NASIONAL

Pendidikan Militer Siswa: Kontroversi Program Dedi Mulyadi dan Hak Anak

Amanat UUD 1945 menegaskan tanggung jawab negara dalam melindungi anak, termasuk korban diskriminasi dan kekerasan.

AUTHOR / Arie Nugraha, Aura Antari, Sindu

EDITOR / Sindu

Google News
Pendidikan Militer Siswa: Kontroversi Program Dedi Mulyadi dan Hak Anak
Gubernur Jabar Dedi Mulyadi mengeluarkan surat edaran yang mengatur pendidikan dengan konsep Gapura Panca Waluya. Foto: jabarprov.go.id

KBR, Bandung- Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berencana menambah kapasitas dan lokasi pendidikan disiplin militer bagi siswa tertentu, yakni dari 350 menjadi 500 anak. Alasannya, ada ribuan permintaan pendidikan disiplin militer untuk siswa dari para orang tua.

“Permintaannya sudah ribuan, orang tuanya ingin nitipin anaknya ke gubernur, ke para bupati dan wali kota untuk dibantu peningkatan disiplinnya," ujar Dedi dalam siaran medianya ditulis Bandung, Jumat, (9/5/2025).

Saat ini, lokasi pendidikan disiplin militer bagi siswa tertentu ada di Depo Pendidikan (Dodik) Bela Negara Resimen Induk Komando Daerah Militer (Rindam) III/Siliwangi Bandung dan di Markas Resimen Artileri Medan (Menarmed) 1 Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) di Purwakarta.

"SMP, kan, yang di Purwakarta tuh 39 orang, yang SMA itu di Rindam sudah 279 orang. Dan orang tua hari ini pengen semuanya nitipin anaknya, enggak akan ketampung. Kita untuk tahap pertama hanya 350 (anak) dan kita ingin tambah pasifitas jadi 500 (anak)," ujar Dedi.

Dedi mengklaim, selama di barak militer, seluruh siswa tetap mengikuti kegiatan belajar layaknya di sekolah. Namun, yang membedakan pengajarnya, karena digantikan tentara setempat.

“Tetapi, menurut saya, pertama tentara ini banyak ngajar loh di daerah-daerah terpencil. Yang kedua, SMA Taruna Nusantara itu tentara lho, pelatihnya, gurunya,” ujarnya.

Dedi mengaku banyak orang tua dan kelompok masyarakat yang mencemaskan nantinya proses belajar siswa menjadi terganggu nantinya karena dididik disiplin militer.

"Nah, kemudian kan ada kecemasan kecemasan atau kekhawatiran-kekhawatiran karena di lembaga atau tempat militer karena dianggap anak-anak ini tidak punya kewajiban atau tidak punya keharusan, bahkan dianggap tidak boleh militer memberikan pendidikan pada anak-anak," kata Dedi.

Sekolah Khusus

Dedi menjelaskan, pada tahap pertama pola pendidikan yang diterapkan kepada adalah melalui perubahan pola sikap dengan dikirim ke pusat pelatihan. Lokasi program kedisiplinan siswa ini bukan hanya barak militer yang ramai diperbincangkan.

"Rindam itu kan sebenarnya bukan barak militer, tetapi pusat pelatihan yang biasa diikuti oleh tentara, oleh ASN (aparatur sipil negara), oleh calon karyawan perusahaan, itu sudah biasa," ungkap Dedi.

Dedi Mulyadi juga merencanakan ada sekolah khusus usai program pendidikan disiplin militer kepada siswa dilakukan. Sekolah yang dimaksud bukan sekolah asal, melainkan sekolah khusus yang ada di setiap kabupaten dan kota.

"Kelas khusus, gurunya khusus, dan dibimbing oleh anggota TNI. Sehingga kedisiplinanya tidak berubah. Kalau mereka balik lagi ke kampungnya, ke lingkungannya ikut lagi sama temannya," ungkap Dedi.

Sekolah khusus ini seperti lokasi pemusatan atlet menggunakan gedung milik yayasan atau sekolah lain yang mumpuni.

Meski disebut sekolah khusus, mereka tetap terdaftar sebagai siswa dan tetap mendapat pelajaran pendidikan sebagaimana layaknya sekolah umum.

"Walaupun orang ribut misalnya, bagaimana sih pembelajarannya di sekolah dia sekarang ketika di barak? Saya jawab pembelajarannya tetap berjalan, walaupun mereka selama ini enggak belajar karena bolos sekolah (di sekolah asal)," ucap Dedi.

