NASIONAL

Polri Beli Gas Air Mata Rp188,9 Miliar dari Pajak Rakyat

ICW menyoroti tiga persoalan dalam pembelian gas air mata oleh Polri.

AUTHOR / Hoirunnisa, Shafira Aurel, Sindu

EDITOR / Sindu

Polri Beli Gas Air Mata Rp188,9 Miliar dari Pajak Rakyat
Ilustrasi: Polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan pedemo. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Kepolisian Indonesia (Polri) tercatat lima kali membeli gas air mata dalam rentang Desember 2023-Februari 2024. Angka itu diketahui setelah Indonesia Corruption Watch (ICW) menelusuri Layanan Pengadaan Secara elektronik (lpse.polri.go.id) milik Polri.

Hasil penelusuran itu lantas disampaikan ICW dalam siaran pers, Jumat, 23 Agustus 2024. Menurut ICW, total duit pajak warga yang dibelanjakan Polri untuk gas air mata Rp188,9 miliar di dua satuan kerja, yaitu Korsabhara Baharkam Polri, dan Korbrimob Polri.

Dari data tersebut, ICW menyoroti tiga persoalan dalam pembelian gas air mata oleh Polri. Satu, Polri membangkang atas kewajiban membuka informasi pengadaan, terutama soal kontrak pengadaan gas air mata. Padahal, sejak Agustus 2023, ICW, KontraS, dan Trend Asia, mendesak Polri membuka kontrak belanja gas air mata, dengan mengajukan permohonan informasi. Tetapi, Polri menolak membuka informasi kontrak pembelian gas air mata.

ICW menduga, ada informasi yang ditutupi Polri dalam proses pembelian gas air mata. ICW lantas mengutip Peraturan Komisi Informasi Pusat Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik (SLIP). Situasi ini patut diduga jadi indikasi awal adanya pengadaan bermasalah, dan dapat mengarah ke potensi korupsi. 

Desember 2023, ICW telah mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP). Namun, hingga kini KIP tak memberi kejelasan soal sengketa informasi yang diajukan ICW.

"Kami menduga bahwa KIP takut untuk memproses sengketa informasi melawan Polri, bukan hanya perilah padatnya agenda penyelesaian sengketa informasi oleh KIP. Sebab, jika merujuk pada Per-KI SLIP, yang KIP keluarkan, proses sengketa tak membutuhkan waktu lama, karena informasi yang ICW mohon jelasn merupakan informasi publik," tulis ICW dalam rilisnya, Jumat, 23 Agustus 2024, seperti dikutip KBR, Rabu, (28/08).

Pertanggungjawaban

Kedua, Polri tidak mempertanggungjawabkan penggunaan gas air mata yang telah digunakan. Kata ICW, satu dari lima paket pembelian yang dilakukan, Polri menyebut jumlah amunisi yang dibeli, yakni 38.216 peluru. Namun, untuk empat paket yang lain tidak dijelaskan detail oleh Polri.

"Hal ini menyulitkam bagi publik untuk menagih akuntabilitas di saat proses penggunaan gas air mata dilakukan secara brutal dan serampangan. Apabila tidak ada pertanggungjawaban, maka polisi patut diduga menggunakan gas air mata kedaluwarsa, seperti yang terjadi di Tragedi Kanjuruhan," imbuh ICW.

Ketiga, menurut ICW, pembelian gas air mata dilakukan di tengah kondisi keamanan tidak mendesak.

"Patut diduga, alasan di balik belanja gas air mata bernilai fantastis tersebut semata berkaitan dengan upaya pembungkaman kritik masyarakat sipil di tengah tahun politik 2024. Padahal, kritik publik meninggi adalah konsekuensi logis atas praktik kompetisi politik elektoral yang diwarnai siasat culas," kata ICW.

Lima Desakan ICW

ICW mendesak Polri berhenti menembakkan gas air mata ke massa aksi dan kelompok warga. Polri juga didesak membuka dokumen kontrak pembelian gas air mata Rp188,9 miliar yang berasal dari duit pajak warga.

Selain itu, ICW mendesak Polri segera membuka laporan pertanggunjawaban penggunaan gas air mata sejak 2019-2024. Meminta Polri berhenti membeli gas air mata sampai semua dokumen kontrak dan laporan pertanggungjawaban disampaikan ke masyarakat.

Terakhir, ICW mendorong KIP segera menindaklanjuti pengajuan sengketa informasi pengadaan gas air mata Polri.

Gas Air Mata untuk Bubarkan Massa

Sebelumnya, Polri menuai kritik saat mengawal aksi demo tolak revisi Undang-Undang Pilkada atau Kawal Aksi Putusan Mahkamah Konstitusi di sejumlah daerah. Kritik terutama terkait penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi. 

