NASIONAL

ODHA, Diskriminasi dan Lemahnya Aturan Perlindungan Kelompok Rentan

Penelitian LBH Masyarakat menunjukkan bahwa lebih 200 peraturan ketertiban umum di tingkat daerah bersifat multitafsir.

AUTHOR / Heru Haetami

ODHA, Diskriminasi dan Lemahnya Aturan Perlindungan Kelompok Rentan
Ilustrasi: Pita merah atau pita kesadaran, simbol solidaritas pengidap HIV/AIDS. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Penanggulangan HIV/AIDS butuh kerja sama multipihak dengan tujuan yang sama. Ini disampaikan Asisten Deputi Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak Kemenko PMK, Imron Rosadi, saat menerima audiensi dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten, Senin, 21 Agustus 2023.

"Sinergi Pentahelix dari pemerintah, akademisi, badan dan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media massa sangat diperlukan untuk penanganan HIV/AIDS," kata Imron di kantor Kemenko PMK, seperti dikutip KBR dari situs kemenkopmk.go.id, Jumat, 29 September 2023.

Kata Imron, apa yang disampaikan di audiensi akan disampaikan kepada Kementerian Kesehatan. Semisal soal perubahan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV/AIDS, yang diubah menjadi Permenkes Nomor 23/2022 tentang Penanggulangan HIV/AIDS, dan Infeksi Menular Seksual.

HIV adalah Human Immunodeficiency Virus, yakni sejenis virus yang menginfeksi sel darah putih, sehingga mengakibatkan menurunnya kekebalan tubuh manusia.

Sedangkan AIDS adalah Acquired Immune Deficiency Syndrome, atau sekumpulan gejala yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh karena infeksi HIV.

Target dan Penyebab

Kementerian Kesehatan menargetkan Indonesia bebas AIDS pada 2030. Caranya antara lain dengan Three Zero atau tiga nol. Yakni, nol penularan baru HIV, nol stigma dan diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA), dan nol kematian akibat AIDS.

Namun, Kemenkes mencatat kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Indonesia meningkat pada 2023. Juru bicara Kemenkes Muhammad Syahril menyebut kasus HIV didominasi oleh ibu rumah tangga.

“Aktivitas ini telah menyumbang sekitar 30 persen penularan dari suami ke istri. Dampaknya, kasus HIV baru pada kelompok ibu rumah tangga bertambah sebesar 5.100 kasus setiap tahunnya,” kata Syahril dalam keterangan tertulis, Senin, (8/5/2023).

Syahril memaparkan, berdasarkan data Kemenkes, jumlah ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV mencapai 35 persen. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan kasus HIV pada kelompok lain, seperti suami pekerja seks dan kelompok MSM (man sex with man).

Kata dia, salah satu penyebab tingginya penularan HIV pada ibu rumah tangga adalah pasangan dengan perilaku seks berisiko.

Kekerasan

Penelitian perempuan dari Forum Pengada Layanan (FPL) mengungkap status positif tersebut membuat kerentanan terhadap perempuan bertambah.

Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan perempuan positif HIV/AIDS rentan mengalami kekerasan.

Ketua Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, Bahrul Fuad menyebut, 93 perempuan positif HIV/AIDS melaporkan kekerasan yang dialaminya.

"Jadi adanya pemahaman tentang kesalahpahaman terkait dengan penyakit HIV/AIDS ini yang kemudian membuat perempuan yang mengidap HIV/AIDS ini itu kemudian rentan mengalami kekerasan. Nah, ini yang masalahnya adalah bagaimana kesalahpahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS ini. Karena itu perlunya sosialisasi dan pendidikan publik," ujar Ketua Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, Bahrul Fuad pada konferensi pers di kanal Youtube KemenPPPA, Selasa, (18/7/2023).

Menurut Bahrul Fuad, aspek informasi dan layanan bagi perempuan positif juga masih minim. Hal tersebut yang mendasari diskriminasi pada korban masih terus terjadi.

Diskriminasi

Kondisi yang sama juga diungkap Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti-Diskriminasi. Praktik diskriminasi terhadap kelompok rentan, termasuk orang dengan HIV/AIDS meningkat setiap tahun.

Salah satu anggota koalisi dari LSM Perempuan Mahardhika Jihan Faatihah mengatakan, diperlukan payung hukum lantaran aturan yang sekarang kurang tak bisa mengatasi kerentanan yang berlapis, dan definisinya terbatas.

"Melihat situasi ini, dibutuhkan payung hukum yang komprehensif untuk melindungi kelompok rentan dari diskriminasi. Kerentanan ini harus dilihat tidak hanya dari satu sisi, tapi dari berbagai dimensi, seperti status kesehatan, usia, ketimpangan ekonomi, kepercayaan dan agama, masyarakat adat, dan lainnya," kata Jihan dalam keterangan tertulis yang diterima KBR, Jumat, (25/8/2023).

Menurut Jihan, Pasal 28 huruf l UUD 1945 jelas menjamin bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apa pun. Menurutnya, aturan ini pun perlu dideskripsikan dengan jalas agar penerapannya tepat.

"Peraturan yang komprehensif ini harus ada, seminimalnya, definisi diskriminasi yang komprehensif, kategorisasi kerentanan yang inklusif, mekanisme penyelesaian diskriminasi termasuk pemulihan hak korban, penegakan hukum, penguatan dan pembentukan kelembagaan untuk mewujudkan kesetaraan, serta mekanisme implementasi untuk penghapusan diskriminasi di segala tingkat," katanya.

Multitafsir

Penelitian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat juga menunjukkan bahwa lebih dari 200 peraturan ketertiban umum di tingkat daerah bersifat multitafsir, sehingga digunakan untuk kriminalisasi orang dengan HIV.

“Terbaru (diskriminasi) HIV kaitannya dengan Perda,” ujar Direktur LBH Masyarakat Muhammad Afif kepada KBR, Jumat, (29/9/2023).

Mengutip Dokumen Teori Perubahan Strategi Advokasi HIV dan HAM milik LBHM dan organisasi masyarakat sipil bidang HIV dan HAM, masih terdapat produk-produk hukum yang diskriminatif dan perlu dihapus.

Di antaranya, UU Narkotika, UU ITE terkait kejahatan terhadap kesusilaan, peraturan-peraturan atau dokumen yang berlaku secara internal di berbagai institusi negara yang dijadikan dasar pemberian sanksi bagi ODHIV dan populasi kunci, serta hukum-hukum tidak tertulis tetapi disepakati dalam masyarakat.

Baca juga:

Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!