Article Image

SAGA

Perempuan Korban KBGO Mencari Keadilan

"Butuh aparat dan lembaga yang berperspektif korban"

Ilustrasi KGBO

KBR, Jombang - Ketenangan batin jadi hal mewah bagi Nilam, bukan nama sebenarnya, warga Jombang, Jawa Timur. Ia selalu memulai hari dengan rasa was-was. Cemas ketika membuka gawai.

Perempuan 42 tahun ini kerap mendapati foto dan video pribadinya diunggah tanpa izin ke media sosial.

"Teror terus-terusan, sampai sekarang masih terus ada. Lima belas menit yang lalu dia sudah posting lagi. Hari ini ada empat (unggahan)," ujar Nilam.

Nilam adalah korban kekerasan berbasis gender online (KBGO). Foto dan video pribadinya yang disebar berisi konten intim nonkonsensual.

Pelakunya diduga kuat bekas suaminya yang dinikahi secara siri pada 2021. Janda empat anak ini terjerat tipu daya pelaku.

“Dia dari awal manipulatif, sebenarnya dia punya istri. Waktu mengajak nikah, dia bilang sudah pisah, sedang mengurus cerai, tapi sulit karena istrinya katanya PNS,” tutur Nilam.

Setahun berselang, relasi mereka mulai renggang, diwarnai beberapa perselisihan.

“Saya sudah dapat kekerasan fisik, dua kali, kalau kekerasan verbal sering banget,” kisahnya.

Sang mantan berulang kali meminta rujuk, sampai pernah menyatroni rumah Nilam.

“Satu minggu setiap jam 7 pagi keliling rumah, jam 5 keliling lagi, akhirnya tetap enggak mau saya,” ujar pekerja swasta ini.

Baca juga: Jalan Terjal Penanganan KBGO Berperspektif Korban

Tiga pendamping di LSM Women's Crisis Center (WCC) Jombang, tengah berdikusi. Lembaga ini sering mendampingi korban KBGO. (Foto: Muji/KBR)

Tak terima, sang mantan mengalihkan teror fisik ke daring. Ia membuat akun palsu mengatasnamakan Nilam kemudian menawarkan open BO. Aksi ini untuk merusak reputasi ibu empat anak itu

“Waktu saya dapat teror, banyak laki-laki yang kirim foto, video. Saya tanya dapat nomor saya dari mana? Dia screenshot kata-kata yang intinya suruh WA (WhatsApp)  saja karena di aplikasi masih antre,” ungkap Nilam.

Aksi sang mantan kian intensif dengan mengirimkan foto dan video pribadi Nilam ke keluarga, tetangga, hingga teman-temannya. Video-video itu direkam tanpa sepengetahuan Nilam. Motifnya diduga karena sakit hati.

“Balas dendam, katanya saya merusak hidupnya. Aku pengin arek iku uripe hancur (ingin orang itu hidupnya hancur), secara terus terang (mantan) mengatakan begitu,” ucap dia.

Nilam kemudian melaporkan sang mantan ke polisi. Prosesnya panjang karena harus mengumpulkan bukti dan saksi. Baru pada Desember 2023, laporannya ditindaklanjuti.

“Selama proses laporan saya wira-wiri. Dari polisi minta saya, ’Mbak laporannya belum bisa diproses karena belum ada saksi’. Terus saya cari sendiri, jemput sendiri ke Kediri,” tutur Nilam.

Namun, sang mantan tak jera meski dipolisikan. Saban hari, ia terus menyebarkan konten pribadi Nilam. Rupanya, polisi sudah memeriksa sang mantan, tetapi belum bisa membuktikannya sebagai pelaku.

“Alasannya karena HP terlapor waktu ke Polres (Jombang) sudah diperiksa, enggak ada apa-apanya. Dia kan punya banyak HP,” imbuhnya.

Baca juga: Ainun Murwani dan Cerita Perjuangan dari Bantaran Kalijawi

Suasana di Mapolres Jombang. (Foto: KBR/Muji)

Kepala Unit Tipidter Satreskrim Polres Jombang, Raihan Argya, menyebut alat bukti belum lengkap sehingga status masih penyelidikan. Polisi menggunakan Undang-Undang ITE dalam kasus Nilam.

