indeks
Koalisi Skeptis dengan Penunjukan Dofiri, Polri Perlu Reformasi Radikal

“Kalau memang diperlukan reformasi radikal dengan memangkas regenerasi polisi, memberhentikan polisi yang melakukan tindak pidana ..."

Penulis: Khalisa Putri

Editor: Sindu

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Koalisi Skeptis dengan Penunjukan Dofiri, Polri Perlu Reformasi Radikal
Presiden Prabowo saat melantik Ahmad Dofiri di Istana Negara, Jakarta, Rabu, 17 September 2025. Foto: BPMI Setpres

KBR, Jakarta- Kapolri Listyo Sigit Prabowo membentuk tim transformasi reformasi kepolisian. Tim beranggotakan 52 orang perwira, diketuai Chryshnanda Dwilaksana, jenderal bintang tiga yang kini menjabat kalemdiklat Polri. Dasar pembentukannya Surat Perintah (Sprin) Kapolri/2749/IX/2025 tertanggal 17 September.

Fokusnya, evaluasi menyeluruh, mulai dari aspek kultural, instrumental hingga kebijakan di lingkup Polri. Kapolri Listyo mengklaim, pembentukan tim ini bukti keseriusan Polri memperbaiki institusi kepolisian.

Kata dia, Polri terbuka terhadap seluruh masukan dari pakar, pemerintah, dan masyarakat. Pembentukan tim juga bagian dari tindak lanjut langkah pemerintah membentuk Komite Reformasi Polri.

Listyo berharap, reformasi yang dijalankan tak hanya bersifat internal, namun sesuai arah kebijakan pemerintah dan aspirasi publik. Tujuannya, untuk memperkuat kepercayaan publik terhadap Korps Bhayangkara.

"Tim internal ini akan melakukan evaluasi seluruh program yang telah kita laksanakan, sehingga masukan dan perbaikan yang diberikan bisa segera kita tindak-lanjuti," kata Listyo di Kompleks STIK, Jakarta, Senin, 22 September 2025, seperti dikutip KBR dari humas.polri.go.id.

red
Kapolri Listyo Sigit Prabowo saat menanggapi desakan perbaikan institusi Polri di STIK, Jakarta, Senin, 22 September 2025. Foto: humas.polri.go.id
advertisement


Ahmad Dofiri

Sebelum Polri, Presiden Prabowo mengangkat bekas Wakapolri Jenderal (HOR) Ahmad Dofiri, sebagai Penasihat Khusus Presiden bidang Keamanan, Ketertiban Masyarakat, dan Reformasi Kepolisian dalam upacara di Istana Negara, Jakarta, Rabu, (17/9/2025). Pada hari yang sama, Dofiri menerima penghargaan pangkat jenderal kehormatan (HOR).

Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi mengklaim, keputusan tersebut bentuk apresiasi atas pengabdian panjang Dofiri di institusi kepolisian. Ia menegaskan, presiden mempertimbangkan rekam jejak dan dedikasi selama puluhan tahun, termasuk saat menjabat wakil kepala Polri.

"Figur-figur putra terbaik bangsa yang sudah mengabdi sekian puluh tahun lamanya dengan segala prestasi," kata Prasetyo di Istana Negara, Rabu.

Penunjukkan Dofiri dilakukan setelah serangkaian desakan dan tuntutan kepada penyelenggara negara untuk segera mereformasi Polri.

Tuntutan itu salah satunya datang dari Gerakan Nurani Bangsa (GNB). Sebuah gerakan inisiasi kepedulian dari berbagai tokoh lintas agama dan latar belakang yang bertemu presiden di Istana, Kamis, 11 September 2025. Sebelum GNB, ada 17+8 Tuntutan Rakyat yang juga disuarakan demonstran.

Beberapa hari setelahnya, kepala negara melantik Ahmad Dofiri Penasihat Khusus Presiden bidang Reformasi Kepolisian.

Usai dilantik, Ahmad Dofiri menyatakan bakal menyusun anggota Komisi Reformasi Polri. Namun, ia enggan menjawab detail pembentukan tersebut kepada wartawan.

"Ini timnya baru mau disusun," katanya di Mabes Polri, Jakarta, Jumat, 19 September 2025, seperti dikutip dari Aktual.com.

Penunjukkan Dofiri memantik perdebatan juga pertanyaan: apakah reformasi kepolisian akan dijalankan serius atau hanya simbol politik semata?

Proses & Arah Reformasi

Aksi demonstrasi akhir Agustus hingga awal September 2025, bukan satu-satunya musabab desakan reformasi kepolisian dilontarkan berbagai pihak.

Pada momen-momen sebelumnya, tuntutan serupa juga disuarakan, terutama ketika aparat penegak hukum justru melakukan berbagai pelanggaran hukum.

Saat penanganan hak menyampaikan pendapat akhir bulan lalu misalnya, publik menyoroti kekerasan aparat terhadap demonstran. Demo yang semula damai berujung ricuh di sejumlah titik hingga menelan korban jiwa.

