BERITA

Pilkada Serentak 2017, KPU: 37 Daerah Belum Gelontorkan Anggaran

"37 ini tidak bisa membentuk PPK PPS, dari mana dananya? harus ada, harus dianggarkan pemdanya. "

AUTHOR / Eli Kamilah

Pilkada Serentak 2017, KPU: 37 Daerah Belum Gelontorkan Anggaran
Ilustrasi (sumber: Kemendagri)

KBR, Jakarta- Komisi Pemilihan Umum KPU menyebut masih ada 37 daerah yang belum menggelontorkan anggaran mereka dalam pelaksanaan pilkada serentak tahun depan. Anggota KPU, Ferry Kurnia mengatakan ada beberapa penyebab lambatnya pencairan anggaran. Salah satunya karena administrasi.

Ferry yakin, hal tersebut tidak akan menganggu jalannya pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara KPPS.

"Selain soal NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah), dari 101 daerah baru 64 yang sudah cair. 37 belum. Padahal pembentukan PPK PPS mendesak. 37 ini tidak bisa membentuk  PPK PPS, dari mana dananya? harus ada, harus dianggarkan pemdanya. Tapi ini tidak akan mengganggu jalannya pembentukan itu," kata Ferry di gedung KWI Jakarta, Selasa (21/6/2016).


Ferry menambahkan selain masalah anggaran di daerah, KPU juga berencana meminta tambahan dana ke DPR sebesar Rp1,025 triliun. Saat ini, kata Ferry, KPU mendapatkan pagu anggaran tahun 2017 sebanyak Rp 1,93 triliun. Pagu anggaran ini telah dibahas di Kementerian Keuangan dan Bappenas. Namun, anggaran tersebut hanya 63 persen dari total kebutuhan dana sebesar Rp3,06 triliun.

Persoalan anggaran juga dirasakan Badan Pengawas Pemilu, Bawaslu. Kata Anggota Bawaslu Nelson Simanjuntak hampir 50 persen daerah penyelenggara pemilu yang dana panwasnya belum cair. Selain dana, banyak juga daerah yang panwasnya belum dibentuk.

"Jadi dana pengawasan ini didanai APBD. Nah belum semua ditandatangani. Sebagian belum ditandatangani, dan sebagian lagi panwasnya belum terbentuk. Semisal di Papua," kata Nelson.


Revisi UU Pilkada

Ferry juga mengeluhkan bertambahnya persoalan akibat UU Pilkada yang baru direvisi DPR. Selain soal peraturan KPU yang harus dikonsultasikan dengan DPR, KPU juga merasa terbebani dengan pembentukan badan ad hoc yang terbentur undang-undang.

"Problem penyelenggara banyak hal, kami komisioner dengan badan adhoc yang kita buat. kita terkendala dengan rekrutmen anggota badan adhoc, kita bisa hire mahasiswa misalnya kita rekrut, usia sekitar belasan sampai 22 tahun. Tetapi UU kan tidak memperbolehkan, itu harus dibatasi dengan usia 25 tahun. Padahal di usia ini banyak warga yang produktif bekerja," katanya.

Anggota Bawaslu Nelson Simanjuntak  juga memprotes Undang-Undang Pilkada yang terus diubah tiap kali pemilu digelar. Kata dia hal ini akan memperberat kinerja penyelenggara baik di daerah maupun pusat. "Mestinya UU tidak boleh diubah saat mendekati pemilu. Jangankan daerah, yang pusat pun susah," kata Nelson.


Sementara itu, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang mempertanyakan urgensi UU pemilu yang baru direvisi DPR beberapa waktu lalu. Dia menyebut tudingan soal penjegalan Ahok sampai anggota DPR yang harus mundur jika mencalonkan, terjawab dalam revisi yang digolkan anggota dewan.

Menurut Sebastian, UU yang berkali-kali direvisi dan banyaknya Peninjauan Kembali atau PK atas UU tersebut, menjadi bukti bahwa UU pemilu belum bisa mengakomodasi harapan publik.

"UU ini apakah memang UU yang punya visi jauh kedepan, atau masih kental dengan nuansa parpol. Penting kita cermati. Karena terjadi perubahan berulang-ulang justru karena kepentingan pragmatis jangka pendek mendominasi dalam perubahan UU. PK yang berulang-ulang juga menunjukan spirit demokrasi belum diakomodasi secara subjektif dalam uu,' kata Sebastian Salang di Gedung KWI Jakarta, Selasa (21/6/2016)


Sebastian juga menggarisbawawhi kegagalan partai politik dalam menjalankan pilkada serentak. Dia mencontohkan 2015 lalu banyak parpol yang gagal memberikan calon kepala daerah yang sesuai harapan publik. Dia juga mempertanyakan peran calon independen dalam uu tersebut. Menurutnya, DPR terlalu berlebihan.

"Dalam pilkada lalu calon independen sedikit. Hanya 13 persen yang menang. Saya heran kenapa DPR begitu keras menjegal itu. Jadi saya pikir pesan UU ini adalah calon kepala daerah itu harus dari parpol."


Editor: Rony Sitanggang

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!