Semua rencana itu biayanya ditanggung pemerintah provinsi senilai Rp6 juta per siswa. Biaya itu merupakan anggaran yang dicadangkan dari APBD. Seluruh biaya itu guna menyokong pelaksanaan teknis. Alokasi anggarannya dipegang di dinas pendidikan.

"Dinas pendidikan itu nanti uangnya itu diserahkan ke penduduk negara, ya, kan? Kita tidak mengelola. Komponennya, kan, ada seragam, ada makan, ada minum, kan seperti itu komponennya. Terus kemudian honorarium pelatih. Itu tidak terlalu besar atau emang cukup banyak yang daftar," ungkap Dedi.

Dedi belum mengetahui anggaran yang dicadangkan tersebut telah terpakai dari besaran keseluruhan. Namun dipastikan total anggaran itu untuk menangani apabila ada lonjakan jumlah siswa yang berperilaku khusus harus mengikuti program disiplin secara militer.

red
Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia meninjau pendidikan siswa di Dodik Bela Negara Rindam III/Siliwangi, Lembang, Bandung, Barat, Sabtu, 10 Mei 2025. Foto: jabarprov.go.id


Pandangan Pemprov Jabar

Dedi menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap maraknya kenakalan remaja. Menurutnya, yang kini terjadi bukan lagi sekadar perilaku nakal biasa. Dedi menegaskan fenomena gangster remaja di Jawa Barat telah berkembang menjadi ancaman serius ketahanan bangsa.

Pengaruh buruk terhadap remaja berlangsung melalui dua jalur utama, yakni pengorganisasian kelompok berbasis fanatisme sempit di lingkungan sekolah, serta paparan konten negatif dan tutorial kekerasan melalui media sosial.

"Ini bukan lagi kenakalan biasa. Ini sudah menjadi sistem yang terkelola, terencana, dan terprogram. Bahkan banyak dari mereka yang tahu celah hukum bahwa anak di bawah umur tidak bisa diproses pidana seperti orang dewasa," ujar Dedi.

Dedi menambahkan keterbatasan fasilitas pembinaan anak di kabupaten/kota menyebabkan aparat penegak hukum kesulitan dalam menindak tegas para pelaku.

Akibatnya, banyak anak yang hanya ditahan sementara di kantor polisi dan dikembalikan kepada orang tua tanpa proses pembinaan yang memadai. Dedi juga menyoroti praktik penyelesaian secara kekeluargaan yang justru memperburuk keadaan.

"Anak-anak yang berkelahi hanya dihukum fisik ringan seperti jalan jongkok, lalu pulang dan kembali menjadi gangster. Jika ini terus dibiarkan, kita akan menghadapi kerusakan generasi secara sistemik," kata Dedi.

Latar Belakang Program

Dedi mendorong langkah konkret untuk mengatasi masalah ini, di antaranya melalui program pendisiplinan remaja di barak militer, pembubaran organisasi gangster remaja, serta pembentukan tim siber untuk menindak penyebaran konten kekerasan di media sosial.

"Tim siber harus bisa mendeteksi dan mematikan akun-akun media sosial, sistem media sosial yang mereka miliki harus dimatikan, sehingga mereka tidak bisa lagi eksis membangun jaringan lewat kekuatan media sosial," ungkap Dedi.

Menurutnya, fenomena ini juga berkaitan dengan jaringan bisnis ilegal yang memanfaatkan media sosial sebagai sarana ekspansi.

Karena itu, penanganan kenakalan remaja harus dilihat dalam perspektif ketahanan nasional.

"Ini bukan semata persoalan sosial, tetapi ancaman terhadap masa depan Indonesia. Kita perlu bersatu dan menyelesaikannya secara komprehensif tanpa saling menyalahkan," tukas Dedi.

Perlindungan Anak

Di kesempatan berbeda, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) turut membahas program Dedi Mulyadi. Deputi bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan, pendekatan jangka pendek tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan anak secara menyeluruh.

Kata dia, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 59 mencantumkan 15 jenis perlindungan khusus bagi mereka. Perlindungan khusus ini membuat pengurusan anak bukan perkara sederhana. Amanat UUD 1945 menegaskan tanggung jawab negara dalam melindungi anak, termasuk korban diskriminasi dan kekerasan.

