BERITA

PVI: Demokrasi di Media Sosial Tidak Perlu Modal

Partisipasi masyarakat dalam pemilu presiden 2014 begitu tinggi. Dan yang paling fenomenal, partisipasi dari para pengguna media sosial atau internet yang dikenal dengan netizen.

AUTHOR / Yudi Rachman

PVI: Demokrasi di Media Sosial Tidak Perlu Modal
pengguna media sosial, netizen dalam pemilu presiden, pengguna media sosial dalam pemilu

KBR, Jakarta - Partisipasi masyarakat dalam pemilu presiden 2014 begitu tinggi. Dan yang paling fenomenal, partisipasi dari para pengguna media sosial atau internet yang dikenal dengan netizen. Mereka di dunia maya aktif mendukung pasangan calon masing-masing, mulai dari sekedar terlibat menyebarkan informasi, mulai dari kegiatan pasangan calon hingga informasi tahapan pemilu dari waktu ke waktu. 

Puncak aktivitas mereka di media sosial saat masuk masa kampanye pemilihan presiden 2014. Perang opini dan data berkembang di jejaring sosial mulai dari twitter hingga facebook. Bahkan, perbincangan dan perang antar pendukung di media sosial sempat beberapa kali menduduki trend topic dunia di jejaring sosial twitter.

Dalam perbincangan Pilar Demokrasi di KBR, terungkap perang opini di media sosial berkaca dari pemilu presiden di Amerika Serikat yang memenangkan Obama sebagai Presiden.

Salah seorang pegiat media sosial Ulin Yusron mengklaim akun pribadinya di jejaring sosial didedikasikan untuk kepentingan publik. Misalnya untuk menyuarakan sikapnya kepada calon presiden Prabowo Subianto, “Saya melalui media sosial melawan Prabowo Subianto. Saya dibully, saya lewati saja,” kata Ulin.

Tapi Ulin menegaskan data dan opini yang disebarkan harus bisa dipertanggungjawabkan agar tidak menjadi boomerang bagi calon yang didukung. Uli mengaku sikapnya terhadap salah satu calon presiden banyak mendapatkan dukungan dari pengguna yang satu visi, “Ada berkah, berlimpahnya follower di pemilu presiden 2014. Yang perlu diperhatikan menjaga kredibilitas agar dipercaya follower,” ungkap Ulin.

John Muhammad dari Public Virtue Indonesia menilai menggunakan media sosial untuk kegiatan politik itu riskan. “Berbagai cara ditempuh untuk menaikkan pamor calon tertentu dan merendahkan calon lainnya. Ada upaya menggunakan strategi kotor dan negatif di media sosial. Untuk itu, perlu kedewasaan untuk mencerna opini dan data yang muncul di jejaring sosial di masa kampanye politik,” jelasnya. Namun menurutnya, kampanye di jejaring sosial hanya berdampak positif jangka pendek.

John menambahkan media sosial menempatkan pada penggunanya secara sejajar. Misalnya, di akun media sosial, seorang warga bisa menyapa dan memarahi presiden. “Di media sosial ada kesetaraan, itu harus dijaga. Kita tidak bisa larang kebebasan jejaring sosial. Saringannya ada di warga digital,” jelasnya.

Hal lain, untuk bisa menjadi warga media sosial yang baik, harus punya kredibilitas dan konten. Jika bicara elit politik, elit politik yang dipercaya dan tidak cacat moral akan mendapatkan banyak dukungan. Namun bila sebaliknya, akun elit tersebut akan mendapatkan serangan. Itu merugikan elit dan partai politik yang didukungnya, “Faktor penting dalam politik digital, yaitu elite politik dan konten. Demokrasi di media sosial enak, tidak perlu modal. Untuk itu dibangun kredibilitas,” tegas John Muhammad dari Public Virtue Indonesia.

Editor: Fuad Bakhtiar

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!