NASIONAL

Privatisasi Pelayanan Publik Perlahan 'Membunuh' Perempuan

KBR68H, Jakarta

AUTHOR / Pebriansyah Ariefana

Privatisasi Pelayanan Publik Perlahan 'Membunuh' Perempuan
perempuan, kartini, Kapal institut

KBR68H, Jakarta – Utami (18) sudah beberapa tahun belakangan ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah rumah di daerah Bekasi, Jawa Barat. Pendidikan terakhirnya adalah SD, ketika masih tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah.


“Dulu Ibu saya tanya, saya mau lanjutin sekolah atau enggak. Saya bilang, biar adik saya yang laki-laki saja yang terusin sekolah. Saya nggak usah,” katanya. Adiknya kini melanjutkan pendidikan di sekolah swasta.


Utami menjadi satu dari sekian banyak perempuan yang terpaksa atau memilih menghentikan pendidikannya karena uang jadi kendala. Ayah Utami hanyalah buruh tani, sementara ibunya bekerja sebagai penjual jamu keliling. Dengan total empat anak di keluarga ini, anggaran rumah tangga yang cekak membuat pendidikan, juga perempuan, tak masuk prioritas.


Perempuan makin terpinggirkan


Sesuai konstitusi, pendidikan adalah hak bagi seluruh warga Indonesia yang wajib dipenuhi oleh negara. Namun Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif (KAPAL) Perempuan melihat, pemerintah masih sering menyerahkan urusan pelayanan publik di bidang pendidikan ini kepada pihak swasta. Menurut Wakil Ketua Harian KAPAL Perempuan Budhis Utami, ini terlihat dari timpangnya jumlah sekolah negeri jika dibandingkan sekolah swasta. 


Di Jakarta, misalnya, jumlah sekolah swasta lebih banyak ketimbang sekolah negeri. Untuk tingkat SMP, Dinas Pendidikan Jakarta mencatat ada 319 SMP negeri, sementara ada 639 SMP swasta. Sementara untuk tingkat SMA, ada 117 sekolah negeri dan 381 SMA swasta. Fenomena serupa juga terjadi di kebanyakan kota dan kabupaten di Indonesia.


Budhis mengatakan, ada bahaya di balik penyerahan layanan publik ini kepada swasta.


“Perempuan jadi korban pertama privatisasi di lingkungan keluarga,” katanya ketika berdiskusi di kantor Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) beberapa waktu lalu.


“Privatisasi pelayanan publik ini bentuk pengalihan tanggung jawab negara kepada warganya dalam memenuhi hak dasar,” jelas Budhis. Dan ini juga memperlihatkan negara tidak mampu menyediakan pelayanan publik yang memadai.


Perempuan makin terpinggirkan

"Sekolah swasta itu lebih mahal dari negeri. Jadi kalau ada keluarga miskin, anaknya tidak kebagian kursi di sekolah negeri, maka akan ke swasta. Itu juga kalau orangtuanya mampu. Kalau tidak?" kata Budhis.

 

Kondisi ini umumnya membuat perempuan makin terpinggirkan karena biaya pendidikan yang tinggi. Ditambah lagi ada budaya yang menomorsatukan kaum laki-laki dari banyak sisi, termasuk urusan pendidikan.

 

"Saya pernah menemui keluarga miskin di daerah. Di sana anak laki-lakinya diutamakan untuk sekolah. Sementara anak perempuan tidak disekolahkan. Si ibu itu beralasan, anak laki-lakinya kelak akan memimpin keluarga dan membiayai keluarganya. Dengan bersekolah anaknya itu bisa bekerja," cerita Budhis.

Penomorduaan perempuan di dunia pendidikan menyebabkan tingginya buta huruf di kalangan perempuan. Data BPS tahun 2010 mencatat ada 64 persen atau sekitar 7,2 juta dari 11,3 juta perempuan dewasa buta huruf. Kebanyakan mereka kerja di sektor informal.

(baca juga: Perempuan, Terbanyak Tak Bisa Baca Tulis)


"Lebih menyedihkan, mereka bekerja tanpa perlindungan hukum, rawan kekerasan seksual, upah rendah dan tidak tersentuh oleh jaminan perlindungan sosial sebagai pekerja. Coba jika sejak awal pemerintah menyediakan banyak sekolah negeri yang murah," jelasnya.

Privatisasi kesehatan


Privatisasi layanan publik tak hanya terjadi di sektor pendidikan, tapi juga di kesehatan. Budhis menjelaskan sembari membandingkan kualitas layanan antara rumah sakit milik negara dan milik swasta.


