NASIONAL
Rafael Alun, Firli dan Pejabat Negara yang Tak Lapor Harta Kekayaan secara Benar
KPK meminta penyelenggara negara untuk melaporkan harta kekaryaannya ke LHKPN. Sebab, LHKPN berfungsi mengawasi sekaligus menjaga akuntabilitas kepemilikan harta pejabat negara.
AUTHOR / Ardhi Ridwansyah
KBR, Jakarta - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Senin (8/1/2024) memvonis eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak di Kementerian Keuangan Rafael Alun Trisambodo dengan hukuman 14 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan penjara.
“Menyatakan terdakwa Rafael Alun Trisambodo, telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan pada dakwaan ke satu Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang RU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ujar Hakim Ketua Suparman Nyompa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (8/1/2024).
Rafael Alun merupakan satu dari sekian pejabat negara yang tidak menjalankan kewajibannya melaporkan harta kekayaan secara benar. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dibuat Rafael Alun tidak sesuai profilnya sebagai pegawai pemerintah.
Pada 2022, Rafael melaporkan LHKPN dengan kekayaan sebesar lebih dari 56 miliar. KPK mencurigai laporan itu, lantaran ada sejumlah aset tak dilaporkan. Rafael bahkan mencatut nama orang lain guna menyamarkan harta kekayaan.
Dari persidangan, pengadilan menyatakan Rafael terbukti bersalah menerima gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut sebenarnya persentase tingkat pelaporan dan kepatuhan terkait Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) 2022 membaik. Hal itu terlihat dari besarnya persentase tingkat pelaporan maupun kepatuhan.
Dari data yang dipaparkan, Mahkamah Agung memiliki jumlah wajib LHKPN, 18.240-an dengan persentase pelaporan 99 persen, dan kepatuhan 96 persen. Kemudian, di Polri ada 16.780-an wajib LHKPN dengan persentase pelaporan 99 persen dan kepatuhan 89-an persen.
Sementara Kejaksaan, terdapat 12.330-an wajib LHKPN, dengan tingkat pelaporan 97-an persen dan kepatuhan 87-an persen. Lalu, KPK sendiri ada 1.630 wajib LHKPN, masing-masing 100 persen.
“Kita lihat persentase pelaporannya sudah membaik kecuali Kejaksaan, tapi kepatuhan masih jadi isu, di Mahkamah Agung sudah membaik, 96 persenan, tapi di kepolisian dan kejaksaan masih menyisakan 10 persen dan sekitar 12 persen lagi yang belum menyampaikan surat kuasa, sekali lagi dampak surat kuasa ini pasti tentang kemampuan kita untuk memeriksa,” kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, dalam diskusi media “Urgensi Pemanfaatan LHKPN dalam Pemberantasan Korupsi,” dipantau lewat YouTube KPK RI.
Yang dimaksud pelaporan adalah jumlah penyelenggara negara yang telah menyampaikan LHKPN, sementara kepatuhan adalah jumlah LHKPN yang terverifikasi lengkap oleh KPK.
KPK meminta penyelenggara negara untuk melaporkan harta kekaryaannya ke LHKPN. Sebab, LHKPN berfungsi mengawasi sekaligus menjaga akuntabilitas kepemilikan harta pejabat negara.
Baca juga:
Pejabat lain yang didiuga tak menyetor dengan jujur LHKPN-nya, ialah bekas Ketua KPK, Firli Bahuri. Pemeriksaan oleh Dewan Pengawas KPK pada Desember 2023 menyimpulkan ada sejumlah aset Firli yang tak dilaporkan ke LHKPN.
Aset-aset Firli yang tak dilaporkan di antaranya unit apartemen di Dharmawangsa pada April 2020, dan sebidang tanah seluas 2.700-an meter persegi di Desa Cikaret Kecamatan, Kabupaten Sukabumi.
Eks Pimpinan KPK Saut Situmorang mendorong adanya pendalaman tentang harta-harta Firli yang tak dilaporkan. Saut menduga harta tersebut diperoleh dengan cara yang sama seperti dalam kasus Firli dengan bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, yakni dugaan pemerasan.
Menurut Saut, harta kekayaan mesti jelas sumbernya berasal dari mana. Jika tidak dilaporkan maka patut dicurigai harta itu hasil TPPU.
“Enggak mau melaporkan berarti ada sesuatu, jadi saya sependapat itu didalami dan saya pikir itu pasti pencucian uang,” ujar Saut kepada KBR, Rabu (27/12/2023).
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya menyebut, ketidakjujuran Firli melaporkan LHKPN bisa menjadi pintu masuk aparat penegak hukum untuk mendalami dugaan gratifikasi yang menjerat bekas ketua KPK itu.
Menurut dia, aparat bisa berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk mengecek ada tidaknya transaksi mencurigakan yang dilakukan Firli.
“Yang mana nanti bisa dilihat apakah dari transaksi mencurigakan tersebut apakah ada harta kekayaan Firli Bahuri yang berubah bentuk, disamarkan, atau dikirim ke orang lain. Nantinya hal tersebutlah yang kemudian bisa menjadi pintu masuk yang bersangkutan bisa disangkakan telah melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,” kata Diky kepada KBR, Rabu, (27/12/2023).
Kini Firli berstatus sebagai tersangka kasus pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo dan gratifikasi. Saat ini proses hukum berada di tahap melengkapi berkas guna nantinya segera disidangkan.
Editor: Agus Luqman
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!