“Makanya ngurus anak itu butuh kerja sama semua orang dan dalam jangka panjang. Undang-Undang Dasar 1945 sudah menyebutkan sebenarnya, kalau orang ngurus anak itu mulai kepalanya, sampai ngurus anak dalam situasi mengalami diskriminasi dan kekerasan,” ujar Pribudiarta dalam Media Talk Menguatkan Komitmen Pendidikan Ramah Anak: Sinergi Kebijakan Daerah dan Nasional di kantor KemenPPPA, Jakarta Pusat, Kamis, (8/5/2025).

“Kita bisa melihat apabila kebijakan itu diarahkan untuk menangani itu, karena kita hanya fokus pada penyelesaian yang jangka pendek,” imbuhnya.

Pribudiarta mengatakan, perlindungan anak harus dipandang secara komprehensif. Isu hak anak telah menjadi perhatian dunia sejak dulu, berawal dari Keputusan Presiden (Keppres) Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak. Kemudian diakomodasi dalam kebijakan nasional melalui Undang-Undang Perlindungan Anak.

“Jadi, kita harus melihatnya itu memang secara komprehensif yang kemudian di kami itu disahkan UU Perlindungan Anak. Sebenarnya awalnya itu terkait dengan Keppres mengenai Konvensi Hak Anak. Jadi sebenarnya secara internasional, dunia itu sudah bicara mengenai hak anak itu. Lalu kemudian Keppres tentang hak anak ini dituangkan jadi materi di dalam undang-undang,” ungkapnya.

“Seperti Jawa Barat, kita mengembangkan di berbagai macam aturan yang juga jadi turunan dari undang-undang anak untuk memastikan hak-hak anak dan tumbuh kembangnya baik. Tadi, dari Konvensi Hak Anak (KHA), keppres, undang-undang,” lanjutnya.

red
Media Talk Kementerian PPPA soal Menguatkan Komitmen Pendidikan Ramah Anak-Sinergi Kebijakan Daerah dan Nasional di Jakarta. Foto: Kemenpppa.go.id


Kota Layak Anak

Gagasan membangun Kota Layak Anak muncul sebagai upaya menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang dan perlindungan anak.

“Nah, sekarang bagaimana menciptakan ekosistem ini tadi supaya anak-anak terpenuhi tubuh kembang dan hak-hak tadi akan dikembangkan namanya kota layak anak,” kata Pribudiarta.

Indikator ini jadi tolak ukur pemerintah daerah dalam memerhatikan kebutuhan anak, mulai dari hak tumbuh sehat hingga hak atas perlindungan. Dalam konsep ini, ada sekitar puluhan hak anak yang harus dipenuhi agar mereka bisa hidup dan berkembang dengan layak.

“Yang tentunya kota layak anak itu menjadi ukuran apakah pemda, provinsi, kabupaten dan tempat lainnya memerhatikan semua kebutuhan anak-anak. Tentang hak tumbuh kembang maupun terlindungi itu tadi. Ada sekitar 24 hak anak di situ," ungkapnya.

Pribudiarta mengatakan, Jawa Barat perlu memperkuat upaya perlindungan anak, bukan hanya menangani anak bermasalah, tetapi juga mencegah kekerasan sejak dini. Setiap keluarga memiliki potensi alami situasi yang menempatkan anak sebagai korban kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah, hingga penelantaran.

“Jawa Barat sebenarnya harus memperkuat, karena bukan hanya anak yang nakal yang disertakan, tetapi mencegahnya juga jadi penting. Setiap keluarga itu punya potensi, dia mengalami kekerasan. Semua punya potensi untuk dia kemudian menjadi korban kekerasaan, ada eksploitasi, ada perlakuan salah, ada penelantaran,” katanya.

“Perlakuan salah dari saya contoh, kasih anak motor padahal dia belum punya Surat Izin Mengemudi (SIM). Harus ada aturan yang tadi, di mana kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan perlakuan itu tidak boleh terjadi. Nah, itu kesejahteraan anak dan keluarga, di situ dipastikan dia baik,” lanjutnya.

red
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengawasi program pengiriman siswa ke barak militer. Foto: KPAI


Masalah Bersama

Pribudiarta mengatakan, pemenuhan kesejahteraan anak menjadi tanggung jawab bersama sejumlah kementerian. Kementerian Pendidikan berperan memastikan anak mendapat akses pendidikan, Kementerian Kesehatan menjaga anak tetap sehat, dan Kementerian Sosial fokus pada anak-anak yang hidup dalam kemiskinan agar tetap terpenuhi hak-haknya.

