ragam
Anak Muda Target Utama TPPO: Tantangan Indonesia Hadapi Kejahatan Lintas Batas

Orang muda menjadi sasaran TPPO akibat minimnya lapangan pekerjaan. Mereka mencari peruntungan di luar negeri dan rentan jadi korban TPPO.

Penulis: Nafisa Deana

Editor: Valda Kustarini

Google News
Anak Muda Target Utama TPPO: Tantangan Indonesia Hadapi Kejahatan Lintas Batas
Konferensi pers pernyataan sikap Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia 2025 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat (30/7). (Foto: KBR/ Nafisa)

KBR, Jakarta – Masih lekat di ingatan Rizky Oktaviana (34) seorang calo pekerja migran mendatangi rumahnya 2012 silam. Saat itu, calo yang bekerja di sebuah agensi perekrutan tenaga kerja mengiming-imingi gaji dolar Amerika Serikat dan bonus besar, jika ia mau bergabung menjadi anak buah kapal (ABK).

Rizky yang hanya lulusan sekolah menengah pertama (SMP) memang masih mencari pekerjaan. Mendengar kesempatan bisa jalan-jalan di luar negeri, ia dan adik sepupunya kemudian setuju bekerja sebagai ABK. Sebagai syarat keberangkatan, Rizky harus membayar tiga juta rupiah untuk pembuatan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) dan buku pelaut.

Februari ia berangkat dari Cirebon, Jawa Barat ke Bekasi untuk proses pelatihan. Namun hingga tiga bulan kemudian, Rizky tidak mendapat pelatihan apapun dan juga tidak diberangkatkan.

"Setelah tiga bulan, nggak ada pelatihan apapun, cuma nunggu, makan, tidur. Dan kemudian dihitung utang ketika ambil makan, ambil rokok," cerita Rizky.

Sebelum penempatan kerja, Rizky harus menandatangani kontrak kerja selama dua tahun. Tertulis juga, jika pekerja tidak menghabiskan kontrak, ada denda yang harus dibayarkan. Syarat lain yang harus ia penuhi adalah dokumen pribadi seperti ijazah dan kartu tanda penduduknya jadi jaminan perusahaan.

"Pas tanda tangan kontrak kerja nggak ada penjelasan soal asuransi, cuma dikasih tahu gaji dan ada potongan gaji 800 dolar AS dengan alasan uang di awal kurang," ucap Rizky.

Sekitar tahun 2013, Rizky bekerja di sebuah kapal berbendera Taiwan yang berlokasi di Cape Town, Afrika Selatan. Datang tanpa bekal latihan membuat sang kapten kerap melakukan kekerasan verbal ke Rizky. Sehari-hari ia bertugas membersihkan kapal, menangkap ikan, hingga mengisi perbekalan jika kapal sedang bersandar. Ia juga mesti melalui waktu kerja yang panjang hingga 22 jam, tanpa memperhatikan kesehatan dan cuaca di laut.

Ia menyadari tempatnya berkerja bermasalah saat kapal tertahan di pelabuhan.

"Sebelumnya tuh kita boleh keluar. Dari situ kapal kita disegel, listrik dimatikan, nggak ada stok makan, nggak ada stok minum," ujarnya.

Desember 2013, ptoritas Cape Town mencurigai ada aktivitas illegal fishing. Sialnya setelah dua minggu hanya menunggu, kapten kapal malah kabur meninggalkan ABK termasuk Rizky. Saat itu, ia baru satu setengah tahun bekerja.

"Perwakilan agency Taiwan itu sudah kabur juga. Jadi udah nggak ada orang yang benar-benar tanggung jawab atas kita di sana. Waktu itu sama 74 orang lainnya, orang Indonesia semua, tujuh kapal," sebut Rizky.

Permasalahan tersebut berujung penjemputan Rizky dan teman-temannya oleh petugas imigrasi. Mereka lalu ditahan layaknya tahanan kriminal. Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Cape Town hanya menyambangi tempat itu di minggu pertama, kemudian hilang kabar.

