batasan usia. Tapi mana yang boleh dan mana yang enggak boleh,” ujar Ahmad.
Ahmad pun mengkritik ketimpangan fokus dalam regulasi ini yang hanya menyoroti tanggung jawab penyelenggara sistem elektronik. Padahal, menurutnya, permasalahan dunia digital bersifat multidimensi yang melibatkan negara, orang tua, dan masyarakat.
“Tidak bisa hanya menyalahkan platform. Negara juga punya tanggung jawab menciptakan ruang publik alternatif bagi anak,” katanya seraya menekankan pentingnya literasi digital.
Pentingnya Lembaga Independen
Urgensi kehadiran lembaga independen untuk menilai pelanggaran penyelenggaraan sistem elektronik juga disampaikan Eka Nugraha Putra.
"Keberadaan lembaga independen itu penting, tapi pembentukan lembaga baru ditengah semangat efisiensi anggaran birokrasi justru malah bisa kontraproduktif. Untuk itu, sebagai alternatif, diusulkan agar lembaga seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) diberi peran lebih aktif. Saya pikir lebih ideal kalau mungkin memanfaatkan lembaga yang sudah ada, seperti KPAI,” ujar Eka.
Eka juga menyoroti salah satu kelemahan PP Tunas yaitu sebagai regulasi yang belum sepenuhnya sinkron dengan undang-undang lain, terutama Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Undang-undang yang ada saja masih belum sempurna secara implementasi. Jadi kenapa kemudian membuat PP baru yang juga kemudian belum transparan?" heran Eka.
Karena negara belum mampu menyediakan ruang publik yang cukup, menurut Eka, anak-anak pun akhirnya "lari" ke telepon seluler dan media sosial. Akibatnya, muncul adiksi dan risiko negatif lainnya.
Eka juga menyayangkan, alih-alih mendorong kebijakan berbasis nilai kekeluargaan dan edukasi, pemerintah malah justru lebih menekankan pendekatan represif.
"Negara seperti Australia dan Inggris yang sukses karena mengedepankan pendekatan edukatif dan penyediaan ruang publik ramah anak bisa menjadi teladan yang patut ditiru," katanya.
Baca juga:
Layanan Mudik Tak Ramah Anak, Laporkan ke KPAI
Teman Tuli Tersentuh Film Animasi Jumbo, Apa Harapan Mereka?
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!