Data mencatat, hingga 8 September 2025, ada 5.444 orang ditangkap, ribuan demonstran terluka, dan 10 orang meninggal, termasuk pengemudi ojol Affan Kurniawan yang tewas dilindas kendaraan taktis polisi.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (Koalisi RFP) menilai, akar persoalan Polri bersifat sistemik. Mereka merumuskan sembilan masalah mendasar untuk diperbaiki.

Mulai dari lemahnya akuntabilitas dan pengawasan, budaya kekerasan, dan tata kelola organisasi yang tak transparan. Lalu, sistem kepegawaian tanpa meritokrasi, kewenangan berlebihan, hingga keterlibatan dalam bisnis dan politik.

red
Ahmad Dofiri saat dilantik menjadi wakapolri, 24 Mei 2025. Foto: humas.polri.go.id
advertisement


ICJR: Reformasi Substansi

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), yang tergabung dalam Koalisi RFP menegaskan, reformasi Polri tidak boleh berhenti pada pergantian figur atau pembentukan tim semata. Akar persoalan kepolisian harus dijawab melalui perubahan regulasi yang menyentuh substansi.

“Harusnya kami mendorongnya adalah akademisi, masyarakat sipil, dan aktor-aktor independen yang punya interes terhadap pembaruan kepolisian. Terlepas dari itu, kami tetap mendorong adanya police reform di sembilan aspek yang sudah kami bahas,” kata Peneliti ICJR, Meidina Rahmawati, Kepada KBR, Jumat (19/09/2025).

Menurut ICJR, ada dua agenda paling krusial karena sudah berada di depan mata, yaitu revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan revisi Undang-Undang Polri.

1. RUU KUHAP: Penguatan Judicial Scrutiny (pengawasan pengadilan)

ICJR menilai rancangan KUHAP yang ada saat ini justru gagal memperbaiki masalah akuntabilitas kepolisian.

“Kalau mau menjamin akuntabilitas, pengawasannya harus diperkuat. RUU KUHAP itu harus diimbangi fungsi judicial scrutiny atau pengawasan pengadilan. Keputusan menangkap, menahan, dan upaya paksa lain seharusnya datang dari pengawasan hakim. Itu praktik peradilan pidana yang benar dan sesuai prinsip hak asasi manusia,” jelas Meidina

Tanpa mekanisme ini, polisi tetap memiliki ruang melakukan penangkapan sewenang-wenang tanpa kontrol yudisial memadai.

2. RUU Polri: Hilangkan Kewenangan Penyelidikan

ICJR juga menyoroti rancangan revisi UU Polri yang dinilai tidak menjawab kebutuhan reformasi.

“Di RUU Polri sekarang sama sekali tidak ada penguatan pengawasan Kompolnas. Bahkan malah diperkenalkan kewenangan baru yang tidak jelas diatur, misalnya penyelidikan. Itu kewenangan yang eksesif, karena tidak diawasi lembaga manapun, baik jaksa maupun hakim,” ujar Meidina.

ICJR mendorong kewenangan penyelidikan dihapus dan digabungkan ke dalam tahap penyidikan. Dengan begitu, sejak awal proses sudah berada di bawah pengawasan kejaksaan dan peradilan.

red
Aksi kekerasan polisi saat aksi demo. Foto: ICJR.or.id
advertisement


Skeptis

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) justru skeptis dengan penunjukan Ahmad Dofiri untuk mereformasi kepolisian. Menurut Wakil Ketua bidang Advokasi YLBHI, Arif Maulana, keputusan itu menunjukkan ketidakseriusan penyelenggara negara menjalankan agenda perubahan.

Kata dia, sejak awal Koalisi RFP mendorong agar tim reformasi diisi figur independen dari masyarakat sipil, akademisi, atau praktisi hukum. Namun, presiden justru menunjuk purnawirawan polisi.

“Ya, keraguan kami sejak awal sudah kami sampaikan, apakah ini hanya gimik presiden atau serius? Saya kira ini menunjukkan ketidakseriusan presiden untuk betul-betul mendorong reformasi kepolisian,” ujarnya, Kepada KBR, Jumat, (19/09/2025).

Arif menambahkan, rekam jejak Dofiri saat masih aktif pun tidak menunjukkan upaya signifikan dalam memperbaiki institusi kepolisian.

“Selama ini ketika menjabat menjadi wakil kapolri saja tidak ada perubahan yang terjadi di tubuh kepolisian meskipun banyak persoalan seperti kasus Kanjuruhan, kasus penembakan anak pelajar di Semarang, dan lain sebagainya. Jadi, kekerasan terhadap demonstran itu terjadi dari 2019 sampai hari ini tidak ada perbaikan yang berarti di tubuh kepolisian, tetapi kemudian diminta untuk jadi memimpin reformasi Polri, kami skeptis,” kata Arif.

Ia menegaskan, apabila presiden serius, maka figur yang ditunjuk seharusnya bisa memperkuat kepercayaan publik terhadap tim reformasi.

