indeks
Mengapa Gen Z Dijuluki Generasi Paling Toleran?

"Gen Z nggak asing dan nggak sinis nonton konten-konten, lebih open minded juga karena tahu mana konten yang bisa dikonsumsi, mana yang setting-an"

Penulis: Astri Septiani, Wydia Angga

Editor: Ninik Yuniati

Google News
Generasi Z tumbuh dengan gawai dan aktif bermedia sosial. Hal ini memungkinkan mereka berjumpa dengan bermacam individu dari berbagai latar belakang. (Foto: Astri/KBR)
Generasi Z tumbuh dengan gawai dan aktif bermedia sosial. Hal ini memungkinkan mereka berjumpa dengan bermacam individu dari berbagai latar belakang. (Foto: Astri/KBR)

KBR, Jakarta - Luna (25), selalu ingat dengan perkataan tetangganya kala masih bocah. "Kata orangtua aku, kamu kafir". Kata-kata itu diucapkan seorang gadis kecil, si tetangga, ketika diundang Luna untuk bergabung di pesta ulang tahunnya. 

Luna sejenak tercenung, di tengah keramaian perayaan ulang tahunnya. Teman-teman sekolah dan sahabat dekat dari kampung sebelah, hadir, tapi tetangga dekat rumah justru menolak. 

"Itu sebagai anak kecil, jujur membekas banget sih. Dan memengaruhi kehidupan, lebih ke mungkin aku jadi takut ya,” tutur Luna yang berdomisili di Bandung. 

Momen itu terjadi saat Luna masih SD. Keluarga Luna yang beragama Katolik pindah rumah di kisaran tahun 2009. Mereka minoritas di lingkungan baru. Luna mendapat perlakuan berbeda.

“Semua anak kecil di situ setiap aku lewat tuh menjauh. Seakan-akan aku ini penyakitan atau apalah. Jadi aku nggak pernah main sama anak-anak komplek. Aku mainnya sama teman-teman dari kampung di belakang,” kata Luna.

Luna makin takut membuka identitas agamanya. Hal ini terbawa hingga ia lulus SD. Ia tumbuh dengan kekhawatiran bahwa menjadi penganut Katolik, membuatnya mendapat penolakan. 

Situasi mulai membaik ketika keluarga Luna kembali pindah rumah. Ia nyaman karena bersekolah di SMP dan SMA Katolik. 

Berlanjut saat kuliah, ia bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa dari berbagai latar belakang agama, tetapi sikap mereka bersikap toleran. 

"Di situ mungkin pertama kali aku berteman baik sama teman-teman muslim," jelas Luna. 

"Mungkin karena udah dewasa dan lingkungan kampus, kan, lebih macam-macam lagi orangnya. Jadi agama tuh bukan hal yang jadi tembok," kata dia.

Luna bilang, perjumpaan dengan mereka yang punya identitas beragam, termasuk agama, bakal memupuk jiwa toleransi. Disrupsi teknologi juga punya andil karena perjumpaan bisa difasilitasi secara daring. Lewat media sosial, misalnya, seseorang dapat berkenalan dan berinteraksi dengan individu lain dari latar belakang berbeda. 

Di sisi inilah, generasi Z dinilai cenderung lebih toleran, karena sejak dini terpapar digitalisasi. 

"Jadi (gen Z) gak asing dan gak sinis nonton konten-konten atau apapun itu. Lebih open minded juga karena tahu mana konten bisa dikonsumsi, mana yang setting-an. Berdasarkan pengalamanku, memang teman-teman gen Z lebih toleran, baik di kehidupan sehari-hari atau di media sosial," ujarnya.

Konten-konten Luna di media sosial direspons positif oleh sesama rekannya yang beragama Islam. 

"Waktu kemarin conclave, pemilihan Paus, aku aktif banget share-share opiniku di sosmed, banyak banget teman muslimku yang nanya-nanya, penasaran," kata Luna.   

Jiwa toleran, sehat mental

Gen Z menghargai tinggi nilai "universalisme". Kesimpulan ini berdasarkan survei Personal Growth pada Desember 2023. 

Gen Z memiliki karakter terbuka, imparsial, tidak menghakimi, dan adaptif. Mereka juga peduli pada keadilan, persamaan hak untuk semua, tanpa dibedakan.

Psikolog klinis Personal Growth, Talissa Carmelia mengatakan, karakter-karakter ini berpengaruh positif pada kesehatan mental. 

"Sehingga di dalam situasi itu kita bisa mengolah, berpikir dengan jernih. Jadi kita enggak keburu stres duluan,” kata Thalissa pada Podcast Disko (Diskusi Psikologi) yang tayang di Youtube KBR Media.

red

Ilustrasi kehidupan bertoleransi dibuat menggunakan artificial intelligence (AI)

Sebaliknya, karakter intoleran berpotensi memberi dampak buruk pada kesehatan mental, terutama bagi korbannya. Perasaan stres, cemas, hingga trauma bisa dialami korban tindak intoleransi. 

“Walaupun tidak sampai masalah kesehatan mental, itu juga akan memengaruhi cara kita melihat diri sendiri. Kepercayaan diri kita, keberhargaan kita, kita bernilai apa enggak? Dan tentu itu akan memengaruhi kepercayaan kita kepada orang lain. Kualitas relasi. Jadi dampaknya ke diri pasti ada, tapi di luar yang lebih luas pasti juga akan ada dampaknya,” ujarnya.

Agen perdamaian

Dengan karakter terbuka dan toleran, Gen Z bisa menjadi agen perdamaian. Keyakinan inilah yang melatari Global Peace Foundation Indonesia (GPFI)- NGO yang berkomitmen pada pembangunan perdamaian- getol menggandeng Gen Z. 

Menurut Manager Program GPFI, Miftakhul Khoir, masih tingginya kasus intoleransi di negeri ini, membutuhkan solusi. Bibit-bibit toleran Gen Z penting untuk dipupuk sejak dini agar bisa tumbuh menjadi agen perubahan. 

Gen Z diajak bergabung dalam berbagai program GPFI sebagai wadah aktivitas bersama peserta dari berbagai latar belakang. Kegiatannya meliputi kunjungan ke tempat-tempat ibadah dan situs bersejarah, diselingi pula dengan aktivitas menyenangkan seperti memasak dan bermain gim. 

red

Ilustrasi kampanye setop intoleransi dibuat menggunakan artificial intelligence (AI)

“Jadi informal kegiatan-kegiatannya, sambil masak bareng dan sebagainya, itu, kan, ada komunikasi, interaksi. Dan dari situlah yang awalnya ada prasangka-prasangka, itu terkonfirmasi,” papar Khoir.

Baca juga:

- Fenomena Fatherless, Peran Ayah Terhambat Sistem Kerja

- Trauma Healing Pascabencana, Kapan dan Kenapa Diperlukan?

Khoir mengamini, media sosial berkontribusi besar pada tumbuhnya sikap toleran Gen Z. 

"Interaksinya bukan lagi lintas agama, lintas suku, bahkan sampai lintas country. Kalau kita dulunya bisa berjumpa dengan bule, kita butuh mungkin ke luar negeri, naik pesawat, dan sebagainya. Sekarang enggak, bisa berteman dimanapun lewat social media,” kata Khoir dalam Podcast Disko.

Mau tahu lebih lanjut soal bagaimana upaya Gen Z merawat toleransi? Dengarkan obrolan lengkapnya di podcast Disko di link berikut:

toleransi
intoleransi
mental health
psikolog
psikologi
Indonesia
agama
gen z
generasi z
trauma

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...