ICJR telah memberikan catatan terhadap proses pemberian amnesti massal ini, karena tidak ada kebijakan umum yang terbuka yang menjelaskan apa saja kriteria pemberian, dan bagaimana proses verifikasi
Penulis: Ken Fitriani
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta - Pemberian amnesti kepada Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Hasto Kristiyanto, serta pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong dianggap memerlukan transparansi dan keterbukaan.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa tanpa adanya alasan yang jelas, keputusan ini bisa dianggap sebagai bentuk intervensi terhadap proses penegakan hukum yang seharusnya berjalan independen dan bebas dari kepentingan politik.
“ICJR telah memberikan catatan terhadap proses pemberian amnesti massal ini, karena tidak ada kebijakan umum yang terbuka yang menjelaskan apa saja kriteria pemberian, dan bagaimana proses verifikasi dilakukan. Hal tersebut hanya dinarasikan oleh aktor pemerintah, tidak ada kebakuan aturan yang jelas,” tulis pernyataan ICJR yang diterima KBR Media, Selasa (5/8/2025).
Penjelasan Menteri Hukum mengenai kriteria kasus yang dapat diajukan untuk mendapatkan amnesti, di antaranya adalah tentang penghinaan kepada kepala negara, warga binaan pengidap penyakit berkepanjangan dan mengalami gangguan jiwa, kasus makar tidak bersenjata di Papua, dan pengguna narkotika yang seharusnya dilakukan rehabilitasi.
“Berdasarkan kriteria tersebut, menurut ICJR, dalam kasus pemberian amnesti kepada Hasto yang terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi tidak termasuk dalam kategori sebagaimana telah direncanakan pemberian program amnesti sebelumnya, sehingga pemberiannya patut untuk dipertanyakan,” jelas ICJR.

Rentan Politisasi dan Tak Sentuh Akar Persoalan
Ove Syaifudin, Peneliti ICJR beranggapan kembali pada tujuan pemberian amnesti massal untuk mengatasi kelebihan kapasitas atau overcrowding, ICJR menekankan kebijakan seperti ini dikhawatirkan akan menjadi langkah tidak jelas, dan rentan politisasi, tanpa menyentuh akar persoalan hukum di Indonesia.
“Bagaimana bisa seluruh permasalahan kebijakan hukum yanga ada musti hanya dapat diselesaikan dengan pemberian amnesti dan abolisi semata,” terangnya.
ICJR, lanjut Ove menilai upaya reformasi sistem hukum secara menyeluruh termasuk revisi UU Narkotika dengan dekriminalisasi, Penguatan Alternatif pemidanaan, perbaikan kebijakan pidana yang bekerlanjutan perlu dilakukan termasuk memperbaiki kerangka hukum materiil bermasalah seperti UU Tipikor.
“Penegakan hukum yang bermasalah juga akan terus terjadi jika proses peradilan pidana tidak akuntabel dan tak ada pengawasan yang efektif yang saling mengawasi. Untuk itu, jika memang amnesti dan abolisi ini bukan politisasi, maka komitmen perbaikan hukum harus dilakukan: yaitu dalam revisi UU Narkotika, RUU KUHAP, revisi UU Tipikor dan penguatan persiapan implementasi KUHP 2023,” tegasnya.

Mahfud MD: Berkat Gerakan Sipil
Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD buka suara soal pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto oleh Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini.
Menurut Mahfud, pemberian abolisi dan amnesti kepada dua orang tersebut menandakan bahwa gerakan masyakarat sipil yang luar biasa dalam menghimpun amicus curiae atau pihak ketiga yang memberikan pendapat atau informasi kepada pengadilan dalam suatu perkara, meskipun bukan pihak yang berperkara.
“Itu satu, untuk meredam gejolak. Lalu yang kedua untuk meluruskan proses peradilan yang penuh nuansa politis daripada nuansa yuridis. Tidak bisa dipungkiri dulu Tom Lembong ini dibawa ke pengadilan ini kan sangat politis. Kenapa politis? Gampang aja, dia melakukan apa yang dituduhkan sebagai yang korupsi itu di tahun 2015, sementara sesudah itu ada menteri-menteri yang lain yang melakukan itu dengan dasar yang sama, malah lebih besar,” katanya di Yogyakarta, Jumat (1/8/2025).
Eks Menko Polhukam ini menjelaskan, bahwa masyarakat kerap memiliki pikiran politis yang mempertanyakan soal penahanan Tom Lembong lantaran diduga berkonflik dengan Presiden RI Ke-7, Joko Widodo.

