BERITA

Penyelesaian Kasus HAM Mandek, Mahfud Wacanakan UU KKR

“Dulukan sudah pernah ada Undang-undang Rekonsiliasi dan Kebenaran , itu penting untuk dibuka lagi,"

AUTHOR / Dwi Reinjani

Penyelesaian Kasus HAM Mandek, Mahfud Wacanakan UU KKR
Menko Polhukam Mahfud MD teken serah terima jabatan dari Wiranto di Jakarta, Rabu (23/10). (Foto: Antara/Hafids)

KBR, Jakarta-  Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD,  membuka peluang adanya Undang-undang Rekonsiliasi untuk permasalahan HAM berat masa lalu. Menurutnya rekonsiliasi memang menjadi salah satu upaya untuk menyelesaikan kasus semacam itu.

“Dulukan sudah pernah ada Undang-undang Rekonsiliasi dan Kebenaran , itu penting untuk dibuka lagi kenapa dulu dibatalkan oleh MK.  MK memerintahkan supaya itu dihidupkan tetapi diperbaiki isinya, sampai sekarang 15 tahun   belum diperbaiki juga.” Ujar Mahfud, di kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (23/10/2019).


Namun sebelumnya Mahfud mengatakan akan mempelajari berkas-berkas lama tersebut. Lantaran sudah belasan tahun, ia harus mensortir mana saja kasus yang masih bisa diupayakan.


“Ada beberapa mungkin yang kita lihat kadaluarsanya kasus itu. Kemudian kita lihat manfaat dan mudaratnya dalam setiap agenda penyelesaian.” Ujarnya.


Masalah HAM Berat sebelumnya selalu maju mundur antara komnas HAM dan Kejaksaan terkait berkas kasus.  Mahfud mengatakan akan mempelajari terlebih dahulu sebelum membukanya kembali. Penuntasan kasus HAM sebenarnya sejalan dengan visi misi Jokowi pada periode sebelumnya.
 

Rekomendasi Komnas HAM

Pada Desember tahun lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo agar mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Rekomendasi itu merupakan salah satu dari tiga rekomendasi yang dibuat Komnas HAM, dalam rangka menyambut Peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia, 10 Desember 2018.

Dalam rilis yang diterima KBR, Komnas HAM menyebut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu oleh pemerintah saat ini jalan di tempat bahkan mengalami kemunduran. Salah satu penyebabnya karena Kejaksaan Agung tidak kunjung melakukan penyidikan terhadap berkas-berkas penyelidikan kasus pelanggaran HAM yang telah diselesaikan Komnas HAM.


Upaya yudisial lain yang dapat dilakukan Presiden, adalah menggunakan ketentuan Pasal 47 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibentuk berdasarkan UU.


"Meskipun MK telah menyatakan bahwa UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, namun tidak berarti penyelesaian melalui KKR tidak dimungkinkan lagi. Mengingat mendesaknya penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu dan ketiadaan payung hukum dibentuknya KKR, maka Presiden dapat mengeluarkan Perppu tentang KKR," begitu keterangan pers Komnas HAM yang dikeluarkan 11 Desember 2018, dan ditandatangani Ahmad Taufan Damanik.



Berikut selengkapnya keterangan dari Komnas HAM:

1. Sidang Umum PBB 1948 telah mensahkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan menjadi tonggak sejarah peradaban karena merupakan traktat global pertama yang menjadi acuan hukum hak asasi manusia di seluruh dunia.

Pada 10 Desember 2018, DUHAM telah mencapai usia yang ke-70 tahun dan telah menjadi inspirasi serta diturunkan dalam berbagai instrumen HAM, baik yang sifatnya umum maupun khusus, baik di tingkat nasional, regional maupun internasional.


  1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terus berupaya melalui kewenangan yang dimiliki untuk mendorong terciptanya kondisi hak asasi manusia yang lebih kondusif. Melalui Peringatan Hari HAM 2018, Komnas HAM hendak merefleksikan capaian dan tantangan pemajuan dan penegakan HAM dalam momentum 70 tahun DUHAM.

Komnas HAM telah menetapkan tiga tema strategis yang menjadi prioritas kelembagaan yaitu penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu, pelaksanaan reforma agraria dan penanganan intoleransi, radikalisme dan ekstremisme dengan kekerasan.


