BERITA

Kontras Minta Menkum HAM Bantu Presiden Buat Keppres Pengadilan HAM

Dalam upaya menagih janji penyelesaian kasus pelanggaran HAM, keluarga korban beraudiensi nasional dengan sejumlah pihak, seperti Kantor Kepresidenan, Komnas HAM, Kementerian Hukum & HAM dan DPR

AUTHOR / Lulu Zuhriyah

Kontras Minta Menkum HAM Bantu Presiden Buat Keppres Pengadilan HAM
Daftar korban penghilangan paksa aktivis 97-98 yang belum ditemukan. (Foto: situs Kontras)

KBR, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak pemerintah segera penuhi janji terkait penyelesaian masalah pelanggaran HAM. Termasuk membuat Keputusan Presiden (Keppres) Pengadilan HAM.


Desakan itu disampaikan Kontras langsung kepada Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, dalam audiensi dengan keluarga korban penghilangan paksa, di kantor Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Kamis (20/8).


Wakil Koordinator Kontras Yati Andriyani mengatakan dalam upaya menagih janji penyelesaian kasus pelanggaran HAM, mereka melakukan audiensi nasional dengan sejumlah pihak, seperti Kantor Kepresidenan, Komnas HAM, Kementerian Hukum dan HAM dan DPR. Pekan ini, keluarga korban pelanggaran HAM bersama aktivis pegiat HAM telah menemui Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).


Yati meminta Menteri Hukum dan HAM membantu presiden secepatnya penyelesaian masalah HAM sebagaimana rekomendasi DPR sejak tahun 2009.

 

"Rekomendasi DPR kan jelas untuk kasus penghilangan paksa ada empat rekomendasi. Pembentukan pengadilan HAM, pencarian korban yang masih hilang, ratifikasi konvensi dan pemberian rehabilitasi. Secara ideal empat rekomendasi ini bisa dijalankan oleh pemerintah. Jadi bagaimana Kemenkum HAM segera membantu presiden merumuskan suatu kebijakan untuk membentuk tim pencarian orang yang masih hilang, membentuk Keppres pengadilan HAM dan yang lain," jelas Yati usai audiensi di Kemenkumham, Kamis (20/08) sore.


Sebelumnya keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia menemui Dewan Pertimbangan Presiden, untuk mendesak pemerintah agar segera melakukan upaya-upaya penanganan korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Termasuk diantaranya membentuk Pengadilan HAM Adhoc untuk mengadili para pelaku, serta mencari 13 korban penculikan aktivis yang masih belum diketahui nasibnya.


Para korban pelanggaran HAM juga telah melakukan Aksi Diam Kamisan di depan Istana Merdeka selama lebih dari tujuh tahun sejak 2007. Mereka menuntut pertanggungjawaban negara terkait pelanggaran HAM berat di masa lalu sebegaimana tertera dalam TAP MPR/2000 yang menghasilkan UU No. 39 tahun 1999 dan UU No.26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.


Rekomendasi DPR

Terkait kasus penghilangan paksa aktivis pada 1997-1998, DPR telah mengeluarkan empat rekomendasi kepada pemerintah. Empat rekomendasi itu disetujui dalam rapat paripurna DPR di akhir masa jabatan pada 30 September 2009.


Empat rekomendasi itu antara lain:


  1. Merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc.

  2. Merekomendasikan kepada Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak-pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM (sic) masih dinyatakan hilang;

  3. Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang;

  4. Merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik Penghilangan Paksa di Indonesia.


Namun hingga detik ini, belum ada rekomendasi yang dilaksanakan pemerintah. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hanya menanda tangani konvensi internasional tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa pada 27 November 2010 di New York. Namun hingga kini RUU ratifikasi konvensi penghilangan paksa tidak masuk prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas).


Editor: Agus Luqman   

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!