NUSANTARA

Pahitnya Nasib Buruh Perempuan dengan Upah Murah di Jawa Tengah

Erma menyebut nasib para buruh perempuan di tempat ia bekerja dulu kurang layak, malah mirip sistem kerja paksa. Ia terpaksa mundur dari tempat kerja.

AUTHOR / Anindya Putri

buruh perempuan
Ilustrasi. (Foto: Antara/Aji Styawan)

KBR, Semarang - Nada suara Erma Oktavia (30), ibu satu anak asal Kabupaten Demak, Jawa Tengah meninggi kala menceritakan pengalaman pahitnya menjadi buruh di salah satu pabrik garmen ternama di Kabupaten Gerobogan, Jawa Tengah.

Kepada KBR, Erma memaparkan perlakuan pabrik tempat ia bekerja dulu pada buruh perempuan. Mulai dari eksploitasi buruh perempuan, gaji di bawah rata-rata, kebijakan yang tak ramah pada buruh perempuan yang sedang hamil, hingga sistem kontrak yang tidak ada akhirnya.

Erma menyebut nasib para buruh perempuan di tempat ia bekerja dulu kurang layak, malah mirip sistem kerja paksa.

Kondisi tersebut membuat Erma memutuskan mundur dari tempat ia bekerja April 2023 lalu.

Meski demikian, ia masih berjuang untuk kesejahteraan ribuan buruh perempuan di tempat ia bekerja dulu bersama Serikat Pekerja (SP) SPRING.

Selama hampir tiga tahun, Erma mengais rupiah di pabrik garmen yang berjarak 19 kilometer dari kediamannya.

Perusahaan meminta para pekerja yang mayoritas perempuan untuk lembur hingga overtime. Namun, upah lembur tak segera dibayarkan oleh perusahaan.

"Kami disuruh lembur, molornya itu tidak hanya sejam dua jam. Bahkan bisa lima jam," ucap Erma di kediamannya, Jumat (28/07/23).

    Pabrik garmen di Gerobogan tempat Erma bekerja juga tak ramah bagi perempuan hamil. Setiap ada buruh perempuan hamil, perusahaan meminta mereka mengundurkan diri.

    "Jadi ada beberapa perempuan hamil, saya juga heran kenapa staff bisa tahu kalau ada anak produksi yang hamil, mereka diminta ke kantor dan disuruh membuat surat pengunduran diri. Kesannya seperti perusahaan tidak mau rugi dan ambil resiko," jelas Erma.

    Perusahaan tempat Erma bekerja juga tak pernah mengangkat karyawan tetap. Semua buruh berstatus sistem kontrak abadi. Termasuk Erma yang sudah bekerja selama tiga tahun.

    red

    Keterangan Foto: Erma Oktavia memutuskan keluar dari pekerjaan sebagai buruh garmen di Grobogan, Jawa Tengah. Foto diambil Jumat (28/7/2023). (Foto: KBR/Anindya Putri)


    Setiap tiga bulan sekali ia diminta untuk memperbaharui kontrak kerja. Tak hanya itu, Tunjangan Hari Raya (THR) bagi karyawan yang sudah bekerja satu tahun lebih juga tak didapat.

    "Saya sudah kerja tiga tahun, tidak ada namanya pengangkatan karyawan, yang ada setiap tiga bulan sekali tanda tangan kontrak, mau lanjut apa enggak," ungkap Erma.

    Upah yang diterima setiap bulan juga tak sesuai Upah Minimum Kabupaten (UMK) Grobogan di kisaran Rp 2 juta. Itu pun dibayarkan bertahap alias dicicil dua kali, yaitu tanggal 5 dan tanggal 20.

    Mirisnya, total upah yang Erma terima tak pernah menyentuh Rp 2 juta. Sebab, terdapat potongan upah dari tak masuk kerja hingga telat absen.

    "Kalau telat pasti potong gaji, tidak masuk kerja juga dipotong gajinya. Bisa dibilang gaji saya dulu hitungannya per hari," keluh Erma.

    Erma geram karena pabrik tempatnya bekerja berbuat curang. Puncaknya, pada akhir 2022 lalu, perusahaan tak membayar upah lembur dan ada paksaan lembur kepada ribuan buruh perempuan.

    Kondisi itu membuat Erma berontak. Ia bergerak seorang diri, menuntut hak para buruh dibayarkan. Erma merekam aksi protesnya tersebut menggunakan telepon genggamnya.

