NASIONAL

Perang Dagang AS-Cina Ancam Ekonomi Indonesia, Ini Kata Ekonom

"Yang harus diantisipasi adalah apakah penerimaan negara tetap bisa dijaga. Kalau tidak, defisit bisa melebar lebih dari target 2,5 persen dari PDB,"

AUTHOR / Hoirunnisa

EDITOR / Muthia Kusuma

Google News
rupiah
Ilustrasi nilai tukar rupiah dipengaruhi kebijakan AS (FOTO: ANTARA)

KBR, Jakarta- Kalangan ekonom menilai perang dagang antara negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan Cina, dapat berdampak pada perekonomian Indonesia. Wakil Direktur Lembaga Kajian Ekonomi INDEF, Eko Listiyanto, menyebutkan meskipun dampaknya lebih bersifat tidak langsung, masyarakat tetap perlu waspada terhadap potensi kenaikan harga barang dan berkurangnya permintaan ekspor, yang dapat memengaruhi daya beli serta peluang usaha.

"Dampaknya karena naik tarif dalam agregat global, perdagangan dunia akan turun kalau saling menaikan tarif karena menjadi tidak menarik. Nah Impikali harga barang akan jadi lebih mahal. Utamanya pada barang dari negara yang melakukan perang dagang itu. Intinya ini akan menurunkan aktivitas ekonomi apalagi aktivitas dagang, implikasi luasnya inflasi dan ketidakpastian ekonomi," kata Eko Listiyanto kepada KBR, Kamis (13/3/2025).

Eko Listiyanto menjelaskan industri yang bergantung pada ekspor ke Amerika dan Cina akan paling terdampak. Penurunan permintaan dari kedua negara tersebut dapat mengakibatkan imbas pada pelaku usaha di dalam negeri yang memasok produk ke sana. Hal ini berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi.

Baca juga:

Selain itu, barang-barang dari negara yang terdampak perang dagang, seperti Cina, berpotensi masuk ke Indonesia dalam jumlah besar, yang dapat mengancam industri dalam negeri jika tidak diawasi dengan baik.

"Screening bea cukai harus diperkuat agar barang yang masuk tetap sesuai aturan dan tidak merugikan produsen lokal," ujar Eko.

Dari sisi keuangan negara, perang dagang dapat memperlambat penerimaan negara akibat penurunan aktivitas perdagangan dan ekspor.

Eko Listiyanto juga menyoroti potensi pelebaran defisit APBN jika penerimaan negara tidak dapat dijaga, terutama karena pengeluaran pemerintah yang cenderung tinggi di awal tahun.

"Yang harus diantisipasi adalah apakah penerimaan negara tetap bisa dijaga. Kalau tidak, defisit bisa melebar lebih dari target 2,5 persen dari PDB," jelasnya.

Untuk menjaga ketangguhan ekonomi, pemerintah didorong mencari pasar alternatif, mendorong efisiensi belanja negara, dan memanfaatkan peluang untuk meningkatkan daya saing.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim semua negara kesulitan menjaga pertumbuhan ekonomi di level 5 persen. Namun, ia menekankan perekonomian Indonesia masih mampu tumbuh di level 5,03 persen sepanjang 2024, meskipun tidak mencapai target awal 5,2 persen.

Sementara itu, Anggota Komisi Bidang Perdagangan DPR, Amin AK, memperingatkan potensi ancaman kebijakan tarif impor Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump terhadap Indonesia. Ia menekankan, kebijakan ekonomi agresif AS dapat memicu ketidakpastian di pasar keuangan global, yang berpotensi menyebabkan volatilitas, atau perubahan harga nilai tukar mata uang secara fluktuatif.

"Yang juga bisa berdampak pada volatilitas nilai tukar mata uang. Nah ini jika tidak diantisipasi dengan baik maka sekali lagi ini juga mengancam stabilitas nilai mata uang Rupiah kita. Walaupun mungkin dari kebijakan Presiden Trump itu bisa juga ada peluang dampak positif bagi Indonesia," kata Amin kepada KBR, Kamis (13/03/25).

Amin AK menambahkan, peluang positif yang dimaksud yaitu jika kebijakan tersebut mendorong relokasi basis produksi dari negara lain ke Indonesia, asalkan pemerintah mampu menarik investasi asing ke sektor manufaktur.

Amin AK juga menyoroti pentingnya menjaga defisit APBN 2025 sesuai proyeksi, maksimal 2,53% dari PDB, untuk menghindari peningkatan utang yang dapat berdampak negatif.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!