NASIONAL

Komnas HAM Respons Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat

"Nah kalau hari ini Bapak Presiden membentuk tim menyelesaikannya di luar pengadilan, maka yang perlu kita tahu dan harus dibuka dulu adalah metode yang seperti apa itu"

AUTHOR / Astri Yuanasari

Komnas HAM Respons Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat
Aktivis melakukan Aksi Kamisan ke-730 di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (9/6/2022), mendesak pengusutan kasus pelanggaran HAM. (Foto: ANTARA/Aditya Pradana P)

KBR, Jakarta - Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Amiruddin Al Rahab mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, belum ada dasar hukum lain untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di luar pengadilan.

Namun kata dia, dalam UU tersebut juga membuka ruang untuk penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme pengungkapan kebenaran.

"Berdasarkan undang-undang tentang pengadilan HAM belum ada dasar hukum yang lain di luar pengadilan. Nah kalau hari ini Bapak Presiden membentuk tim menyelesaikannya di luar pengadilan, maka yang perlu kita tahu dan harus dibuka dulu adalah metode yang seperti apa itu. Nah, bahwa apakah selama ini tidak bisa melalui pengadilan ya buktinya sampai hari ini jaksa agung belum menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM," kata Amiruddin kepada KBR, Selasa (16/8/2022).

Pernyataan Amiruddin ini menanggapi penandatanganan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu oleh Presiden Joko Widodo.

Berita terkait: Sidang Tahunan MPR, Jokowi: Kasus HAM Jadi Perhatian Serius Pemerintah

Amiruddin menjelaskan, jika ingin menyelesaikan kasus HAM berat masa lalu dengan jalur non-yudisial, maka harus ada prinsip dan mekanisme pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi.

Prinsip itu, lanjutnya, yaitu mengungkapkan kebenaran, memberikan pengakuan bahwa peristiwa itu pernah terjadi, memberikan reparasi kepada semua korban dan mencegah terjadinya keberulangan.

"Nah apakah prinsip ini ada di dalam tim yang dibikin itu saya tidak tahu, kita belum baca dokumennya. Tapi juga saya ingin sampaikan undang-undang kita tentang Pengadilan HAM juga membuka ruang menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia masa lalu melalui mekanisme pengungkapan kebenaran, jadi pintu itu terbuka menurut undang-undang. Nah, tinggal pengaturannya seperti apa, itu yang penting ke depan, yang mesti kita lihat dari tim itu," jelas Amiruddin.

Baca juga: Komnas HAM Didesak Tetapkan Pembunuhan Munir sebagai Pelanggaran HAM Berat

Saat ini ada 12 kasus pelanggaran HAM berat dari hasil penyelidikan Komnas HAM yang belum tuntas penanganannya. Yakni, peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II di 1998-1999, Mei 1998, Wasior 2001-2002, Wamena 2003.

Kemudian peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, Talangsari 1989, peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, Jambo Keupok 2003, simpang KKA Aceh 1999, Rumoh Geudong, dan pos Sattis Aceh 1989, pembunuhan dukun santet 1998-1999 dan Paniai di 2014.

Adapun satu-satunya kasus yang sudah masuk ke peradilan adalah kasus Paniai yang terjadi pada 2014. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah melimpahkan berkas perkara atas nama terdakwa IS dalam perkara dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Paniai pada 2014 ini ke Pengadilan HAM di Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus, Makassar, 15 Juni 2022.

Sementara pda 25 Juli 2022 lalu, Mahkamah Agung juga telah memilih 8 Hakim ad hoc Pengadilan HAM yang akan bertugas mengadili Peristiwa Paniai ini.

Editor: Kurniati Syahdan

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!