“Bandingkan dengan rumah sakit swasta. Di Carolus kelas III pelayanannya penuh senyum, di RSCM kelas I II pelayanannya penuh cemberut. Tetapi tentu di Carolus jauh lebih mahal. Nah itu negara harus memberikan pelayanan yang bagus. Lebih banyak mana rumah sakit swasta dan rumah sakit negeri? Siapa yang bisa menjangkau rumah sakit swasta?"

 

Dari situ Budhis melihat ada diskriminasi dalam pelayanan terhadap masyarakat miskin, termasuk perempuan. Pemerintah juga dinilai tak bisa memenuhi standar pelayanan publik di rumah sakit. Tak semua masyarakat pun bisa mengakses layanan kesehatan, mengingat jumlahnya yang terbatas.


"Harusnya di rumah sakit pemerintah itu kan bisa memberikan pelayanan yang baik. jelasnya.


Budhis juga menyoroti program Pemberian Bantuan Iuran (PBI) di Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) sebagai contoh. PBI menggelontorkan anggaran Rp 19,9 triliun untuk membayaran iuran BPJS Kesehatan dan ketenagakerjaan bagi orang miskin.

 

Namun untuk BPJS kesehatan dana yang diberikan hanya sekitar Rp 11 triliun. Dana itu hanya cukup untuk membayarkan PBI kepada 35 persen dari 86,4 juta rakyat miskin.

 

"Sementara mereka yang hampir miskin, dekat sama miskin, nah itu harus membayar iuran tiap tahun kayak asuransi. Kalau punya penghasilan Rp 50 ribu dengan anak dua, mampu nggak bayarnya?" papar Budhis. Padahal BPJS Kesehatan dibentuk untuk menjamin kesehatan seluruh rakyat Indonesia, termasuk bagi 86,4 juta rakyat miskin.

 

AKI makin tinggi

 

Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada 2012 menunjukkan Angka Kematian Ibu (AKI) mencapai 359 per 100 ribu kelahiran. Sementara hasil SDKI 2007 menunjukkan angka AKI sebesar 228 per 100 ribu kelahiran hidup. Pemerintah dituntut bekerja keras menurunkan angka AKI sesuai Tujuan Pembangunan Milenium yaitu 102 per 100 ribu kelahiran pada tahun 2015.

 

Dalam orasi ilmiah Tantangan dan Hambatan MDGs Indonesia tahun lalu, Utusan Presiden untuk MDGs Indonesia Nina F. Moeloek menyebutkan kalau pendidikan jadi salah satu persoalan masih tingginya AKI di Indonesia.Menurut Nina, banyak perempuan yang tidak sadar kalau sedang hamil dan harus menjaga kesehatannya. Karena itu perempuan harus juga mengubah cara pandang mereka untuk jaga kesehatan mereka.

 

Di Indonesia, menurut Budish angka kematian ibu dan perempuan lebih disebabkan karena kemiskinan keluarga. Banyak perempuan yang memprioritaskan biaya kesehatannya untuk anak dan suaminya. Dengan alasan, pendapatan keluarga tidak cukup untuk membayarkan biaya berobat.

 

“Jangan jauh-jauh contohnya. Di kantor saya karyawan gajinya Rp 5 juta. Teman saya itu sakit. Saya tanya, kamu kok nggak berobat? Kata dia nggak usah. Kalau berobat, artinya biaya hidup dia di Jakarta akan berkurang. Karena dia mengirimkan uangnya untuk anak di kampung dan keluarga di sana. Dia pernah tebus obat setengah aja mahal, ratusan ribu,” jelasnya.

 

Akses kesehatan terbatas

 

Persoalan bertambah rumit karena tak banyak fasilitas kesehatan yang bisa dijangkau masyarakat dari keluarga miskin, kata Budhis.

 

"Akses kesehatan untuk peserta BPJS itu pun dibatasi kalau di rumah  sakit swasta. Mulai dari jam 4 sore. Nah memang kalau  orang sakit itu ada waktunya. Makanya kenapa sih BPJS ini juga melibatkan rumah sakit swasta? Karena ini kan rumah sakit negeri terbatas jumlahnya," jelasnya.

Di Jakarta misalnya, data Kementerian Kesehatan menunjukkan dari 142 rumah sakit yang ada, hanya 32 rumah sakit milik negara – yang notabene biaya berobatnya lebih rendah. Kepemilikannya bervariasi, mulai dari milik Pemprov DKI, Kementerian Kesehatan, dan TNI. Sementara Kondisi serupa terjadi di banyak kota besar lainnya di Indonesia.

