Korban kekerasan dalam rumah tangga belum sepenuhnya mendapat keadilan. Fatimah
Penulis: Rumondang Nainggolan
Editor:

KBR68H - Korban kekerasan dalam rumah tangga belum sepenuhnya mendapat keadilan. Fatimah –bukan nama sebenarnya— salah satu diantaranya. Sang suami bahkan membawa kasus KDRT ini, ke meja hijau. Agar korban mendapat perlindungan dan keadilan, salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan merevisi Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender.
"Saya ditarik ke luar, saya ditarik gitu saya bertahan pegangan meja. Saya pegangan meja di bawah buku ada cutter. Ya udah, saya gak pergi saya ambil cutter itu, saya sabetin ke dia. Kalau niat membunuh gak ada sama sekali, saya cuma membela diri, mempertahankan hak saya yang udah diambil dia semua gitu. Jadi gak ada sih kalau niatnya. Kalau seandainya saya niatnya membunuh sudah saya tusuk...," kata perempuan itu sambil terisak.
Fatimah masih ingat dengan kekerasan yang dilakukan sang suami. Suatu malam setahun silam, ia perang mulut. Bermaksud membela diri, perempuan yang nama aslinya minta dirahasiakan itu, mengambil pisau pemotong kertas dan menyabetkan ke tubuh pasangannya. Pertengkaran kesekian kali itu jadi babak baru hidupnya.
Malam itu juga ia digelandang ke kantor Polisi Resort Depok. Dia menceritakan semua penyebab pertengkaran dengan suami. Akhirnya perempuan 40-an tahun itu dibebaskan. Sang suami tidak puas. Dia bersikeras ingin menjebloskan istrinya ke penjara. Padahal menurut Fatimah, dari awal polres Depok, Jawa Barat telah meminta suaminya untuk mencabut laporan.
"Tapi lain hari dia datang lagi ke kantor polisi, gak tau didampingi sama siapa. Diakan bikin laporan, bikin laporan kalau saya selingkuh, bikin laporan kalau saya niat membunuh dia. Waktu itu dia aja sebenarnya udah diomelin sama polisi polres Depok, 'gak pantas Pak urusan keluarga gini, lagiankan yang salah bapak' yang polwan-polwan itu yang nangani. Terus kata polisi itu dia ngotot, 'ibukan cuma sebagai pelaksana penegak hukum, ibukan pelayan masyarakat, kenapa ibu menahan,'. Pokoknya dia yang itulah," kata Fatimah.
Tidak tahan dengan tingkah sang suami. Fatimah mendatangi langsung ayah empat anaknya itu."Kan pernah saya bilang, 'Pak emang gak ada jalan yang terbaik selain saya dipenjara?' saya gitukan. 'Oh saya gak urusan, itu urusan kamu, itu resiko dari perbuatan kamu'. 'Saya melakukan ini karena tekanan-tekanan dari kamu. Saya tidak akan melakukan hal seperti ini kalau tidak ada siksaan dari kamu' sayakan begitu. 'Saya gak mau membahas ini lagi, saya senang melihat kamu dipenjara, syukur kalau kamu di penjara, itu yang saya mau'
KBR68H: "Suami ibu bilang begitu?"
FATIMAH: "Iya, itu resiko dari perbuatan kamu."
Awalnya pernikahan Fatimah dan suami yang menginjak usia 20 tahun, tak pernah cek-cok. Warga Bogor tersebut tak keberatan jadi tulang punggung keluarga dengan cara membuka usaha warung sembako. "Ibaratnya saya itu gak pernah tidur untuk mengurus usaha itu. Malam selesai tutup warung saya pergi ke induk belanja, jam 3 saya udah bangun lagi ke pasar belanja ikan belanja ayam, jadi belanja untuk sayuran itukan dua kali dan di rumah juga udah luar biasa capeknya bungkusin. Ngurus barang emang gak pernah ada habisnya kalau warungnya lancar gitu ya. Ibaranya makan aja gak bisa. Makanya sayakan karena mungkin stress ngitung aja ya, jalan mondar-mandir akhirnya saya pernah kena maag kronis," akunya.