Rizky harus menghabiskan tiga bulan di penjara bercampur dengan imigran-imigran gelap lainnya, Organisasi migran global, International Organization for Migration (IOM) Afrika Selatan datang melakukan screening dan wawancara, seminggu kemudian ia pulang menggunakan pesawat carteran, turut mengawal petugas imigrasi Cape Town.

“Selama penerbangan kita nggak boleh berbicara, nggak boleh berdiri, kalau mau ke toilet dikawal," ungkap Rizky.

red
Rizky Oktaviana (tengah) kini bekerja sebagai case worker di Serikat Buruh Migran Indonesia. (Foto: web SBMI)

Baca Juga:

Di tanah air, proses serah terima pekerja migran Indonesia (PMI) dilakukan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (Kemen P2MI/BP2MI) ke agensi perekrut pekerja. Agensi menjanjikan bakal membayar seluruh gaji pekerja. Nyatanya, tak pernah ada gaji yang masuk ke kantong Rizky, bahkan dokumen pribadinya bahkan tidak kembali.

Rizky pulang dengan tangan kosong. Keluarga di kampung membandingkan nasib Rizky yang tidak mendapat gaji dengan adik sepupunya yang lebih beruntung dan dibayar oleh perusahaan.

"Saya tanya sama teman-teman saya yang kepulangan itu, mereka pun mengalami hal yang sama, sampai ada yang bercerai dengan keluarganya. Ada yang nggak mau pulang, sampai berhari-hari cuma di stasiun atau di terminal karena malu pulang nggak bawa apa-apa," sebut Rizky.

Pengalaman menjadi korban TPPO di usia muda membuahkan trauma mendalam. Rizky hanya berniat mencari peluang yang lebih baik demi mensejahterakan keluarganya, tapi justru mendapat perlakuan yang tidak layak. Pemerintah pun lambat dalam menangani permasalahan PMI di luar negeri.

"Itu titik terendah saya sebagai manusia," kata Rizky.

Namun, berkat bantuan dari berbagai pihak seperti Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dan IOM Indonesia, Rizky akhirnya bisa bangkit dan memulai hidupnya kembali. Tahun 2015 ia berkuliah di Fakultas Hukum, Universitas Bung Karno. Kini Rizky bekerja sebagai case worker di SBMI dan bertugas menangani kasus AKP migran dan konsultasi AKP migran yang menghadapi permasalahan hukum.

Pekerja Muda Indonesia Mencari Peluang Lebih Baik di Luar Negeri

Cerita Rizky jadi alarm bagi pemerintah untuk makin memberikan perhatian terhadap kejahatan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Sebab, aktivitas ini makin menyasar orang muda.

Melebarnya target TPPO menjadi orang muda salah satu penyebabnya, tak lepas dari masalah kemiskinan struktural. Di tengah keterbatasan ekonomi, ada harga kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Uang yang dihasilkan tidak sebanding dengan biaya hidup, ditambah lagi lapangan pekerjaan yang minim mendorong orang muda mencari peruntungan di luar negeri.

Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra mengambil contoh profesi nelayan, anak muda yang tinggal pesisir menilai bekerja sebagai nelayan domestik dan memilih ikut kapal dari luar negeri.

"Di pesisir misalnya, hampir 60% anak mudanya melaut dan bermigrasi, melaut di sektor domestik itu tidak menjanjikan. Jadi bermigrasi adalah somehow pilihan yang rasional, terpaksa," jelas Daniel.

Sementara itu, seniman fotografi Romi Perbawa selama 2012-2019 telah menyaksikan kehidupan pekerja migran yang terpaksa mengadu nasib ke negara tetangga. Kata dia, para pekerja migran terpaksa bekerja di luar negeri agar bisa memenuhi kebutuhan karena tidak punya pilihan lain.

Kondisi “butuh” itu membuat pekerja migran makin rentan menjadi korban TPPO apalagi jika tidak dibarengi dengan tingkat pendidikan yang mumpuni.

