HEADLINE

Pemaksaan Ahmadiyah Lombok, Bupati Tegur Camat

"Pengarahan kepada camat agar melindungi semua warga negara, tidak melihat alirannya atau golongannya,"

AUTHOR / Quinawati Pasaribu

Pemaksaan Ahmadiyah Lombok, Bupati Tegur  Camat
Ilustrasi: Surat pernyatan pemaksaan Ahmadiyah Lombok Timur agar keluar dari keyakinannya. (Sumber: JAI)

KBR, Jakarta- Bupati Lombok Timur, Ali Bin Dachlan menegur Camat Sambelia dan Kepala Desa Dusun Bagik Manis terkait pemaksaan kepada jemaat Ahmadiyah agar keluar dari keyakinannya. Pemaksaan dilakukan lantaran dituding menyebarluaskan ajarannya usai melaksanakan salat tarawih, pada Selasa malam (14/6/2016).

"Iya langsung pada waktu itu. Saya memberi pengarahan kepada camat agar melindungi semua warga negara, tidak melihat alirannya atau golongannya," kata Bupati Ali Bin Dachlan lewat sambungan telepon pada KBR, Senin (11/7/2016).


Teguran itu ia sampaikan beberapa pekan lalu di kantornya. Namun begitu, ia mengaku tidak mengetahui adanya surat pernyataan yang ditandatangani oleh delapan jemaat Ahmadiyah. Dalam surat pernyataan itu, jemaat Ahmadiyah dipaksa untuk tidak saling berkumpul dan ibadah bersama dan tak boleh mendatangkan mubaligh.


"Saya nggak pernah lihat surat pernyataan itu. Saya juga tak tahu kalau mereka menandatangani," jelasnya.


Tapi, Ali Bin Dachlan kembali menegaskan bahwa tidak semestinya jemaat Ahmadiyah dilarang berkumpul. Keculi, kata dia, perkumpulan itu bisa memicu konflik.


"Iya, boleh. Siapa yang bisa melarang orang berkumpul? Dilarang kalau menimbulkan konflik. Sebagai pemerintah daerah, kita kasihan kalau mereka menderita akibat hal yang kurang diperhatikan," tegasnya.


Bupati meminta mereka yang menolak jemaat Ahmadiyah, agar menahan diri. Termasuk juga jemaat Ahmadiyah sendiri.


Menanggapi perintah Bupati Lombok Timur, Ali Bin Dachlan, Camat Sambelia, Bukhori membenarkannya.

"Jadi pak bupati tidak melarang keyakinan mereka, cuma jangan melakukan kegiatan apabila masyarakat tidak senang pada Ahmadiyah."

Meski begitu Camat Sambelia Bukhori bersikeras  jemaat Ahmadiyah tidak boleh berkumpul dengan sesamanya. Pasalnya, dikhawatirkan ada pihak-pihak yang bakal menyerang mereka. Larangan berkumpul itu, menurut versinya, semisal menggelar pengajian.


"Kalau berkumul seperti pengajian Ahmadiyah yang tidak disenangi masyarakat, masyarakat akan menyerang Ahmadiyah. Itu yang kita khawairkan. Selain itu tak ada," jelas Bukhori ketika dihubungi lewat telepon, Senin (11/7/2016).


Sedangkan terkait dengan surat pernyataan yang memaksa jemaat Ahmadiyah keluar dari keyakinannya jika berkumpul, beribadah bersama dan mendatangkan mubaligh, ia mengaku tak mengetahui. "Surat itu saya tak perah tahu bentuknya, karena saat itu saya libur. Tapi akan saya cek kapan-kapan," imbuhnya.


Jemaat Ahmadiyah, Monginsidi mengatakan, hingga kini kondisi di desanya aman. Tak ada intimidasi. Namun ibadah yang mereka lakukan tak bisa bersama-sama.

"Ibadah masih sendiri-sendiri," katanya ketika dihubungi KBR lewat telepon, Senin (11/7/2016).

Ia pun membantah jika selama ini jemaat Ahmadiyah menggelar pengajian. "Memang tak pernah ada pengajian." Sehingga, menurutnya, dalih yang digunakan camat dan kepala desa hanya karangan semata. Hubungan mereka dengan masyarakat setempat pun, baik-baik saja. "Tak pernah ada masalah."


Sempat pula mereka mengunjungi Kepala Desa Abdulrahman, namun di sana tak membahas surat pernyataan tersebut. Hanya saja, surat itu masih berlaku hingga saat ini alias belum dicabut.

"Surat itu ada di tangan kepala desa," ucapnya.

Sebelumnya, delapan Warga Ahmadiyah di Desa Dasan Bagik Dalem, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur dipaksa menandatangani surat pernyataan keluar dari keyakinannya. Pengurus Ahmadiyah wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) Saleh Ahmadi mengatakan, surat pernyataan itu disusun oleh kepala desa setempat.


"Kepala desa bersama kepala dusun lainnya itu membuat draf surat pernyataan yang harus ditandatangani dengan materai, bahwa kalau mereka ingin kembali ke kampungnya harus menandatangani surat pernyataan keluar dari (keyakinan) Ahmdaiyah," kata Saleh Ahmadi saat dihubungi KBR, Sabtu (18/6/2016).


Bahkan, lanjut Saleh, jemaah Ahmadiyah di desa itu diancam bakal diusir jika tak meneken surat pernyataan tersebut.


Pemaksaan ini berawal dari penangkapan delapan jemaat Ahmadiyah usai melaksanakan salat tarawih. Aparat desa menuding warga ahmadiyah menyebarluaskankan ajaran. Setelah tudingan itu, delapan warga digiring ke kantor kecamatan untuk dimintai keterangan.


Jemaat Ahmadiyah kemudian dibawa ke kantor Polsek setempat untuk diinterograsi. Saleh pun turut mempertanyakan ketidakjelasan alasan penangkapan anggotanya itu. Setelah penangkapan tersebut, warga mengaku kaget lantaran sudah disodorkan surat pernyataan yang mengatasnamakan warga di lima dusun di Desa Bagik Manis. Isi pernyataan itu, salah satunya meminta jemaah Ahmadiyah keluar dari keyakinan yang dianut.

Editor: Rony Sitanggang

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!