indeks
Fenomena Fatherless, Peran Ayah Terhambat Sistem Kerja

"Kehadiran ayah pada momen penting (hari pertama sekolah) akan berpengaruh positif terhadap rasa percaya diri, kenyamanan, dan kesiapan anak menjalani proses belajar"

Penulis: Khalisha Putri, Wydia Angga

Editor: Wydia Angga

Google News
Fenomena Fatherless, Peran Ayah Terhambat Sistem Kerja
Foto: Siswa berpamitan kepada ayahnya setibanya di sekolah, Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 4 Aceh Barat Desa Suak Timah, Samatiga, Aceh Barat, Aceh, Senin (14/7/2025). Sumber: ANTARA FOTO

KBR, Jakarta – Resky Novianto (33) senang dengan kemunculan Gerakan Ayah Antar Anak Sekolah. Itu jadi awal yang baik untuk memasyarakatkan kebiasaan ayah mengantarkan anaknya ke sekolah. 

Ayah dua anak ini tak menyia-nyiakan kesempatan mengantar putri sulungnya ke sekolah di hari pertama masuk sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Resky yakin aktivitas tersebut berdampak positif pada anak

"Pasti anak akan lebih senang dan semangat saya antar, karena selama ini terbiasa dengan ibunya," ujar Resky saat ditemui di Jakarta, Selasa (22/7/2025).

“Anak saya sampai bilang, ‘aku senang dianter sama bapak, soalnya bosen dianter ibu melulu’. Itu yang membuat saya sedih karena sebenarnya pengin bisa mengantarnya lebih sering lagi,” tambahnya.

Bagi Resky, mengantarkan anak ke sekolah adalah kemewahan. Pasalnya, ia bekerja di Jakarta dengan jarak tempuh 35 km dari rumahnya di Bekasi, Jawa Barat. Ia harus sampai di kantor sekitar pukul 8 pagi selama lima hari kerja, Senin-Jumat. 

"Belum bisa rutin (antar anak ke sekolah), karena jam kerja kantor yang mengharuskan bekerja di waktu tertentu dan jarak kantor dari rumah yang sangat jauh." tutur Resky.

Bila ingin antar-jemput anak, berarti Resky harus mengambil cuti.

“Sebenarnya sekolahnya dekat, tidak sampai setengah kilometer dari rumah. Tapi, kalau saya antar dulu anak ke sekolah, bisa-bisa saya terlambat sampai satu jam dari jadwal masuk kantor” ungkapnya. 

Mengantar anak ke sekolah adalah salah satu upaya Resky dan istri menjalankan pola asuh bersama, yang diyakininya bakal mengoptimalkan tumbuh kembang anak.  

Karenanya, ia berharap kantornya mengakomodasi juga kepentingan pekerja laki-laki yang berstatus sebagai ayah. 

"Jangan hanya memandang kepentingan seorang ibu, tetapi juga peran seorang ayah" tandasnya.

Apa itu "Gerakan Ayah Antar Anak Sekolah"?

Gerakan Ayah Mengantar Anak di Hari Pertama Sekolah merupakan inisiatif Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga)/Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Wihaji, yang merilis Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2025.

Dilansir dari laman Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), tujuan surat edaran tersebut adalah untuk mengatasi krisis fatherless di Indonesia, sebuah fenomena minimnya keterlibatan figur ayah dalam pengasuhan anak.

Berdasarkan data UNICEF 2021, terdapat sekitar 20,9% anak-anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran sosok ataupun peran ayah, baik karena perceraian, kematian, maupun ayah yang bekerja jauh.

Menurut Menteri Wihaji, Gerakan Ayah Antar Anak di Hari Pertama Sekolah menjadi simbol perubahan budaya pengasuhan dalam keluarga Indonesia, dari yang semula terpusat pada peran ibu menjadi lebih kolaboratif dan setara.

"Melalui kehadiran ayah pada momen penting tersebut akan tercipta kedekatan emosional yang berpengaruh positif terhadap rasa percaya diri, kenyamanan, dan kesiapan anak dalam menjalani proses belajar," demikian isi dari SE yang diedarkan pada Jumat (11/7/2025).

Sistem ketenagakerjaan belum ramah ayah

Pengamat ketenagakerjaan, Ahmad Ansyori menyayangkan Surat Edaran Mendukbangga/Kepala BKKBN hanya berlaku di lingkup ASN, belum menyasar sektor swasta. Gerakan itu memang banyak mendapat dukungan, tetapi sifatnya sebatas imbauan. 

