NASIONAL

LPPI: Transaksi Digital Beresiko Pencucian Uang

Transaksi keuangan digital bisa menjadi satu faktor terjadinya tindak pidana pencucian uang. Masyarakat diminta waspada.

AUTHOR / Sadida Hafsyah

transaksi digital
Warga memindai kode QRIS untuk pembayaran transaksi digital di pasar tradisional di Kudus, Jawa Tengah, Jumat (8/7/2022). (Foto: ANTARA/Yusuf Nugroho)

KBR, Jakarta - Lembaga Pengemban Perbankan Indonesia (LPPI) menyebut transaksi digital berisiko menjadi media pencucian uang.

Direktur Utama LPPI Edy Setiadi meminta masyarakat mewaspadai transaksi digital, walaupun minat masyarakat memanfaatkan layanan transaksi digital semakin tinggi.

"Oleh Pak Menko Polhukam (juga menyinggung) ini juga akan berakibat kepada pencucian uang, khususnya hasil-hasil korupsi. Dan kita lihat juga beberapa yang sudah nampak di global, khususnya di Jerman. Pernah terjadi juga. Itu transaksi digital yang palsu, sudah hampir sekitar USD 8,21 miliar hilang dari rekening tersebut atau kira-kira Rp29,61 triliun," kata Edy dalam diskusi 'Virtual Seminar #80 : Mitigasi Risiko Pencucian Uang di Era Digital', Kamis (14/7/2022).

Edy Setiadi mengatakan pengambilan transaksi keuangan digital bisa menjadi satu faktor terjadinya tindak pidana pencucian uang.

Meski demikian, kata Edy, data dari Bank Indonesia menunjukan percepatan digitalisasi keuangan berjalan dengan baik.

"Uang elektronik di kuartal pertama tahun 2022 ini bisa mencapai 42,06 persen, di triwulan pertama year on year, dengan nilai transaksi mencapai Rp360 triliun atau naik 18,03 persen. Demikian pula transaksi pertambahan digital di perbankan juga meningkat sebesar 34,9 persen pada triwulan yang sama, dengan nilai meningkat 26,2 persen, sehingga menjadi Rp51.729 triliun. Demikian juga transaksi QRIS mencapai Rp4,5 triliun," lanjutnya.

Edy mengatakan transaksi digital sudah berkembang naik 5 hingga 7 kali lipat lebih besar dari dana pihak ketiga di bank.

"Kalau kita bandingkan transaksi tersebut dengan dana pihak ketiga di perbankan. Dana pihak ketiga sebesar Rp7.384 triliun, dan dengan aset perbankan Rp10.062 triliun. Maka nilai transaksi tersebut (transaksi digital) sudah mencapai masing-masing 7 atau 5 kali lipat, dibandingkan dengan dana pihak ketiga yang ada di bank," ucapnya.

Baca juga:

Transaksi meningkat

Bank Indonesia memprediksi transaksi digital layanan perbankan meningkat 26 persen di tahun ini atau mencapai Rp51.000 triliun.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan peningkatan ini merupakan dampak dari percepatan digitalisasi selama pandemi COVID-19.

Dengan demikian, layanan perbankan semakin ditinggalkan oleh masyarakat.

"Kalau kita simak mengenai e-commerce. Tadi disebutkan bahwa e-commerce naik 31 persen tahun ini, sekitar Rp536 triliun. Uang elektronik, tahun ini diperkirakan Rp360 triliun. Naik 18 persen. Apalagi perbankan digital, bukan bank digital," kata Perry Warjiyo dalam acara Festival Ekonomi Keuangan Digital, Senin (11/7/2022).

Perry Warjiyo menyebut tak hanya perbankan digital yang berpengaruh, melainkan jenis keuangan digital lainnya. Mulai dari transaksi e-commerce sampai uang elektronik.

Ia berpendapat ekonomi digital berkontribusi pada pergerakan dan pemulihan ekonomi pada masa pandemi Covid-19.

"Ke depan, ekonomi digital juga akan menjadi pilar untuk kemajuan Indonesia," ucapnya.

Perry Warjiyo mengatakan BI terus mendorong sinergitas dan kolaborasi yang erat antar lembaga dalam menjalankan roda ekonomi digital tersebut.

Ia mengatakan perkembangan digital di perekonomian negara mempercepat penyaluran bantuan sosial dengan metode digital, elektronifikasi transaksi keuangan daerah, hingga media transaksi untuk beragam moda transportasi.

Berdasarkan data BI, nilai transaksi perbankan digital meningkat 20,82 persen (year on year/yoy) menjadi Rp 3.766,7 triliun. Sedangkan nilai transaksi uang elektronik pada Mei 2022 tumbuh 35,25 persen (yoy) mencapai Rp 32 triliun.

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!