Lambat laun jika ada masalah, sang suami mulai melakukan kekerasan terhadapnya. Tapi ia pendam.
"Kalau cuma dijengkangi sama dibentak-bentak itu mah biasa. Kalau selama ini saya enggak pernah cerita sama orang tua tapi pernah adik saya itu tahu kalau saya sebenarnya tersiksa. Adik saya cerita sama orang tua. Akhirnya orang tua menyarankan suruh pulang aja, anak-anak bawa aja gitukan, tapi saya gak lakuin itu, saya tetap mempertahankan rumah tangga saya," jelasnya.
Perilaku mendiamkan tindak kekerasan yang dilakukan suami seperti yang dialami Fatimah banyak dilakukan korban KDRT. Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (APIK) Jakarta, Ratna Batara Munti alasannya untuk menjaga nama baik keluarga."Perempuan yang dalam rumah tangga itukan selama ini ajarannya harus berhasil sebagai istri sebagai ibu dan ketika itu gak berhasil itukan aib ya sehingga gak mudahlah untuk mengungkapkan kita itu korban. Apalagi khawatir kekerasan itu juga semakin tinggi," jelasnya.
Belum lagi alasan ketergantungan ekonomi pada suami. Kondisi ini bukan hanya dialami perempuan dari kelas bawah tapi juga dari kelas atas, lanjut Ratna.”Pertama menengah ke atas itu bisa jadi mereka memang punya latar belakang pendidikan yang baik. Mereka sebenarnya juga ada yang dari keluarga kaya, tetapi ketika mereka terjun atau berada dalam wilayah rumah tangga itu mereka gak punya akses terhadap harta bersama, gak punya akses terhadap harta-harta selama perkawinan. Nah ketika mereka mendapat KDRT mereka jadi miskin seketika, itu juga ada terjadi. Kadang juga persoalan ketergantungan emosial atau psikologis ya, karena dia mencintai suaminya, dia ingin suaminya berubah."
Kondisi ini sebenarnya berbeda dengan Fatimah. Justru pertengkaran dipicu saat dia berusaha mengembangkan bisnis barunya, konveksi. Suami tidak menerima kesibukannya."Kalau di toko mungkin iya ya saya buka jam enam tutup jam sepuluh, udah selesai. Ternyata di konveksi gak bisa. Kita mau mematok waktu, oh saya mau buka jam delapan tutup jam lima. Mungkin kalau perusahaan besar yang mempunyai pegawai yang semuanya mendukung mungkin bisa, tapi semua itu sayakan masih mengandalkan tenaga saya. Nyari order saya belum bisa serahkan pada orang saya masih nyari sendiri. Hanya yang menangani produksi aja, ada yang tukang belanjanya, jadi saya khusus mengejar ke order," tutur Fatimah.
Pertengkaranpun makin hebat terjadi. "Dari pertemuan-pertemuan yang kadang-kadang kita itu di luar waktu yang wajar orang ketemu untuk orang kerja, itu timbul banyak masalah dengan keluarga. Akhirnya cekcok, akhirnya mengumpat, 'apa sih hasil yang sudah kamu kerjakan selama ini sampai kamu itu kerja sampe malam, kerja sampe gini-gini' (perkataan suami-red), saya jelaskan, akhirnya penjelasan saya itu belum bisa diterima dengan akal suami saya. Dari situ jadi perkataan-perkataan yang tidak baik itu keluar."
Puncaknya Fatimah diusir dari rumah oleh sang suami tanpa diperbolehkan membawa apapun. Di depan tetangganya, Fatimah ditalak cerai.Sampai peristiwa malam itu terjadi. Fatimah datang ke rumah untuk mengambil kompor dan kulkas. Kata-kata kasar yang terlontar dari mulut suaminya memicu emosi Fatimah.