  1. Situasi yang dihadapi dalam rangka penyelesaian kasus-kasus Pelanggaran HAM berat masih tergolong terjal karena hingga hari ini masih jalan di tempat bahkan mengalami kemunduran. Kasus-kasus tersebut adalah Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II, Penghilangan Paksa Aktivis 1997/1998, Kasus Wasior dan Wamena, Kasus Talangsari Lampung, Kasus Penembakan Misterius (Petrus), Peristiwa Pembantaian Massal 1965, Peristiwa Jambu Keupok Aceh, dan Peristiwa Simpang KKA Aceh dan Peristiwa Rumah Geudong di Aceh yang terjadi pada masa Daerah Operasi Militer (DOM) 1989-1998.

Sesuai kewenangan yang dimiliki dalam UU No 26 Tahun 2000, Komnas HAM telah menyelesaikan penyelidikan dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat pada kasus-kasus tersebut. Akan tetapi, sampai hari ini hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut belum ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung.


  1. Situasi yang dihadapi dalam pelaksanaan reforma agraria untuk mewujudkan cita-cita UUD 1945 pun masih tergolong rumit karena belum mampu mengatasi ketimpangan struktur dan penguasaan sumber daya agraria. Kondisi ini masih diperparah dengan polemik kerusakan lingkungan hidup, penyelesaian konflik agraria yang belum efektif, dan belum adanya mekanisme kelembagaan penyelesaian konflik agraria yang sifatnya lintas sektor dan eksekutorial.

  1. Situasi intoleransi, radikalisme dan ekstremisme dengan kekerasan pun tak kalah mengkhawatirkan. Survei yang dilakukan sejumlah lembaga penelitian independen menunjukkan gejala menguatnya intoleransi, diskriminasi, dan sentimen konservatisme agama di masyarakat.

Hal ini patut menjadi perhatian karena tindakan intoleransi dalam skala yang lebih luas dan masif dapat menimbulkan terjadinya goncangan sosial, konflik dan kekerasan. Gejala ini pun diyakini akan terus meningkat seiring dengan momentum Pemilu tahun 2019.


Rekomendasi Komnas HAM:

1. Pelaksanaan Reforma Agraria: Komnas HAM merekomendasikan agar Presiden:


a. Kembali menempatkan UU Nomor 5 tahun 1960 dan Tap MPR Nomor IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam menjadi dasar pelaksanaan reforma agraria di Indonesia, yang seluruh ketentuannya harus dipenuhi atau dipatuhi.


b. Memastikan pembentukan mekanisme pelaksanaan reforma agraria yang komprehensif di mana di dalamnya mencakup aspek perlindungan hak, mensejahterakan masyarakat, menjamin keadilan agraria, memiliki kewenangan dalam mengkoordinasikan dan menginstruksikan lembaga-lembaga negara/instansi pusat dan daerah untuk melaksanakan reforma agraria, serta dalam kerja-kerjanya menghormati supremasi hukum dan HAM, melibatkan peran masyarakat sipil serta kelembagaan yang langsung di bawah kendali Presiden RI.


2. Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu: Terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, Komnas HAM merekomendasikan agar Presiden:

a. Segera memastikan Jaksa Agung menggunakan kewenangannya untuk melakukan penyidikan atas berkas-berkas penyelidikan kasus yang telah diselesaikan Komnas HAM.

 

b. Upaya yudisial lain yang dapat dilakukan Presiden adalah menggunakan ketentuan Pasal 47 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang (Pengadilan Hak Asasi Manusia) penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibentuk berdasarkan UU. Meskipun MK telah menyatakan bahwa UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, namun tidak berarti penyelesaian melalui KKR tidak dimungkinkan lagi.

c. Mengingat mendesaknya penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu dan ketiadaan payung hukum dibentuknya KKR, maka Presiden dapat mengeluarkan Perppu tentang KKR.

3. Penanganan Intoleransi: Komnas HAM merekomendasikan agar Presiden memastikan:

a. Bekerjanya berbagai instrumen hukum dan kebijakan yang ada; melakukan sinkronisasi, revisi dan pembaruan hukum yang mendorong situasi toleransi dapat berkembang secara kondusif.


b. Aparat penegak hukum perlu secara tegas dan tepat dalam melakukan tindakan hukum untuk merespon berbagai tindakan kejahatan kebencian, diskriminasi terhadap kelompok minoritas dan tindakan-tindakan intoleransi lain. Negara harus memastikan akses bagi masyarakat yang menjadi korban berbagai tindakan intoleransi.


Editor: Rony Sitanggang

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!