ragam
PBB Mencekik Bikin Warga Menjerit, Apa Solusinya?

DPR mendorong agar pemda tidak menaikkan PBB secara dratisi dan segera mencari sumber pendapatan alternatif tanpa membebani masyarakat.

Penulis: Naomi Lyandra

Editor: Resky Novianto

Google News
denda
Warga berkonsultasi dengan petugas saat akan membayar PBB di gerai Badan Pendapatan Daerah Kota Bandung, Rabu (20/8/2025). Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Lonjakan drastis pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) di sejumlah daerah terus mendapat penolakan dari warga, teranyar dari demonstrasi keras di Pati Jawa Tengah hingga Bone Sulawesi Selatan.

Tak hanya di dua daerah tersebut, kenaikan PBB di Kota Cirebon turut menuai gelombang penolakan.

Unsur masyarakat yang menyebut dirinya Gerakan Rakyat Cirebon (GRC) 11 September mengambil sikap terhadap kenaikan PBB di Kota Cirebon yang nilainya diklaim mencapai 1000%.

Kenaikan PBB tersebut nyata adanya, hal ini terbukti di Kelurahan Larangan Kecamatan Harjamukti yang semula membayar PBB sekitar Rp 700 ribuan kini harus membayar sekitar Rp 8 jutaan.

Juru Bicara GRC 11 September Reno Sukriano mengatakan, kebijakan pemerintah daerah Kota Cirebon salah satunya menaikan PBB tiga digit harus dikritisi dan dibenahi.

“Sejak tahun 2024 berdasarkan perda 01-2024 tentang kewenangan pemungutan pajak khususnya untuk PBB dan P2 di kota Cirebon itu sudah dimulai sebetulnya. Dan lonjakan kenaikannya terlalu drastis, artinya bahkan sampai 1000% dibandingkan dengan pembayaran pajak-pajak atau PBB sebelumnya oleh masyarakat,” ujar Reno dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (21/8/25).

Menurut Reno, pemerintah daerah tetap bergeming meski aksi protes masyarakat sempat digelar.

“Namun kemudian pemerintah tetap tidak beranjak atau tidak merubah keputusan apapun atau mempertimbangkan aspirasi dari masyarakat kaitan dengan kenaikan ini agar ditunda atau dilakukan pembahasan bersama kembali untuk dicari solusi. Namun demikian pemerintah hanya tidak bisa itu sudah menjadi ketetapan dan tidak bisa diubah”, lanjut Reno.

DPR Nilai Kenaikan PBB Tak Boleh Lampaui Batas

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf menilai kenaikan ekstrem PBB menunjukkan lemahnya perencanaan.

“Ya dari awal saya juga sudah menyampaikan bahwa kenaikan yang lebih dari 50% itu adalah sesuatu yang luar biasa. Artinya sebuah perencanaan yang tidak di-plan sebelumnya ketika kita ingin meningkatkan pendapatan asli daerah,” kata Dede Yusuf dalam siaran Ruang Publik KBR, Kamis (21/8/25).

“Betul memang tidak ada larangan untuk menaikkan PBB tetapi yang harus diperhatikan adalah kemampuan daya beli masyarakat, kondisi perekonomian,” tambahnya.

Dede Yusuf menegaskan, kebijakan semestinya melalui tahapan sosialisasi. Seperti, kata dia, melakukan diskusi atau komunikasi terlebih dahulu kepada masyarakat.

“Bisa saja mengundang beberapa stakeholder, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, ataupun juga mungkin perwakilan-perwakilan termasuk juga dengan DPRD-nya,” ujarnya.

Dia juga menyoroti pola komunikasi pemerintah daerah. Menurutnya, sedari awal pemerintah mestinya bersikap sebagai mitra daripada masyarakat dan bukan sebaliknya.

“Artinya ketika membuat kebijakan bukan membuat hanya untuk diantara mereka saja, tapi ada pelibatan masyarakat sipil, tadi saya katakan pola komunikasi sosialisasi, didudukkan terlebih dahulu,” lanjut Dede Yusuf.

red
Massa melempari kawasan Kantor Bupati Pati dengan air mineral saat berunjuk rasa di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025). Unjuk rasa yang berakhir ricuh itu karena massa kecewa dan menilai tuntutan mereka agar Bupati Pati Sudewo mundur dari jabatannya tidak segera dipenuhi. ANTARA FOTO/Aji Styawan

Masalah Partisipasi dan Tata Kelola Perlu Dibenahi

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman N. Suparman, menjelaskan, kebijakan ini tak lepas dari mandat UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD).

“Semua kebijakan pajak dan retribusi daerah dalam satu tahun terakhir ini kan sebetulnya adalah tindak lanjut dari Undang-Undang 1 Tahun 2022 tentang hubungan keuangan pusat dan daerah. Sehingga misalnya di Kota Cirebon, di Pati, kebetulan nomornya sama ya, Perda 1 Tahun 2024. Dan semua Kabupaten Kota dan Provinsi itu memang sudah menyesuaikan,” jelas Herman.

Namun, ia menilai masalah muncul karena lemahnya partisipasi bermakna.

“Bagi kami, kenapa ada polemik seperti ini? Karena dalam proses penyusunan baik itu peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah, ada satu prinsip yang dilewati oleh para penyelenggara pemerintahan di daerah, yaitu apa? Partisipasi bermakna,” lanjutnya.