Padahal, demo dilakukan warga untuk mencegah manipulasi aturan oleh pemerintah dan DPR demi politik dinasti Presiden Joko Widodo. Tetapi, desakan berbagai elemen warga, ditanggapi polisi dengan penggunaan gas air mata secara serampangan.

Misalnya saat aksi demo di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Di sana, polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa.

Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mencatat hingga Kamis malam, (22/08), ada 11 orang ditangkap polisi. Tim advokasi juga menyebut ada tiga orang mengalami luka serius akibat kekerasan aparat.

red
Aksi massa Kawal Putusan MK saat demo di Balai Kota Semarang, Kamis, 22 Agustus 2024. Foto: KBR/Aninda Putri

Jurnalis Ikut jadi Korban

Tak hanya pedemo, aparat juga melakukan dugaan tindak kekerasan ke para jurnalis. Dewan Pers mengecam tindakan polisi terhadap para jurnalis yang tengah meliput unjuk rasa tolak revisi UU Pilkada di berbagai daerah.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan tindakan kekerasan polisi tidak dapat dibenarkan. Sebab, kegiatan jurnalis dilindungi undang-undang saat menjalankan tugasnya. Ninik menyebut, kekerasan berulang aparat kepada jurnalis bukti sangat lemahnya perlindungan negara terhadap kebebasan pers.

"Mengecam keras tindakan aparat terhadap para jurnalis yang melakukan profesinya pada saat kegiatan unjuk rasa penolakan RUU Pilkada. Tidak hanya itu selain teman-teman jurnalis, pers kampus, pers mahasiswa juga menjadi korban kekerasan yang diindikasikan kuat dilakukan oleh aparat, yang seharusnya melakukan perlindungan, melakukan penertiban. Bukan dengan cara kekerasan apa pun alasannya," ujar Ninik dalam konferensi pers secara daring, dikutip Minggu, (25/8).

Klaim Polisi

Padahal sebelumnya, dalam konteks pengamanan di Jakarta, Kapolres Metro Jakarta Pusat, Susatyo Purnomo Condro mengeklaim tetap menghargai massa aksi yang menyampaikan pendapat. Kata dia, personel yang terlibat pengamanan juga tak ada yang membawa senjata api. Namun, di lapangan, polisi menggunakan gas air mata untuk bubarkan pedemo.

"Dalam rangka pengamanan aksi elemen masyarakat di bundaran Patung Kuda Monas dan sekitarnya, kami melibatkan sejumlah 1.273 personel gabungan. Personel gabungan tersebut dari Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, TNI, Pemda DKI dan instansi terkait personel ditempatkan di sejumlah titik di sekitar Patung Arjuna Wijaya, depan Gedung MK, hingga depan Istana Merdeka," ujar Susatyo kepada wartawan, Kamis, (22/8/2024).

Susatyo mengatakan pengamanan dilakukan untuk mengantisipasi, dengan menyiapkan sejumlah personel untuk melakukan pengamanan dan mencegah massa aksi masuk ke kawasan. Ia mengingatkan seluruh personel selalu bertindak persuasif, tidak memprovokasi dan terprovokasi.

"Lakukan unjuk rasa dengan damai, tidak memaksakan kehendak, tidak anarkis dan tidak merusak fasilitas umum. Hormati dan hargai pengguna jalan yang lain yang akan melintas di Bundaran Patung Kuda Monas dan beberapa lokasi lain," imbau Susatyo.

Aparat Brutal

Merespons aksi kekerasan di berbagai daerah saat aksi demo Kawal Putusan MK, Amnesty International menyebut aparat polisi bertindak brutal. Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, ini bukan kali pertama polisi bertindak brutal.

"Aparat yang brutal tersebut seolah tidak mau belajar dari sejarah, bahwa penggunaan kekuatan eksesif telah merenggut hak asasi manusia, dari hak untuk berkumpul damai, hingga hak untuk hidup, tidak disiksa, dan diperlakukan tidak manusiawi," kata Usman dalam siaran persnya, Kamis, 22 Agustus 2024.

Menurut Usman, para pedemo bukan kriminal, tetapi warga yang ingin mengkritik pejabat dan lembaga negara. Ia menegaskan, seumpama mereka melanggar hukum pun tak boleh diperlakukan dengan brutal.

"Di petang hari, ada banyak yang ditangkap dan diperlakukan dengan cara-cara yang tidak mencerminkan penegak hukum yang profesional. Kekuatan hanya bisa dipakai ketika polisi bertindak untuk melindungi warga atau menyelamatkan jiwa, baik jiwa peserta aksi maupun petugas," imbuhnya.

Aksi demo diikuti sejumlah tokoh mulai dari guru besar, akademisi, dan aktivis 1998 untuk mengawal putusan MK yang berusaha diakali DPR dan pemerintah.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!