Pekerjaan yang belum jelas tapi ada iming-iming gaji besar turut membuat pekerja migran mudah masuk jebakan sindikat perdagangan orang.

Romi menyebut, jika pemerintah memberikan pendidikan yang layak dan peluang kerja yang jelas dapat meminimalisir risiko pekerja migran menjadi korban TPPO.

"Migrasi untuk memperbaiki taraf hidup yang lebih baik itu sah-sah saja. Tapi kalau pendidikan tidak bisa menjangkau sampai daerah-daerah, rakyat ini tidak punya kesempatan untuk memperbaiki hidupnya. Tidak ada pilihan lagi," sebut Romi.

Romi mendorong pemerintah makin waspada dengan modus baru TPPO.

"Modus operandinya semakin luas dengan adanya judi online di Kamboja. Belum lagi kaum terpelajar yang kuliah di Belanda atau Jerman ternyata banyak penipuannya juga. Kalau pemerintah diam saja, ini akan makin parah," tegas Romi.

red
Seniman fotografi Romi Perbawa (kiri) menceritakan kisah di balik foto-foto pekerja migran Indonesia kepada para wartawan dan Direktur Migrant Care Wahyu Susilo (kanan) yang ia pamerkan di acara peringatan Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia 2025 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat (30/7). (Foto: KBR/ Nafisa)

Pekerja Migran Bukan Komoditas, Butuh Perlindungan HAM

Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) tahun ini menargetkan pengiriman 425 ribu pekerja migran Indonesia ke luar negeri. Harapannya, para pekerja migran dapat mendorong perekonomian Indonesia dengan kemungkinan capaian devisa hingga lebih dari Rp300 triliun.

Sayangnya menurut aktivis dari Emancipate Indonesia Nabila Tauhida target ini tidak dibarengi dengan perlindungan yang jelas terhadap para pekerja migran. Salah satu yang ia soroti adalah akses perlindungan bagi pekerja yang bermasalah di luar negeri.

"Kalau misalnya kita ada masalah di sana, nggak ada yang peduli. Faktanya, banyak korban-korban dugaan TPPO sampai saat ini masih susah untuk mengakses restitusi, susah mengakses hak-hak mereka," kata Nabila.

Menurut catatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), pada 2020-2024 ada 2.373 permohonan perlindungan korban TPPO. Data tersebut jadi yang tertinggi dalam lima terakhir. Sementara itu, sudah 398 permohonan yang masuk ke LPSK pada paruh pertama 2025.

Tingginya pelaporan kasus TPPO menandakan adanya kesadaran pekerja migran terhadap tindak kriminal yang berada di sekitarnya.

red
Para anggota perkumpulan tujuh organisasi masyarakat sipil bersatu untuk menyatakan sikap dalam rangka Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia 2025 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat (30/7). (Foto: KBR/ Nafisa)

Spektrum TPPO Perlu Diperluas, Akhiri Impunitas Pelaku

Perkumpulan organisasi masyarakat sipil mendorong segera dilakukannya revisi Undang-Undang TPPO. Project Officer International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Syafira Khairani menekankan spektrum TPPO perlu diperluas dengan adanya penipuan berbasis digital (online scamming).

Maret lalu, pemerintah memulangkan sebanyak 554 WNI korban TPPO online scamming dari Myawaddy, Myanmar. Mereka mengalami tekanan, kekerasan fisik, hingga ancaman organ tubuhnya akan diambil jika tidak mencapai target.

Sayangnya, para penegak hukum hanya berhasil menangkap perekrut yang juga merupakan seorang WNI. Syafira mendesak pemerintah untuk berupaya lebih keras dalam menangkap aktor intelektual atau pemain besar dari kasus-kasus TPPO yang melibatkan WNI.

"Bagaimana pemerintah memastikan bahwa siklus setan (evil cycle) ini terputus, karena lagi-lagi ini organized crime. Sekalipun mereka ditindak, biasanya itu cuma middle man-nya doang, belum pada puncak atasnya," ujar Syafira.

Baca Juga:

korban TPPO
TPPO
pekerja migran

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...