Herman menegaskan, kenaikan PBB-P2 hingga seribu persen justru kontraproduktif terhadap iklim usaha.

“Karena kalau misalnya PBB-P2 naik, BPHTB naik, itu akan membuat dunia usaha itu untuk berhenti untuk menginvestasikan dananya itu di daerah-daerah seperti itu,” tegasnya.

Selain itu, menurutnya publik akan lebih menerima jika pemerintah transparan dan pelayanan publik membaik.

“Kami membayangkan, kalau misalnya pemerintah daerah itu betul-betul optimal di dalam pelayanan publik, pajak itu bukan menjadi masalah,” ujar Herman.

Tanggapan Pemerintah

Pemerintah Pusat Membantah

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian membantah kenaikan PBB dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di daerah akibat kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah pusat.

"Kami sudah melihat daerah-daerah ini, ada yang memang menaikkan, tapi bervariasi ada yang 5 persen, ada yang 10 persen, ada yang kemudian berdampak di atas 100 persen, itu 20 daerah," katanya di Jakarta, Jumat (15/8/2025) malam.

Sementara itu, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menyebut kenaikan PBB-P2 di sejumlah wilayah merupakan kebijakan murni pemerintah daerah.

"Kalau mengenai tuduhan bahwa hal-hal yang dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah ini terkait dengan kebijakan efisiensi, kami menganggap ini sebuah tanggapan yang prematur," katanya di Jakarta, Kamis (14/8/2025).

Menurut Hasan, efisiensi anggaran yang diterapkan sejak awal 2025 berlaku untuk 500-an kabupaten/kota dan seluruh kementerian/lembaga di tingkat pusat. Sehingga tidak dapat dikaitkan dengan satu kasus spesifik di daerah.

"Kalau ada kejadian spesifik, seperti di Kabupaten Pati, ini adalah murni dinamika lokal," ujarnya.

Ia menjelaskan kewenangan penetapan tarif PBB-P2 sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah melalui peraturan daerah yang disepakati antara bupati/wali kota dan DPRD.

"Beberapa kebijakan tarif PBB bahkan sudah ditetapkan sejak tahun 2023 atau 2024 dan baru diimplementasikan pada 2025," kata Hasan menambahkan.

Hasan mengklaim, kebijakan efisiensi anggaran hanya mengurangi sekitar 4-5 persen dari total transfer ke daerah.

Sebelumnya, melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025, Presiden Prabowo Subianto memangkas anggaran transfer daerah hingga Rp50,6 triliun.

red
Massa membakar mobil polisi saat berunjuk rasa di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025). Unjuk rasa yang berakhir ricuh itu karena massa kecewa dan menilai tuntutan mereka agar Bupati Pati Sudewo mundur dari jabatannya tidak segera dipenuhi. ANTARA FOTO/Aji Styawan

Apa Solusinya?

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf mendorong pemerintah daerah mencari sumber pendapatan alternatif tanpa membebani masyarakat.

“Kalau ingin menaikkan pendapatan asli daerah, jangan hanya lewat PBB. Banyak instrumen lain seperti optimalisasi BUMD, retribusi dari potensi ekonomi lokal, dan inovasi pelayanan publik berbasis digital. Itu lebih sehat dibanding langsung membebani warga,” jelasnya.

Menurutnya, sebelum menaikkan pajak, pemerintah sebaiknya meningkatkan pelayanan publik dan membuka transparansi anggaran.

“Bagaimanapun juga, yang namanya pajak itu, tujuan utamanya adalah untuk mendukung pelayanan publik,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif KPPOD, Herman Suparman menekankan reformasi tata kelola pajak.

“Solusi ke depan adalah pemerintah daerah harus berani membuka ruang partisipasi publik dalam penyusunan perda pajak. Selain itu, digitalisasi perpajakan daerah harus dipercepat supaya transparansi meningkat dan potensi kebocoran berkurang,” ujarnya.

Di lain pihak, Reno Sukriano dari GRC menegaskan solusi jangka pendek adalah moratorium.

“Tunda dulu atau hentikan dulu PBB untuk tahun 2025 ini. Kemudian kita rancang yang baru di mana kemudian rancangan baru ini mampu mengakomodir kepentingan publik. Artinya kebijakan kenaikan yang baru ini harus dihentikan dulu. Kemudian kita bicara, ayo kita bersama,” pungkasnya.

Pemda Mesti Gunakan Hati Nurani

Reno kembali mengingatkan agar pemerintah daerah tidak abai pada suara rakyat. Sebab, kenaikan PBB-P2 yang mencekik warga bakal berdampak luas dan menimbulkan efek domino.

“Sekali lagi, kami hanya berpesan kepada pengelola negara baik DPR, DPRD, maupun pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam melaksanakan hal-hal yang berkaitan dengan publik atau kebijakan publik, tolong pakai Nurani,” tutur Reno.

“Jadikan rakyat sebagai tuan. Dan jangan jadikan rakyat sebagai objek penderitaan sementara kalian senang-senang sendiri saja,” pungkasnya.

Obrolan lengkap episode ini juga bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media berikut:


Baca juga:

- Usulan Gerbong Kereta Khusus Perokok Dinilai Asbun dan Tak Masuk Akal!

pajak
PBB
Cirebon
Pati
Rakyat Pati

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...