"Kok ini orang keterlaluan banget ya, berapa sih harganya kulkas sama gas satu, penghinaan yang amat-amat pikiran saya sedangkan ini punya saya semua. Dan dari situ saya balik lagi, pokoknya saya mau bawa gak boleh. Terus karena mungkin saya udah sakit banget kali ya, akhirnya saya 'Maunya apa sekarang? ini punya saya, kamu larang apa yang saya bawa, kecuali kamu yang beliin boleh kamu larang, ini gak ada yang kamu beliin' saya bilang begitu. 'Gak ada, biarpun kamu yang beli, gak ada, kamu gak boleh apa-apa' (bawa sesuatu-red). Dia ngotot, omongannya cuma gitu aja. Akhirnya, oh ternyata kamu seperti itu. Ya udah, saya nemu kalkulator, nemu apa yang ada di meja, 'Ternyata kamu itu biadab, kamu itu jahat, kamu bukan orang' saya ngomong begitu. Ya udah saya lempar pake buku yang ada di meja itu. Saya ditarik lagi ke luar. Saya ditarik, saya bertahan pegangan di meja, di bawah buku ada cutter. Yah udah, saya gak pergi, akhirnya saya ambil cutter itu, saya sabetin ke dia," katanya.
Kini Fatimah tengah menanti putusan kasasi atas perkara hukum yang membelitnya. Seperti apa perjuangannya?
Keadilan Korban
Tak mudah bagi Fatimah selaku korban KDRT untuk dapat keadilan. Ia justru dikriminalisasi. Sang suami melaporkannya kepada polisi dengan tuduhan melakukan kekerasan. Naasnya, saat pelimpahan kasus ke kejaksaan, Fatimah justru menjadi korban pemerasan seorang jaksa penuntut.
"'Ya udah bu gak apa-apa ini mah yang penting saya tangani, saya pegang, sekarang ibu ada gak uang 3 juta?'(jaksa-red). Jangankan 3 juta bu hari ini saya cuma bawa uang 200 ribu tadi saya pake buat isi bensin 100 ribu, sayakan gitu, saya gak punya. 'Ya udah kapan-kapan deh pokoknya ibu siapkan saja uang 3 juta masalahnya gak saya naikin'. Saya emang nyanggupin, tapi kalau 3 juta mungkin saya gak punya bu, nanti paling saya sepunyanya, gitukan, seadanya. 'Diusahakan saja bu'."
Karena mengaku tak punya uang, ia tak penuhi permintaan jaksa. Kasuspun berlanjut. Namun dia kembali menjadi korban pemerasan saat dipengadilan. Kali ini oleh seorang panitera.”Ya sudah masalah ibu sebenarnya gampang yang penting ibu siapin aja uang 10 juta. Ibu siapin aja uang 10 juta udah beres, ibu gak akan dipenjara'. Terus saya bilang sama orang tua, bilang sama kakak saya kalau dari pengadilan minta segini. Orang tua saya bilang, kalau sekarang kalau untuk ke pengadilan Bapak gak ada nak. Udahlah gak usahlah diiniin, kalau memang absen Selasa Jumat, absen aja."
Tak sampai disitu, Fatimah kembali ditipu oleh seorang pengacara gadungan yang menyatakan ingin membantunya. Uang Rp 2,2 juta rupiah hasil pinjaman raib dibawa kabur. Fatimah yang buta hukum, kemudian berusaha mencari keadilan ke Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan. Komisi kemudian menyarankan ia meminta bantuan advokasi hukum ke LBH APIK. Saat menjelang sidang pembacaan vonis, Fatimah kembali ditagih uang suap oleh hakim.
"Jadi pas mau sidang terakhir itu saya dipanggil sama hakim anggotanya. Saya dipanggil ke kantornya dia, ke dalam gitu ya, gak boleh ditemani siapa-siapa, gak boleh dilihat siapa-siapa. Saya masuk sendiri cuma sama hakim anggotanya saja. Dia nanyain uang 10 jutanya mana, gak ada bu sekarang saya gak bawa uang dikitpun. Dia marah banget, 'Ya udah sekarang sidang saja, tapi awas ibu jangan main-main dengan saya,' gitukan, saya diancem-ancem. 'Jangan main-main dengan saya, kita orang penegak hukum, orang pengadilan, kalau ibu main-main nanti ibu tahu akibatnya," terangnya.