 

Akibatnya, jika rumah sakit milik pemerintah penuh, kata Budhis, maka perempuan miskin tidak akan mampu mengakses layanan di rumah sakit swasta. Menurut Budhis, ini memicu kemiskinan bagi perempuan, mengingat beban biaya hidup perempuan menjadi lebih berat.

 

"Bayangkan perempuan yang menjadi ibu harus merawat anaknya yang sakit,” kata Budhis. Pendapatan keluarga jadi berkurang untuk mengobati si anak, sementara si ibu yang semula bekerja, misalnya, jadi tak bisa bekerja. 

 

“Itu menjadi tanggungjawab perempuan. Belum lagi suaminya yang sakit. Makanya saya bilang, sasaran pertama ketika pelayanan publik diserahkan ke swasta adalah perempuan," jelas Budhis.

 

Karena itulah, menurut Budhis, pemerintah mesti segera berhenti menyerahkan urusan layanan publik kepada pihak swasta. Dengan anggaran APBN sampai Rp 1600 triliun mestinya negara bisa menjamin kehidupan warganya, termasuk yang perempuan, lebih layak.

 

"Sudah saatnya pemerintah baru nanti melakukan perubahan mendasar yaitu kembali pada pelayanan berbasis hak dengan cara mencabut produk-produk hukum yang mengarah pada privatisasi pelayanan publik," jelas Budhis.

 

Budhis menyebut dua produk hukum yang harus dicabut adalah Undang-undang Sistem pendidikan nasional. Undang-undang itu menyebutkan tanggungjawab pendidikan juga diserahkan kepada masyarakat.

 

Peraturan itu tertera di pasal 54. Pasal itu di antaranya berbunyi Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Selanjutnya, masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Menurut Budhis itu bagian dari pengalihan tanggungjawab pendidikan dari negara.

 

“Jadi timbul tuh banyak sekolah swasta yang mahal. Lebih banyak dari negeri,” jelas dia.

 

Sementara soal peraturan kesehatan, undang-undang Jaminan Kesehatan Nasional atau (JKN) perlu diubah. Sebab awalnya JKN itu dibuat untuk memberikan akses kesehatan gratis untuk masyarakat pada layanan kelas.

 

“Itu untuk kaya dan miskin. Mereka dibebaskan biaya dan pembuatan kartu segala. Nah sekarang layanan kelas 3 aja kan masih harus bayar. Bagaimana untuk orang miskin? Seharusnya pelayanan kelas 3 itu gratis. Kalau mau upgrade kelas layanan, baru dikenakan biaya,” papar dia.

 

Audit Gender

 

Pada 25-28 April mendatang di Wisma Hijau Cimanggis dan Gedung Kesenian Jakarta, KAPAL Perempuan akan menggelar Jambore Perempuan Akara Rumput. Jambore tersebut akan mempertemukan kelompok-kelompok perempuan miskin dan terpinggirkan dari 15 desa di 4 provinsi (Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat dan Jawa Timur). Mereka adalah penerima dana Simpan Pinjam Kelompok Perempuan (SPKP) dari PNPM Mandiri Pedesaan yang dipakai untuk memulai usaha.

 

Di Jambore ini nantinya akan dilakukan "audit gender" untuk mengetahui apakah bantuan yang sudah diberikan pemerintah itu mampu mengeluarkan perempuan dan keluarganya dari kemiskinan atau tidak.

 

“Secara umum modal yang diterima dari kegiatan ini habis untuk kebutuhan konsumsi dan kebutuhan sosial dasar lainnya seperti pendidikan dan kesehatan, sehingga modal jadi tak terpakai untuk mengembangkan kekuatan ekonomi yang bisa memperkuat perempuan," jelas Budhis. Akibatnya banyak perempuan miskin yang tetap harus keluar uang untuk mengakses pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan. Lewat "audit gender" diharapkan program penanggulangan kemiskinan bisa betul-betul dirasakan manfaatnya oleh perempuan.

 

”Perempuan jangan lagi menjadi korban utama pengalihan tanggung jawab pemerintah. Paling tidak dengan mempunyai keahlian wirausaha atau keahlian umum, mereka bisa juga bekerja dan mempunyai uang cukup untuk mengakses kesehatan dan pendidikan yang semakin mahal,” jelas Budhis.

 

Editor: Citra Prastuty

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!