BERITA

Penyelesaian Kasus HAM Berat Masa Lalu Tak Perlu Tunggu DPR

"Menindaklanjuti hasil penyidikan Komnas HAM menjadi penyidikan adalah kewenangan Jaksa Agung. Karena itu laksanakanlah kewenangan pro yustisia itu berdasarkan hukum," kata Taufik.

AUTHOR / Heru Haetami, Wahyu Setiawan

Penyelesaian Kasus HAM Berat Masa Lalu Tak Perlu Tunggu DPR
Aksi Kamisan di depan Istana Negara Jakarta. Foto: Ria Apriyani/KBR

KBR, Jakarta- Anggota Komisi bidang Hukum DPR RI, Taufik Basari menyatakan penuntasan kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu tidak perlu menunggu keputusan DPR.

Hal ini disampaikan Taufik Basari merespons pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang menyebut penyelesaian sembilan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi sebelum tahun 2000, dilakukan dengan persetujuan atau permintaan DPR.

Menurut Taufik, Kejagung dapat menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dengan melakukan penyidikan terhadap kasus tersebut sesuai UU Pengadilan HAM dan hukum acara yang berlaku.

"Keputusan DPR untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc dilakukan setelah penyidikan oleh Kejagung dilakukan," kata Taufik melalui keterangan tertulis, Senin, (29/11/2021).

Definisi dan Kewenangan

Menurut Taufik, ketentuan tersebut merujuk pada Pasal 43 UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang menyebutkan: (1) Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. (2) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.

"Harus dipahami bahwa kata 'dugaan' dalam Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sebagai akibat dapat ditafsirkannya kata 'dugaan' berbeda dengan mekanisme sebagaimana diuraikan di atas. Dengan demikian, sebagian permohonan pemohon yang terkait dengan Penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU Pengadilan HAM sepanjang mengenai kata 'dugaan' beralasan,” kata Taufik.

Ia menambahkan, "Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2007 tersebut, dalam hal DPR merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, DPR harus memperhatikan hasil penyelidikan dan penyidikan dari institusi yang berwenang untuk itu. Oleh karenanya, sebelum DPR mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, terlebih dahulu harus ada dasar penyidikan yang dilakukan, sehingga bukan DPR yang menduga sendiri terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat, melainkan proses pro justisia-lah yang mendasari keputusannya,” imbuhnya.

Taufik menjelaskan, kewenangan DPR yang diberikan UU adalah dalam hal mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu, bukan menentukan apakah hasil penyelidikan Komnas HAM dapat ditingkatkan menjadi penyidikan atau tidak.

"Menindaklanjuti hasil penyidikan Komnas HAM menjadi penyidikan adalah kewenangan Jaksa Agung. Karena itu laksanakanlah kewenangan pro justisia itu berdasarkan hukum," kata Taufik.

Persetujuan DPR

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan penyelesaian sembilan kasus pelanggaran HAM berat harus menunggu persetujuan dan permintaan DPR. 

Pasalnya dari 13 kasus yang disampaikan Komnas HAM, sembilan di antaranya terjadi sebelum tahun 2000 atau sebelum adanya Undang-Undang Peradilan HAM.

"Dan menurut undang-undang, penyelesaian kasus HAM berat yang sebelum tahun 2000 ini, nanti dengan persetujuan atau dengan permintaan DPR. Jadi bukan presiden yang mengambil keputusan, tapi DPR. Nah, kalau DPR menganggap rekomendasi Komnas HAM itu harus ditindaklanjuti, DPR yang menyampaikan ke presiden. Yang penting nanti diskusikan dulu di DPR, apa bisa ini dibuktikan, bagaimana jalan keluar," kata Mahfud usai bertemu Panglima TNI Andika Perkasa di Kantor Kemenko Polhukam, Kamis (25/11/2021).

Menko Polhukam Mahfud MD mengklaim, empat kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah tahun 2000, saat ini sedang diolah. Kata dia, kasus-kasus yang diduga melibatkan anggota TNI juga akan ditangani oleh Panglima TNI Andika Perkasa, berkoordinasi dengan Kemenko Polhukam dan Kejaksaan Agung.

Kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat

Sejumlah peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 di antaranya penembakan misterius 1982 hingga 1985, peristiwa Talangsari Lampung 1989, peristiwa Trisakti, Semanggi 1 dan 2 pada 1998 hingga 1999.

Kemudian kerusuhan Mei 1998, penghilangan paksa 1997 hingga 1998, peristiwa 1965 hingga 1966, kasus pembunuhan dukun santet 1999, dan peristiwa di Aceh seperti Simpang KAA pada 1998.

Sedangkan yang terjadi setelah tahun 2000, antara lain peristiwa Wasior Wamena 2002 dan 2003, peristiwa Paniai 2004, dan Jambo Keupok Aceh pada 2003.

Baca juga:

Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!