“Kalau dari sisi kebijakan, siapa sih yang memastikan kesejahteraan anak dan keluarga itu terpenuhi dengan baik? Di pihak pemerintah harus ada kementerian pendidikan, anak-anak sekolah. Harus ada kementerian kesehatan, memastikan misalnya anak itu bisa sehat,” katanya.

Pribudiarta juga menilai perubahan pola pikir masyarakat menjadi kunci menangani persoalan anak, karena selama ini banyak yang masih menganggap urusan anak hanya tanggung jawab orang tua. Padahal, masalah anak adalah masalah bersama yang membutuhkan kepedulian dan peran semua pihak.

“Masyarakat itu harus berubah, kan, mindset-nya agar kemudian melihat bahwa masalah anak itu adalah masalah kita bersama. Sekarang sering terjadi masalah itu karena semua orang menganggap masalah anak itu masalah orang tua,” ujarnya.

Kepedulian

Masih banyak orang menganggap tangisan anak di rumah tetangga sebagai urusan pribadi, padahal setiap orang dewasa seharusnya punya kepedulian ikut campur jika ada tanda-tanda anak dalam situasi tidak aman.

“Jadi, kalau saya lihat di rumah bapak ada anak nangis, maka itu urusan bapak, misalkan orang tua dulu. Padahal setiap orang tua sebenarnya, setiap manusia sebenarnya harus bisa mengintervensi itu tadi,” ujarnya.

Anak sering kali tidak bisa mengadu, sehingga butuh kepekaan dan keberanian orang dewasa guna membantu dan memastikan sistem perlindungan anak berjalan sebagaimana mestinya.

“Kalau anak di rumah bapak nangis-nangis jam dua malam, ada apa, tuh? Ada apa dengan anak Bapak? Nah, harusnya kita tunggu kalau misalnya kita peduli dengan sistem perlindungan anak ini tadi. Karena memang anak itu kan enggak bisa ngadu, harus dibantu oleh orang dewasa," pungkasnya.

Angka Kenakalan Remaja

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) serta Open Data Jawa Barat, terjadi tren penurunan kenakalan remaja di sana. Pada 2020, ada 12.345 , lalu 11.567 kasus pada 2021, dan 10.890 pada 2022.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Keluarga Jawa Barat, Siska Gerfianti menjelaskan, meski terjadi penurunan kasus, namun angkanya tidak signifikan.

"Kenakalan remaja di Jawa Barat ini merupakan masalah sosial yang kompleks dan membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak. Ini harus menjadi perhatian serius karena berdampak pada generasi muda dan stabilitas sosial," katanya dalam diskusi yang sama dengan Kementerian PPPA, Kamis, 8 Mei 2025.

Menurutnya, tawuran antarsekolah, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, dan tindak kriminal lain merupakan jenis kenakalan remaja yang paling menonjol di Jawa Barat.

“Yang berbahaya adalah dampak yang diakibatkannya, bahaya bagi diri sendiri, kerugian materi bagi orang lain, korban fisik bagi orang lain, hingga gangguan ketertiban umum,” sambung Siska.

Karena itulah, Pemprov Jabar menerapkan program pelatihan karakter menggunakan pendekatan ketarunaan. Tujuannya, memperkuat integritas hingga membangun kedisiplinan dan tanggung jawab sosial di peserta didik.

“Tujuan lebih spesifik yaitu mewujudkan Pancawalwiya Jabar Istimewa, yaitu generasi muda yang cageur (sehat), bageur (berakhlak baik), bener, pinter, dan singer (tanggap),” kata Siska, seperti dikutip KBR dari Kementerian PPPA, Kamis, 15 Mei 2025.

Pendidikan militer siswa ala Dedi Mulyadi ini pada tahap pertama diikuti 272 anak dari 106 sekolah. Rinciannya, 6 SMA swasta, 15 SMK swasta, 53 SMAN, 32 SMKN.

Pendidikan dilaksanakan 30 hari, terdiri dari dua hari masa orientasi, 14 hari pendidikan level dasar, dan 14 hari level lanjutan sesuai capaian kompetensi peserta.

Baca juga:

- Dedi Mulyadi Dilaporkan Komnas HAM karena Kirim Siswa ke Barak Militer

- Mendidik Siswa Nakal di Barak Tak Sesuai Ajaran Ki Hajar Dewantara

            Komentar

            KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!