    Aksi protes Erma sempat sempat menghebohkan sosial media pada Januari 2023.

    Kalangan buruh, Pemda hingga serikat pekerja juga memberikan respon dan mendukung aksi Erma kala itu.

    Aksi protes tersebut berujung adanya mediasi dengan perusahaan yang dikawal oleh Serikat Pekerja (SP) SPRING dan Disnaker Grobogan.

    "Waktu itu saya sudah gemas, saya buat video di situ untuk meminta hak upah lembur ke manajer. Kemudian video tersebut disebarkan oleh teman teman. Saya sempat kaget ternyata viral," beber Erma.

    Walaupun telah mengikuti mediasi, namun Erma masih harus menelan getah pahit.

    Imbas dari video viral tersebut, Erma dimutasi dari ketua line (vider) menjadi bagian produksi setrika (ironing).

    Pasca-dimutasi ke bagian produksi, Erma kewalahan. Ia dipaksa bekerja dengan kondisi berdiri selama 7 jam nonstop.

    "Setelah video viral itu, saya dipindah bagian, Januari kebetulan tanda tangan kontrak perpanjangan," ungkapnya.

    Menurut Erma, mutasi yang ia terima merupakan akal-akalan perusahaan untuk membuatnya tidak betah bekerja.

    Beratnya ritme kerja dengan kondisi berdiri berjam-jam membuatnya Erma acapkali pingsan.

    "Selama satu bulan 4 kali saya pingsan, karena sudah tidak kuat. Apalagi waktu menstruasi harus kerja, cuti menstruasi juga tidak ada,” beber Erma.

    Selama dua bulan Erma bekerja di bagian baru, ia tidak kuat lagi dan memilih keluar dari perusahaan pada April 2023, tepatnya setelah Idul Fitri.

    THR tak juga Erma rasakan hingga di penghujung waktu kerjanya.

    "Akhirnya saya resign karena sudah lelah, THR juga tidak dapat apalagi tali asih," kata Erma kecut.

    Baca juga:

    Penghasilan dari perusahaan tempat Erma bekerja tak bisa mencukupi kebutuhan keluarga, meski sudah ditambah dengan penghasilan suami.

    "Gaji yang dulu saya terima sudah jelas tidak cukup buat hidup, mau tidak mau harus ngirit biar bisa beli beras, bayar listrik. Belum yang ada anak bayi beli popok dan susu," terang Erma.

    Erma hanya segelintir perempuan yang harus memikul peran ganda sebagai penyokong perekonomian keluarga dan ibu rumah tangga.

    ***

    Dengan tensi kerja tinggi, namun hasil tak sebanding, beberapa buruh perempuan sering kali terdesak dengan kondisi perekonomian.

    Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang sering kali terjadi turut memperparah kehidupan para buruh perempuan.

    Seperti pengakuan Kusuma (31) buruh perempuan asal Kabupaten Kendal Jawa Tengah.

    Perempuan 31 tahun itu bahkan jadi tulang punggung rumah tangga lantaran bercerai dengan suaminya.

    Selain upah yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Kusuma juga mengaku KDRT sangat berdampak pada kondisi psikologinya.

    Kusuma telah bekerja hampir 10 tahun di pabrik garmen dengan gaji awal Rp900 ribu per bulan.

    Meski upah yang ia terima kini Rp2,5 juta, namun ia harus menghidupi anaknya seorang diri. Kusuma bercerai pada 2022 lalu akibat KDRT.

    "Gaji segitu jelas tidak cukup, pasca bercerai saya harus menghidupi anak sendirian, karena suami saya penjarakan karena KDRT," beber Kusuma.

    Untuk mendapatkan uang tambahan, Kusuma terpaksa nyambi berdagang makanan dan aksesoris perempuan melalui online.

    Meski untung yang didapat tidak seberapa, bagi Kusuma sangatlah berarti.

    "Saya juga jualan online, buat tambah-tambah dan biaya operasional kerja, udah bisa buat beli bensin aja Alhamdulillah," kata Kusuma.

    Kusuma mengatakan menjadi buruh perempuan tidak mudah. Ditambah dengan kondisi psikologinya pasca-menjadi korban KDRT.

    "Pernah di kondisi drop sekali, sudah sakit fisik dan hampir depresi tapi saya harus tetap bekerja," tutur Kusuma.

    Baca juga:


    Editor: Agus Luqman

    Komentar

    KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!