NASIONAL

Pemilu 2024, Yogyakarta Masuk 10 Besar Provinsi Rawan Politik Uang

Kabupaten paling rawan terjadi praktik politik uang di DIY berada di Kabupaten Gunungkidul.

AUTHOR / Ken Fitriani

politik uang
Diskusi Mewaspadai Jurus-jurus Baru Money Politics di UGM (13/2/2024). (Foto: KBR/Ken Fitriani)

KBR, Yogyakarta - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan, DIY masuk dalam 10 besar wilayah paling rawan terjadinya praktik politik uang. Meskipun, kategorinya berada pada tingkat "Sedang".

Juru bicara Bawaslu DIY, Umi Illiyana menjelaskan, DIY berada di posisi delapan sebagai daerah rawan praktik politik uang tingkat "Sedang", setara dengan Riau, Bangka Belitung dan Bali. Data tersebut dirilis Bawaslu RI untuk Pemilu 2024 ini.

"Tingkat kerawanan "Sedang" isu money politics. Nah, DIY itu masuk urutan sepuluh besar. Sebenarnya dia masuk ke ranking delapan tapi bersamaan dengan Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung dan Bali, " katanya dalam diskusi bertajuk "Mewaspadai Jurus-jurus Baru Money Politics" di Fisipol UGM, Selasa (13/2/2024).

Umi menyebut, penilaian demikian tentu bukan sebuah prestasi yang patut dibanggakan oleh Pemprov DIY. "DIY sedang tidak aman-aman saja, karena sudah ada 'warning' warna 'kuning'," ujarnya.

Lebih lanjut, Umi menyebut, indikator DIY masuk 10 besar wilayah rawan politik uang dengan tingkat "Sedang" didasarkan pada riwayat penyelenggaraan Pemilu 2019.

"Ini jadi penyumbang, kenapa kita menjadi rangking ke delapan besar provinsi rawan politik uang," tandasnya.

Berdasarkan riwayat penyelenggaraan Pemilu 2019, kabupaten paling rawan terjadi praktik politik uang di DIY berada di Kabupaten Gunungkidul.

Baca juga:

- Peran Sultan DIY di Balik Rencana Pertemuan Jokowi-Megawati

Sedangkan untuk provinsi paling rawan tinggi dalam praktik politik uang, Umi mengatakan, berada di Maluku Utara. Kemudian disusul Lampung, Jawa Barat, Banten, dan Sulawesi Utara.

"Jangan sampai DIY masuk lima besar praktik politik uang kategori rawan tinggi. Jangan sampai nama DIY ada di indeks kerawanan Pemilu tahun 2029," ungkapnya.

Dijelaskan Umi, dengan masuknya DIY sebagai wilayah rawan terjadinya politik uang dengan kategori sedang tersebut menjadi peringatan dini agar dapat di mitigasi lebih baik lagi di Pemilu yang akan datang, " imbuhnya.

Umi mengungkapkan, di masa tenang terakhir Pemilu ini titik kritisnya berada pada hari ini di atas jam 21.00 hingga dini hari dan pada pagi hari pemungutan suara. Sebab serangan-serangan bagi politik uang beredar dan terjadi pada waktu tersebut.

"Jadi Bawaslu itu SDM nya terbatas, maka kami himbau untuk teman-teman semua untuk kita bersama-sama mengawal agar tidak ada money politics di DIY," harapnya.

Sementara itu, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan di Fisipol UGM, Mada Sukmajati mengatakan, salah satu strategi yang dipakai dalam praktik politik uang adalah dengan pembagian bantuan sosial (Bansos). Padahal, bansos pada Pemilu bukan hal yang pertama untuk menarik simpatisan pemilih.

Pada 2009, bekas Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) diduga juga pernah melakukan hal yang sama, namun dengan model Bantuan Langsung Tunai (BLT). "Kemungkinan strategi ini akan dipakai di masa-masa yang akan datang karena secara regulasi tidak ada larangan," tandasnya.

Mada mengungkapkan, hal yang paling penting dalam memerangi politik uang ini adalah dengan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait pendidikan politik.

"Menurut saya salah satu solusinya adalah ya pendidikan politik warga negara bahwa ini memang tipikal biasanya dilakukan oleh mereka yang punya kepentingan dan punya akses," imbuhnya.

Mada mengungkapkan, jika ada masyarakat menerima bansos dari salah satu peserta Pemilu, ia menyarankan untuk menerima saja. Namun untuk masalah pilihan, kembali kepada masyarakat itu sendiri.

"Bansos ini kata Bu Menteri Keuangan berasal dari APBN dan bukan dari personal. Meskipun Bu Menkeu tidak menyebut proses personalisasi seperti apa. Ini bagian daridari strategi para peserta Pemilu itu untuk masyarakat kita yang masih sangat melihat siapa yang memberi," imbuhnya.

Baca juga:

- Megawati: Saya Kayak Enggak Dihormati

Mada memperkirakan, titik krusial justru akan terjadi setelah pelaksanaan Pemilu berlangsung dan masuk dalam tahapan penghitungan dan rekapitulasi suara.

"Itu menjadi sangat krusial terjadinya pembelian suara atau vote buying yang menyasar pada penyelenggara. Apalagi kalau kita bicara dalam konteks Pilpres seperti ini, ada intimidasi dan seterusnya dari kelompok tertentu kepada penyelenggara. Ini menjadi tekanan sangat besar yang dialami oleh penyelenggara terlebih di tingkat TPS, " pungkasnya.

Editor: Fadli

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!