Dalam perkara ini Fatimah dijerat pasal 44 ayat 1 dan 4 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Ancamannya maksimal 5 tahun penjara. Namun menurut Asnifriyanti Damanik, pendamping hukum Fatimah dari LBH APIK, pasal yang dikenakan jaksa tidaklah tepat. "Kejadiannya itu antar suami isteri itu pasalnya harus khusus di ayat 4 yang lebih ringan karena mereka punya ikatan suami isteri. Tapi kalau yang ayat 1 ini diluar suami isteri. Misalnya bapak terhadap anak, atau anak terhadap bapak, anak terhadap ibu, atau majikan terhadap PRT yang tidak menyebabkan sakit atau luka berat. Di sini dikedepankan, dia sakit tapi dia masih mampu bekerja dan mereka bukan suami isteri ancamannya 44 ayat 1."
Fatimah akhirnya divonis 5 bulan penjara dengan masa percobaan 10 bulan oleh Pengadilan Negeri Depok Agustus tahun lalu. Artinya, selama 10 bulan sejak putusan, Fatimah tidak boleh melanggar hukum apapun jika tidak ingin dibui.
Namun ternyata jaksa penuntut tidak puas dengan putusan hakim. Lantas upaya banding diajukan. Asnifriyanti Damanik, pengacara Fatimah menilai, aksi sang jaksa ganjil. "Kenapa jaksa banding? ini juga jadi pertanyaan bagi kita. Jaksa itu banding biasanya apabila putusan dibawah setengah dari tuntutan. Kalau mereka tuntut enam bulan terus hakim menjatuhkan enam bulan maka banding. Ini enggak, mereka menuntut enam bulan, hakim 5 bulan, terus bandingnya kenapa? itu juga tanda tanya bagi kita."
Selain itu menurut Asnifriyanti, posisi Fatimah sebagai korban KDRT juga tidak didukung penegak hukum. Seperti tidak diberi pendamping hukum atau pengacara selama persidangan."Bahwa keterangan dia korban, saksi-saksi juga bilang, si suami juga ngaku kalau dia masuk, sebelumnya dia sudah diusir dari rumah, dikeluarkan artinya bahwa dia punya hak masuk ke rumah itu dan penegak hukum tidak memberikan penguatan kepada si ibu tadi. Seharunya dihadirkan dong dilakukan pemeriksaan psikologi kepada si ibu tadi untuk meringankan dia. Untuk melihat apakah dia layak untuk dihukum karena dia melakukan tindakan emosional."
Didampingi LBH APIK, Fatimah menghadapi banding. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung pada 19 November 2012 ternyata menguatkan vonis Pengadilan Negeri Depok. Tak puas, Jaksa kembali mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 8 Januari 2013.
Kondisi yang dialami Fatimah, terang Direktur LBH APIK, Ratna Batara Munti akibat regulasi yang ada seperti Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga belum sepenuhnya berpihak kepada korban yang dikriminalisasi. Di situlah letak pentingnya Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (UU KKG). "Tapi semuakan ibaratnya itu lebih pada yang udah muncul persoalan, ada korban, gimana sih mengatasinya. Tadikan ditanya apa sih akar KDRT? soal ketimpangan kekuasaan itu tadikan. Dimana perempuan diposisikan oleh tafsir ajaran agama, oleh budaya, bahkan oleh hukum dilegitimasi, itu jelas timpang secara relasi kekuasaan harusnya lebih setara, relasi gender yang lebih setara tapi itu dibikin timpang oleh hukum kita, oleh budaya kita. Nah hukum itu seharusnya mengoreksi," jelas Ratna.