“Jadi, saya kira pembentukan tim reformasi Polri ini tidak menunjukkan langkah serius atau komitmen nyata dari presiden,” tuturnya.

red
Grand Strategi Polri. Sumber: siapsespimpolri
advertisement


Menurut Arif, sembilan tuntutan yang pernah diajukan koalisi masyarakat sipil merupakan agenda mendesak yang tidak bisa ditawar. Namun, ia menyoroti pembatasan kewenangan kepolisian dan pengawasan efektif sebagai prioritas utama.

“Kalau ditanya mana yang paling utama harus dilakukan adalah bagaimana kemudian membatasi kewenangan kepolisian dan mendorong pengawasan yang efektif. Salah satunya adalah bagaimana revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 itu dilaksanakan dengan serius,” jelasnya.

YLBHI juga menekankan pentingnya partisipasi masyarakat sipil dalam proses reformasi. “Ketika tim diisi orang-orang yang berintegritas, independen, dan punya komitmen kuat, ini akan meningkatkan kepercayaan publik. Tetapi, ketika tidak ada unsur masyarakat sipil, akademisi, atau praktisi yang kompeten, itu justru bermasalah,” ujarnya.

Selain itu, YLBHI mendorong Polri dikembalikan pada jati dirinya sebagai polisi sipil.

“Polisi harus dijauhkan dari politik praktis, dikaji lagi posisi Polri di bawah presiden itu harus ditinjau ulang dan semestinya bisa ditempatkan di bawah kementerian,” kata Arif.

“Yang kedua adalah demilitarisasi polisi, polisi harus didemokratiskan. Salah satunya dengan mengevaluasi Brimob bahkan menempatkan Brimob ini bukan lagi di kepolisian karena ini semi-militer,” imbuhnya.

Meski ada harapan dari pembentukan tim reformasi, keraguan YLBHI tetap besar.

“Sejak awal kami mengatakan sulit berharap pada pemerintahan Prabowo-Gibran. Harapan itu ada, tetapi sejak awal kami skeptis, kami ragu kalau ini hanya omon-omon, hanya gimmick belaka. Dan keraguan ini nampaknya mulai terjawab ketika tim ini justru dipimpin mantan polisi yang baru saja pensiun,” tegasnya.

Arif bahkan menyinggung perlunya langkah radikal apabila pemerintah benar-benar berkomitmen.

“Kalau memang diperlukan reformasi radikal dengan memangkas regenerasi polisi, memberhentikan polisi yang melakukan tindak pidana, itu yang memang harus dilakukan. Bukan seperti hari ini terbukti melindas ojol, tetapi hanya dihukum etik, atau obstruction of justice dalam kasus Sambo justru dihukum ringan dan bahkan sudah dipulihkan jabatannya,” pungkasnya.

red
Aksi mendesak Reformasi Polri di Jakarta saat Hari Bhayangkara. Foto: icjr.or.id
advertisement


Tantangan: Kultur Kekerasan dan Politik

Tantangan reformasi Polri tidak ringan. Data Komnas HAM yang dirilis KontraS menyebut Polri konsisten menempati posisi institusi paling banyak diadukan terkait pelanggaran HAM, dengan 4.485 kasus setahun terakhir.

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bayu Wardhana mengingatkan, persoalan kekerasan aparat juga menimpa jurnalis. Hingga Agustus 2025, AJI mencatat, ada 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis, sebagian besar dilakukan polisi.

“Hal yang dibutuhkan jurnalis, pers, dan masyarakat saat ini adalah reformasi kepolisian. Karena polisi sudah banyak melakukan pelanggaran dan kekerasan berulang. Lebih penting membentuk tim reformasi independen daripada sekadar mengangkat penasihat khusus,” ujarnya, Kepada KBR, Jumat, (19/09/2025).

Bayu menegaskan, jaminan perlindungan jurnalis hanya bisa dipastikan bila ada efek jera.

“Polisi yang melakukan kekerasan pada jurnalis harus dihukum pidana, sehingga ada efek jera. Kalau tidak, kasus serupa akan terus terulang,” tegasnya.

Selain soal kekerasan, keterlibatan Polri dalam politik dan bisnis juga jadi sorotan. Koalisi RFP menilai reformasi harus diarahkan untuk depolitisasi, demiliterisasi, desentralisasi, dan dekorporatisasi Polri.

Penunjukan Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden menjadi babak baru yang bisa menentukan arah reformasi Polri. Namun, skeptisisme masyarakat sipil menunjukkan, publik menuntut lebih dari sekadar simbol politik.

Reformasi Polri harus menjawab sembilan masalah sistemik yang telah diidentifikasi Koalisi RFP. Tanpa perbaikan substansial di level hukum, struktur, dan kultur, agenda reformasi berpotensi hanya menjadi jargon politik, sementara praktik kekerasan, penyalahgunaan wewenang, dan korupsi tetap berlanjut.

Baca juga:

Reformasi Polri
Ahmad Dofiri

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...