“Kami sudah melakukan gelar perkara, namun belum menentukan status untuk naik ke penyidikan. Karena adanya alat bukti yang harus kami lengkapi,” kata Raihan.

Raihan bilang, tantangannya adalah karena kasus ini berada di ranah siber.

“Salah satunya yang menonjol kita menggunakan digital forensic untuk setiap pengumpulan alat bukti, karena kasus ini terjadi di ruang siber. Selama empat bulan ini kami sudah melakukan pemeriksaan ke pelapor maupun saksi terkait lainnya dan dari keterangan tersebut tentunya ada persamaan dan perbedaan. Perbedaan itulah yang kita coba uraikan lebih detail. Tentunya alur kasus yang sebenarnya terjadi itu bisa terungkap bukan berdasarkan opini dari masing-masing pihak,” ujar Raihan. .

Nilam sudah mengadukan kasusnya ke Komnas Perempuan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, LSM SAFEnet, hingga Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di Pemkab Jombang.

Namun, UPTD PPA menolak memberikan pendampingan, karena kasusnya sudah masuk ranah hukum.

Selain itu, menurut Kepala UPTD PPA Jombang, M Musyafik, Nilam juga menolak opsi mediasi yang merupakan bagian dari prosedur pendampingan.

“Pertama melakukan manajemen kasus, identifikasi masalah, kemudian konteksnya ini kan kita lakukan mediasi, langkah awal. Ketika beliau tidak berkenan mediasi, minta jalur hukum, oke boleh. Itu yang kami tidak bisa intervensi karena itu kewenangan APH (aparat penegak hukum) bukan kewenangan kami,” ujar Musyafik.

Nilam menolak tawaran mediasi karena ia sudah mengupayakan itu sebelumnya, tetapi gagal.

“Buat apa mediasi? sebelum saya ke polres pun saya berusaha mediasi, enggak ada respon, saya tempuh jalur hukum, makanya saya lapor ke polres karena sudah tidak bisa diajak mediasi,” ungkap Nilam.

Baca juga: Jamu Ngatiyem, Potret Pergumulan Perempuan di Tengah Krisis

Tampak depan kantor UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Jombang. (Foto: Muji/KBR)

Nilam kini didampingi LSM Women’s Crisis Center (WCC) Jombang. Menurut Direktur WCC Jombang, Anna Abdillah, polisi mestinya menerapkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) bukan UU ITE.

“Kelemahan polisi itu tidak mengikuti perkembangan hukum. Harapannya untuk kasus-kasus kekerasan seksual itu tidak sekedar menggunakan Undang-Undang ITE, justru akar persoalannya di kekerasan seksualnya dengan di-push konten bernuansa seksual, itu mengendalikan dia, harus manut apa kata pelaku, bahkan misalnya terbukti bahwa video itu dijual ke orang dan untung, sehingga itu menjadi dampaknya seumur hidup ke Mbak N, karena dia punya anak, kerabat, lingkungan sosial, tempat dia tinggal,” tutur Anna.

Anna berujar, polisi mesti menggunakan perspektif korban dalam menangani kasus kekerasan seksual.

“Perspektif menormalisasi bahwa itu ranah domestik bukan ruang publik, ini yang harus effort diyakinkan ke APH (aparat penegak hukum),” imbuh Anna.

Kasus ini sangat merugikan Nilam dan keluarga. Anak sulungnya sampai tersulut emosinya. Hubungan dengan tetangga pun menjadi tidak nyaman.

“Kasarannya moto picek macak budek (tutup mata, tutup telinga) sebenarnya isin (malu), soalnya yang di-posting itu memang benar-benar saya kondisi mandi,” ujar Nilam.

Nilam berharap bakal ada titik terang baginya mendapatkan keadilan.

“Sampai kapan aku kayak gini? kalau bicara bukti, banyak bukti, kalau urusan nangkap pelaku bukan urusan saya, itu kan kerjanya polisi. Kalau enggak terbukti harusnya polisi juga mencari pelaku sebenarnya, bukan stuck di situ,” ucap Nilam.

Penulis: Muji Lestari

Editor: Ninik Yuniati