Parlemen saat ini memang tengah menggodok undang-undang tersebut. Anggota panitia kerja rancangan undang-undang KKG di DPR, Soemintarsih Muntoro mengatakan, nantinya aturan tersebut bakal menjadi payung hukum perlindungan perempuan, termasuk korban KDRT. "Sekarang persoalan ketika itu diatur secara parsial sekarang harusnya diatur secara komprehensif integral, ada payung hukumnya. Kalau sudah diatur secara komprehensif integral ada payung hukumnya semua kementerian dan lembaga itu nanti keberpihakannya sudah jelas, anggarannya. Kalau nanti perlu lembaga sentralistik, katakanlah Kementerian Pemberdayaan Perempuan menjadi leading sector yang bisa disesuaikan proporsionalnya. Sekarangkan gak kuat kementerian itu bagaimana mengatur keseteraan itu."
Namun RUU tersebut mengundang perdebatan di tengah masyarakat. Kelompok yang kontra menilai, kesetaraan gender akan merusak peran antara perempuan dan laki-laki yang selama ini ada di masyarakat. Kristi Purwandari, Ketua Pusat Studi Kajian Perempuan dan Gender Universitas Indonesia menerangkan arti gender."Biasanya kita akan membedakannya dengan jenis kelamin. Kalau jenis kelamin itu perbedaan biologis, laki dan perempuan. Kalau gender itu adalah konstruksi sosial yang dibentuk masyarakat sendiri yang seringkali dilekatkan dengan perbedaan biologis itu. Misalnya bahwa laki-laki lebih kekar, pada umumnya lebih gede. Jadi dia yang kerja ngangkat-ngangkat, kerja di luar rumah. Perempuan itu hamil, melahirkan, menyusui, berarti dia dong yang harus bertanggung jawab mengurusi anak," kata Kristi.
Kondisi inilah yang sering disalahpahami dan menimbulkan kekerasan pada perempuan. Kembali Kristi Purwandari. "Orang-orang yang masuk dalam KDRT, pelaku, korban yang bertahan dalam situasi itu. Itukan merefleksikan kelompok masyarakat yang masih melihat bahwa posisi laki-laki dan perempuan sebagai tidak seimbang. Karena itukan pembenaran-pembenaran yang diambil oleh pelaku memang itu. Apakah dia mau pakai pembenaran agama pokoknya saya suami, saya yang punya kekuasaan di sini, aku yang memutuskan, aku ayah aku yang lebih ngerti apa yang lebih baik buat anak-anakku dan buat isteri aku, harus nurut, yang bener itu aku," tambahnya.
Namun menurut pengacara Fatimah dari LBH APIK, Asnifriyanti Damanik, sikap profesional penegak hukum tidak kalah penting untuk melindungi korban KDRT, selain Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (UU KKG). "Inikan sebenarnya belum semuanya. Jadi misalnya, ada KDRT terjadi, yang kita lihat di sini adalah prosesnya ketika katakanlah yang dilaporkan si istri. Ketika istri mengatakan dia korban seringkali tidak diarahkan untuk dia harus melapor kembali jadi saling lapor. Biasanya kalau istri melapor suami lebih pintar untuk melapor balik. Kedua, penegak hukum itu juga kalau ada kasus perspektif mereka masih kurang, jadi penegakan hukumnya masih kurang."
Kembali kepada Fatimah. Dia ingin mulai kehidupan barunya sembari menunggu putusan kasasi. Karena itu, ia tidak mengizinkan KBR68H mewawancarai sang suami. Alasannya tidak ingin kembali memperuncing masalah. Bercermin dari kasusnya, Fatimah berpesan. "Bagi perempuan kalau sudah berumah tangga emang wajib ya taat kepada suami. Tapi taatnya kepada suami yang baik, yang bisa melindungi, yang bisa mengayomi. Tapi kalau bagi suami yang tidak bisa memberikan pengayoman, yang berlaku keras kepada isterinya, itukan tidak ada perlindungan dari suami, jangan cuma menerima aja gitu loh. Silahkan kalian menuntut hak kalian sebagai perempuan. Jadi jangan cuma diam yang nantinya akan menyiksa dirinya sendiri gitu," pungkasnya.
(Rur, Fik)