NASIONAL

Ramai-Ramai Tolak Pemilu 2024 dengan Sistem Proporsional Tertutup

Sistem pemilu dengan proporsional tertutup dianggap bentuk kemunduran demokrasi. Sebab, rakyat tidak bisa memilih langsung anggota DPR dan DPRD yang dicalonkan partai politik.

AUTHOR / Muthia Kusuma Wardani

Pemilu
Ilustrasi pemilu. (Foto: ANTARA/Aji Setyawan)

KBR, Jakarta - Pekan depan Mahkamah Konstitusi (MK) bakal menggelar sidang uji materi Undang-Undang Pemilu mengenai sistem pemilu proporsional terbuka. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Presiden, Komisi Pemilihan Umum dan DPR.

Juru bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono mengatakan, pemeriksaan ketiga pihak itu akan menjadi pertimbangan hakim konstitusi dalam memutus perkara.

“Ini nanti sudah memasuki sidang ketiga, sebelumnya sudah disidangkan, di November dan Desember kemarin. Nanti tanggal 17 Januari 2023 persidangan ketiga itunagendanya mendengarkan keterangan Presiden, DPR dan pihak terkait dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum,” ucap Fajar dalam keterangan pers, Senin (9/1/2023).

Gugatan uji materi ini diajukan pengurus PDI Perjuangan.

Dalam pengujian Undang-undang Pemilu ini, para pemohon menilai pemilihan legislatif dengan sistem pemilu proporisional terbuka dapat menimbulkan persoalan multikompleks. Mulai dari boros anggaran, meningkatkan praktik politik uang, hingga menimbulkan kompetisi antar-caleg yang tidak sehat.

Pemohon meminta agar MK mengembalikan sistem pemilu ke sistem proporsional tertutup, yaitu calon anggota legislatif terpilih ditunjuk oleh ketua umum partai politik.

Perwakilan pemohon, pengurus PDI Perjuangan Demas Brian Wicaksono mengatakan partai politik harus diberi otoritas menentukan kadernya sebagai wakil partai di parlemen sesuai sistem coblos lambang partai yang pernah diterapkan pada Pemilu 1999.

Polemik ini turut menyeret nama Ketua KPU Pusat Hasyim Asyari yang pernyataannya pada akhir tahun lalu dianggap berpihak pada sistem proporsional tertutup. Hasyim Asyari pun dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Namun, dugaan keberpihakan itu ditepis KPU. Tenaga Ahli KPU, Andika Pranata Jaya menegaskan lembaganya patuh terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Ia menekankan, KPU tidak pernah membentuk opini terkait penerapan sistem pemilu proporsional tertutup pada Pemilu 2024.

"KPU adalah pelaksana undang-undang. Sampai hari ini kan kita secara terbuka ya. Tapi nanti kalau perintah undang-undangnya dilakukan tertutup tentu KPU berkewajiban melaksanakan perintah undang-undang," ucap Andika dalam webinar yang disiarkan MIPI, Sabtu (7/1/2023).

Baca juga:

Kemunduran demokrasi

Gugatan uji materi serta pernyataan Ketua KPU itu mendapat kritik dari sejumlah partai politik. Mereka menilai Ketua KPU melampaui wewenang yang dimilikinya. 

Dari sembilan partai yang punya kursi di DPR, delapan partai menolak sistem proporsional tertutup. Lima di antaranya merupakan partai pendukung pemerintah.

Akhir pekan lalu, delapan partai politik itu mengadakan pertemuan dan berkomitmen menolak wacana penyelenggaraan Pemilu 2024 dengan sistem proporsional tertutup.

Inisiator pertemuan, yakni Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto mengatakan sistem proporsional tertutup merupakan bentuk kemunduran demokrasi. Sebab, rakyat tidak bisa memilih langsung anggota DPR dan DPRD yang dicalonkan partai politik. Mereka juga meminta KPU menjaga independensi.

"KPU tetap menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu dengan menjaga netralitas dan independensinya sesuai peraturan perundang-undangan. Keempat, kami mengapresiasi kepada pemerintah yang telah menganggarkan anggaran Pemilu 2024, serta pada penyelenggara pemilu terutama KPU agar tetap menjalankan tahapan-tahapan Pemilu 2024 sesuai dengan yang disepakati bersama," ucap Airlangga dalam jumpa pers, Minggu, (08/01/2023).

Berbeda dengan suara mayoritas parpol, PDIP mendukung sistem proporsional tertutup. Namun, Ketua DPP PDIP, Puan Maharani menegaskan partainya akan mengikuti putusan MK.

“Jadi kalau memang kemudian adanya judicial review yang akan mengusulkan proporsional tertutup, ya silakan saja MK memutuskan. Toh kemarin-kemarin juga proporsional terbuka PDI Perjuangan menyetuhui hal tersebut,” ucap Puan kepada wartawan, Senin, (07/01/2023).

Pemilu dengan sistem coblos lambang partai saja juga mendapat penolakan luas dari masyarakat.

Pengamat politik dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Sirojudin Abbas mengatakan berdasarkan survei mayoritas masyarakat menginginkan bisa memilih langsung wakil rakyat mereka.

“Kalau kita tanya apakah Undang-Undang yang mendorong lahirnya sistem pemilihan yang lebih liberal, yang lebih memberikan ruang kebebasan individu untuk memilih langsung calonnya, apakah itu keinginan masyarakat luas? Belum tentu juga, itu adalah konsesus elite. Itu sebabnya kalau kita lihat saat ini opini publik, clear betul diatas 70% masyarakat menginginkan pemilihan anggota-anggota DPR dan DPRD itu dipilih langsung oleh masyarakat, bukan oleh partai politik. Itu sekitar 70% disurvei terakhir kita di bulan Agustus,” ucap Sirojudin pada siaran daring, Kamis (5/1/2023).

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!