Kemudian, lanjut dia, masyarakat melihat peta politik di luar, nampaknya pengaruh Joko Widodo masih sangat kuat sehingga publik menyimpulkan adanya unsur politis dalam penahanan tersebut.
“Sehingga peradilannya seperti tampak sesat lalu Pak Prabowo nggak bisa ikut campur langsung ke proses teknis yurudisnya tapi dia langsung menghadang di pengadilannya. Diberi amnesti, sama dengan Hasto,” jelas Cawapres Pasangan Ganjar Pranowo di Pilpres 2024.
Didakwanya Hasto Kristiyanto dengan kasus korupsi pada tahun ini, lanjut Mahfud, sama persis dengan dakwaan pada tahun 2020 lalu. Kata dia, seumpama diadukan pada saat itu maka yang sekarang ini dalilnya.
“Kenapa dulu tidak? Berarti dulu kan ada upaya menyembunyikan, mempolitisasikan kasus ini. Nah, sesudah kongsi pecah, muncul yang lebih kuat, lalu menekan melalui proses hukum ini sehingga hukum kemudian ditunggangi oleh kepentingan politik," katanya.
Prabowo Dianggap Meluruskan
Mahfud menyebut, meskipun masyarakat Indonesia sedih harus ada kasus korupsi yang diberi abolisi dan amnesti, tapi akan lebih sedih lagi jika kasus seperti ini dibiarkan berjalan tanpa ada yang meluruskan. Cara meluruskan itu salah satunya jika sudah sampai tingkat presiden adalah dengan memberikan amnesti dan abolisi.
“Tidak ada jalan lain. Tapi kalau orang sudah terlanjur di kerangkeng karena vonis yang inkrah, itu grasi namanya. Orang sudah terlanjur inkrah, sudah di penjara tapi keluar dan tidak salah, dia di rehabilitasi namanya. Itu saja kewenangan presiden dan ini bukan kasus baru, sudah ribuan orang mendapat amnesti di Indonesia ini," jelas Mahfud.
"Kalau abolisi itu saya melihatnya baru satu, Tom Lembong. Selama ini yang kita dengar ini adalah amnesti meskipun tidak ada yang sesuai dengan teori tentang amnesti,” paparnya.
Mahfud menambahkan, dalam kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto ini memang masih timbul pertanyaan antara teoritis dan yuridis. Kasus yang dialami pun sama, yakni dakwaan korupsi, sudah divonis dan akan naik banding. Namun pemberian keringanannya berbeda, abolisi dan amnesti.
“Padahal ini sama to, nah itu kita nunggu. Kenapa ya kok dibedakan? Itu nanti pemerintah yang akan menjelaskan di dalam konsideran Kepres itu,” imbuh Mahfud.
Kode Keras Prabowo kepada Lembaga Peradilan

