NUSANTARA
Proyek Geothermal Melanggar HAM, Koalisi Sipil Desak Hentikan
Kehilangan tanah, ujar Renie lagi, berarti kehilangan identitas, sejarah, dan koneksi spiritual masyarakat dengan nenek moyang mereka.

KBR, Jakarta - Koalisi masyarakat sipil "Aksi! untuk Gender, Sosial dan Keadilan Ekologis" mendesak pemerintah menghentikan perluasan proyek Geothermal Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu, di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Juru Bicara "Aksi!", Renie Aryandani mengatakan, PLTP bukan merupakan solusi iklim, tetapi penambah beban perubahan iklim yang sudah terjadi dan dialami warga sekitar.
"Kenyataan di lapangan jauh berbeda. Dibanyak wilayah Indonesia termasuk di Poco Leok, NTT, proyek geothermal terbukti membawa dampak merugikan bagi lingkungan dan kehidupan sosial, ekonomi, masyarakat lokal dan adat. Dampaknya tidak hanya terbatas pada kerusakan ekologis tetapi juga menciptakan krisis sosial yang serius," kata Renie melalui rilis yang diterima KBR Media, Minggu, (6/10/2024).
Renie menambahkan, proyek geothermal juga dianggap solusi iklim palsu yang memicu pelanggaran HAM. Itu sebab, ia mendesak pemerintah agar menghormati keinginan warga Poco Leok yang menolak perluasan proyek tersebut, dan segera menghentikan segala aktivitas di lapangan.
Dampaknya, kata Renie, tidak hanya terbatas pada kerusakan ekologis, tetapi juga menciptakan krisis sosial yang serius.
Pertama, proses eksplorasi dan eksploitasi geothermal melibatkan pengeboran yang dalam ke dalam perut bumi, sehingga berpotensi memicu bencana alam seperti gempa bumi, terutama di daerah rawan gempa seperti Poco Leok yang berada di zona ring of fire.
"Aktivitas pengeboran ini mengganggu kestabilan tanah dan sering kali menimbulkan getaran seismik, yang meningkatkan risiko gempa buatan atau gempa induksi," ujarnya.
Kasus semacam ini telah banyak terjadi di wilayah lain di dunia yang mengembangkan geothermal seperti di Korea Selatan, Italia dan Swiss. Selain itu, eksploitasi geothermal berpotensi mencemari sumber air bersih.
"Sumber-sumber air yang menjadi tumpuan utama masyarakat di sekitar proyek geothermal tercemar oleh zat-zat kimia beracun yang dilepaskan selama proses pengeboran," prihatinnya.
Di beberapa lokasi geothermal lain, seperti di Dieng dan Kamojang, kebocoran zat berbahaya seperti H2S (Hydrogen Sulfide), gas beracun yang sangat mematikan, telah tercatat meracuni udara di sekitar lokasi proyek.
Zat ini bisa menimbulkan dampak kesehatan serius bagi warga, mulai dari gangguan pernapasan hingga kematian, sebagaimana yang terjadi di proyek geothermal Sorik Marapi di Sumatera Utara. Kebocoran H2S di sana pada tahun 2021 menyebabkan kematian lima warga dan lebih dari seratus lainnya mengalami keracunan.
Tidak hanya itu, penambangan panas bumi juga membutuhkan pasokan air dalam jumlah yang sangat besar untuk proses injeksi dan pendinginan. Akibatnya, pasokan air untuk keperluan irigasi pertanian dan kebutuhan rumah tangga masyarakat setempat berkurang drastis.
"Ironisnya, proyek yang diklaim sebagai solusi krisis iklim justru memperparah krisis air yang sudah melanda banyak wilayah di Indonesia, termasuk NTT yang dikenal sebagai daerah yang rawan kekeringan," ujarnya.
Secara ekonomi, geothermal juga meminggirkan warga setempat. Sebagian besar tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proyek geothermal adalah tenaga ahli dari luar daerah, sehingga hanya sedikit sekali masyarakat setempat yang dipekerjakan.
Selain itu, pengembangan proyek ini sering kali tidak memperhitungkan dampak sosial-ekonomi jangka panjang terhadap masyarakat yang tanahnya tergusur dan mata pencahariannya hancur.
Tanah adat yang selama ini menjadi sumber utama penghidupan masyarakat, terutama untuk bertani dan berladang, kini berubah menjadi area industri yang tidak dapat lagi mereka manfaatkan dan tercemar.
Di Poco Leok, ketidakadilan ini semakin terlihat jelas ketika masyarakat adat yang selama ini hidup berdampingan dengan alam dipaksa untuk menerima penggusuran dan perampasan lahan mereka, tanpa kompensasi yang memadai.
Padahal, kata Renie, wilayah ini memiliki nilai spiritual yang tinggi bagi masyarakat adat Manggarai, di mana tanah dan alam dipandang sebagai sumber kehidupan dan tempat tinggal roh leluhur.
Kehilangan tanah, ujar Renie lagi, berarti kehilangan identitas, sejarah, dan koneksi spiritual masyarakat dengan nenek moyang mereka.
"Aksi!" pun menilai, solusi iklim seharusnya tidak hanya dilihat dari aspek pengurangan emisi karbon, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan budaya terhadap masyarakat lokal.
"Pengembangan geothermal yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan merusak lingkungan secara sistematis, hanya memperparah krisis yang ada. Alih-alih menjadi solusi, geothermal telah menjadi penyebab baru dari ketidakadilan sosial dan ekologi," urainya.
Proyek geothermal seperti di Poco Leok sebagian besar didanai lembaga keuangan internasional yang mempromosikan transisi energi rendah karbon.
Namun, dalam pelaksanaannya, proyek ini tidak sejalan dengan prinsip keadilan iklim yang mengedepankan hak masyarakat adat, keadilan gender, dan keberlanjutan sosial dan lingkungan.
Di sisi lain, Koalisi juga menuntut penyelidikan menyeluruh atas tindakan kekerasan dan intimidasi yang dilakukan aparat.
"Meminta pertanggungjawaban mereka yang terlibat dalam pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan lokal. Serta memberikan reparasi yang memadai bagi mereka yang mengalami trauma fisik dan psikologis akibat tindakan represif tersebut," katanya.
Pelanggaran HAM
Sementara itu, dalam catatan Koalisi Masyarakat Sipil yang dihimpun LSM Hak Asasi Manusia, KontraS, periode November 2019-Oktober 2023, tercatat 79 peristiwa pelanggaran HAM yang berkaitan dengan Proyek Strategis Nasional (PSN).
KontraS juga mencatat empat tindakan pelanggaran yang sering kali digunakan untuk membungkam masyarakat adalah upaya kriminalisasi, intimidasi, okupasi lahan, dan penangkapan sewenang wenang.
Selain itu, Kepolisian merupakan institusi dominan pelaku pelanggaran HAM, disusul Pemerintah dengan dan Swasta/Perusahaan.
Koalisi Sipil menganggap kriminalisasi dan intimidasi marak dalam pelaksanaan PSN, menunjukkan wajah stagnasi dan regresi demokrasi selama rezim Jokowi berkuasa.
Baca juga:
Pemred Floresa Ditangkap saat Meliput Demo Proyek PSN, Polisi Dinilai Ancam Kebebasan Pers
Hari ini, Senin (7/10/2024) pukul 10.30 Wita, Dewan Pers, aktivis pers, sejumlah warga Poco Leok didampingi kuasa hukumnya menyelenggarakan konferensi pers di Labuan Bajo, NTT, terkait perkembangan kasus dugaan penganiayaan yang dialami Pemimpin Redaksi Floresa, dan warga adat Poco Leok. Peristiwanya terjadi pada Rabu (2/10/2024).
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!