Saat gerakan itu diluncurkan pada hari pertama sekolah, 14 Juli lalu, banyak warganet di X yang berbagi cerita. Sebagian mengaku cukup beruntung bisa mengantar anaknya ke sekolah, tetapi sebagian yang lain mengeluhkan risiko yang mereka terima karena terlambat masuk kerja. 

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Sumatera Utara, Agusmidah menuturkan, regulasi di Indonesia belum mendukung peran ayah dalam pengasuhan anak. Padahal, di sisi lain, pemerintah mendorong pengasuhan kolaboratif antara ibu dan ayah. 

Belum ada kebijakan yang secara eksplisit memberikan hak cuti berbayar bagi ayah untuk mendampingi anak, baik dalam fase awal pertumbuhan maupun saat momen penting seperti hari pertama sekolah.

“Tanpa ada dasar yang mengatur, maka perusahaan dapat menolak. Himbauan ini indah dalam wacana. Namun, dilematis bagi laki-laki yang ingin berperan sebagai ayah teladan tapi justru harus mengorbankan penghasilannya,” tegas Agusmidah yang juga Ketua Umum Perkumpulan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan (P3HKI) 

red

Orangtua memberikan air minum kepada anaknya saat hari pertama masuk sekolah di SDN 008 Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (14/7/2025). Sumber: ANTARA FOTO

Pengamat ketenagakerjaan sekaligus Ketua Bidang II P3HKI Ahmad Ansyori membenarkan mayoritas industri menetapkan jam kerja yang tidak fleksibel, sehingga sulit bagi pekerja laki-laki berstatus ayah menjalankan peran pengasuhan. 

“Kalau kita ingin serius mendorong keterlibatan ayah, maka regulasi mesti progresif. Pemerintah bisa memberikan insentif bagi perusahaan yang menjalankan pengasuhan kolaboratif,” ujarnya kepada KBR Media.

Agusmidah membandingkan dengan Australia yang sudah memberikan cuti khusus bagi pekerja laki-laki. Kanada juga dinilai lebih progresif karena memfasilitasi pasangan berbagi beban pengasuhan anak. 

Sebagai solusi, reformasi hukum ketenagakerjaan mesti dilakukan agar lebih berpihak pada pengasuhan kolaboratif. Cuti berbayar bagi ayah perlu diatur untuk momen-momen penting seperti hari pertama anak sekolah atau ketika anak mengalami kesulitan beradaptasi.

red

Komentar netizen di media sosial soal mengantar anak hari pertama sekolah.

Bagaimana pandangan psikolog?

Psikolog Aully Grashinta menyebut manfaat dari keterlibatan ayah dalam pendidikan anak walau sekadar mengantar sekolah. Anak akan termotivasi untuk menunjukkan prestasi kepada sang ayah.

"Ibu adalah sosok yang memberikan kasih sayang dan kenyamanan. Ayah adalah sosok yang memberikan rasa bangga. Jadi, anak ketika dia punya satu prestasi, yang dia cari bukan ibu. Yang dicari adalah ayahnya. Ketika bertemu dengan ayah, dia selalu ingin mengatakan sesuatu yang membanggakan. Ketika bertemu dengan ibu, dia ingin bercerita sesuatu yang membahagiakan. Ini secara natural," kata Aully.

Aully mendorong gerakan ayah antar anak sekolah bisa menjadi rutinitas. Bahkan lebih jauh lagi, ayah bisa mengambil rapor anak tiap akhir tahun ajaran. 

Perusahaan atau tempat kerja juga diharapkan makin ramah untuk para ayah guna mendorong pola pengasuhan kolaboratif. 

Aully menyebut Belanda dan Finlandia bisa dijadikan rujukan karena memberikan hak cuti bagi suami ketika istrinya melahirkan. Bahkan di negara-negara Skandinavia, suami mendapat cuti lima bulan, sama banyaknya dengan istrinya yang melahirkan. 

"Ini juga harus di-endorse oleh perusahaan. Artinya ketika ada ayah yang harus mengantar anaknya, tentu saja perusahaan juga harus memberikan kesempatan. Tentu dengan pengaturan tertentu yang bisa dilakukan," pungkas Aully.

Baca juga:

- Tren Curhat ke AI: Nyaman, Tapi Amankah buat Mental?

- Trauma Healing Pascabencana, Kapan dan Kenapa Diperlukan?

Celah Wacana Penambahan Cuti Ayah

Jika anda menyukai pembahasan mengenai kesehatan mental, anda juga dapat menyimak Podcast Disko "Diskusi Psikologi" produksi KBR Media melalui kbrprime.id, Spotify maupun Youtube.

sekolah
tahun ajaran baru
pengasuhan
kesehatan mental
psikolog
budaya patriarki
fatherless

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...