Terpisah, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Iwan Satriawan memandang pemberian ini sebagai langkah politik Presiden Prabowo sekaligus peringatan keras bagi lembaga peradilan. Ia menilai, sejak awal kasus Tom Lembong ini memang penuh kontroversi namun niat jahat atau mens rea tidak terbukti.
“Unsur yang paling pokok dalam pidana yaitu mens rea. Tidak ada niat jahat dari Tom Lembong untuk melakukan delik korupsi yang dituduhkan,” ungkapnya, Jumat (1/8/2025).
Di sisi lain, Iwan juga menyoroti bahwa Tom Lembong tidak terbukti menikmati sepeser pun dari uang hasil korupsi yang dituduhkan. Ia menyayangkan keputusan hakim yang menurutnya terkesan dipaksakan.
Oleh sebab itu, ia menekankan prinsip hukum pidana yang menyatakan bahwa lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah.
“Presiden secara subjektif melihat ada hal yang tidak normal dalam proses persidangan tesebut. Oleh karena itu Presiden menggunakan hak prerogratifnya untuk menghentikan kasus itu,” ungkap Dekan Fakultas Hukum UMY itu.
Bahaya Normalisasi Korupsi
Sementara Pakar Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Trisno Raharjo menanggapi soal kasus amnesti yang diberikan kepada Hasto Kristiyanto. Ia menilai keputusan tersebut memunculkan banyak pertanyaan terutama terkait dengan sekitar 1.115 orang lainnya yang juga mendapatkan amnesti bersamaan dengan Hasto.
Trisno mengaku khawatir keputusan tersebut dapat menormalisasi korupsi di mata masyarakat yang bisa menganggap korupsi sebagai tindakan yang ringan karena pada akhirnya akan mendapatkan pengampunan.
“Jika 1.115 orang tersebut sebagian besar adalah pelaku tindak pidana korupsi, saya sangat prihatin. Menurut saya, pemberian amnesti ini sangat tergesa-gesa dan kurang transparan,” jelasnya, Jumat (1/8/2025).

Trisno juga mempertanyakan bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa menyetujui keputusan tersebut dalam waktu yang sangat singkat. Sebab pembicaraan baru dilaksanakan pada 30 Juli lalu dan keputusan sudah keputusan pada 31 Juli.
“Kita tidak tahu bagaimana sebenarnya DPR bisa menyepakati hal ini,” lanjutnya.
“Pemberian amnesti dan abolisi adalah langkah politik yang memerlukan dasar hukum yang jelas. Sayangnya Indonesia belum memiliki undang-undang yang komprehensif yang mengatur hal ini,” jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas dalam keterangannya menjelaskan bahwa amnesti yang diberikan kepada Hasto merupakan bagian dari program pemberian amnesti secara massal terhadap sekitar 44 ribu orang narapidana dan tahanan lainnya.
Program ini bertujuan untuk mengurangi kepadatan atau overcrowding Rutan/Lapas yang saat ini menjadi permasalahan serius dalam sistem hukum di Indonesia.
Setelah dilakukan proses verifikasi yang terhadap para calon penerima amnesti, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2025 tentang Pemberian Amnesti tercatat hanya 1.178 orang yang dianggap memenuhi kriteria dan layak untuk diajukan mendapatkan amnesti dari negara.
Pasalnya, kata dia, tidak ada satu pun ketentuan dalam undang-undang yang menyatakan pemberian amnesti atau abolisi hanya diberikan untuk satu jenis tindak pidana.
"Semua jenis tindak pidana itu kalau presiden mau menggunakan hak istimewanya boleh," ujar Supratman dalam wawancara khusus dengan ANTARA di Jakarta.
Tepis Tudingan Pembiaran Praktik Korupsi
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menepis pemberian abolisi kepada terpidana kasus importasi gula Tom Lembong dan amnesti kepada terpidana kasus suap Hasto Kristiyanto oleh Presiden RI Prabowo Subianto sebagai bentuk pembiaran terhadap praktik korupsi.
Sebaliknya, dia memandang langkah yang ditempuh Presiden atas dua kasus hukum yang dinilainya sarat muatan politik itu sebagai upaya mengurangi kegaduhan politik di tengah masyarakat demi menjaga persatuan dan kesatuan.
"Memang semangatnya beliau (Presiden Prabowo) kita ini butuh persatuan dan kesatuan. Bukan berarti kita akan membiarkan praktik-praktik korupsi, tidak. Tapi dalam dua kasus ini yang nuansanya lebih banyak ke masalah politik, itu yang Bapak Presiden menggunakan hak. Mari kita kurangi kegaduhan-kegaduhan politik," kata Prasetyo Hadi di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.
Dia juga menekankan bahwa pemberian amnesti dan abolisi merupakan hak Presiden selaku kepala negara yang kewenangannya diatur oleh konstitusi.
Baca juga: