NASIONAL

Koalisi: Presiden Jokowi Diduga Melanggar Undang-Undang Intelijen

Menko-Polhukam, Mahfud MD menyatakan, informasi intelijen soal aktivitas partai politik tidak hanya diterima menjelang pemilu seperti kali ini saja.

AUTHOR / Muthia Kusuma, Heru Haetami, Shafira Aurelia

Koalisi: Presiden Jokowi Diduga Melanggar Undang-Undang Intelijen
Ilustrasi: Presiden Jokowi saat menyapa para relawan di Stadion Gelora 10 November Surabaya, Minggu, 21-8-2022. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Pemerintah menyatakan setiap kepala negara berhak mendapatkan informasi intelijen terkait partai politik. Hal itu disampaikan berkaitan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang belum lama ini menyebut memiliki informasi lengkap tentang partai politik.

Meski begitu, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memastikan informasi itu tidak disalahgunakan Presiden Joko Widodo untuk cawe-cawe terkait Pemilihan Umum 2024.

“Tentu presiden tahu data tentang parpol. Itu memang hak presiden, ada Undang-Undang Intelijen Negara kan. Laporannya ke presiden dan setiap saat. Bukan hanya di hari kerja dan di jam kerja, tengah malam juga bisa dapat info itu,” kata Mahfud di Jakarta, Minggu, (17/9/2023).

Menko Polhukam, Mahfud MD menyatakan, informasi intelijen soal aktivitas partai politik tidak hanya diterima menjelang pemilu seperti kali ini saja. Menurutnya, presiden mendapat informasi seperti itu jauh sebelum tahun politik. Kata dia, kepala negara juga mengetahui informasi mengenai bisnis gelap politisi.

Pernyataan Jokowi

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyatakan mempunyai informasi lengkap terkait data, angka, survei bahkan arah langkah partai politik.

Hal itu disampaikan Jokowi saat membuka Rapat Kerja Nasional Relawan Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Bogor, Jawa Barat. Presiden Joko Widodo mengeklaim informasi itu hanya diketahui dirinya.

“Dalamnya partai seperti apa saya tahu, partai-partai seperti apa saya tahu. Ingin mereka menuju ke mana saya tahu. Informasi yang saya terima komplet. Dari intelijen saya ada, BIN (Badan Intelijen Negara). Dari intelijen di Polri, ada. Dari intelijen di TNI, saya punya, BAIS (Badan Intelijen Strategis), dan info-info di luar itu,” ucap Jokowi pada Sabtu, (16/9/2023).

Respons DPR

Sebagian kalangan politisi dan anggota DPR menanggapi berbeda mengenai informasi intelijen terkait partai politik yang dimiliki kepala negara.

Anggota Komisi bidang Intelijen di DPR dari Partai Golkar, Dave Laksono mengatakan kepala negara berhak mendapat informasi intelijen termasuk mengenai partai politik sebagai bahan dalam pengambilan kebijakan. Ia menilai pernyataan Jokowi bukan bentuk intervensi terhadap penyelenggaraan Pilpres 2024.

"Selaku seorang kepala negara presiden Jokowi berhak dan juga bahkan diwajibkan untuk menerima segala macam jenis laporan intelijen. Laporan tersebut menjadi bahan-bahan untuk beliau menentukan langkah kebijakan pemerintah ke depan. Apa yang dinilai perlu, apa yang menjadi masalah, dan apa yang dinilai menjadi kendala ke depannya," ujar Dave, melalui video singkat yang diterima KBR, Minggu, (17/9/2023).

"Tentu dalam hal ini segala macam hal yang berkaitan dengan kebijakan politik membutuhkan banyak pertimbangan-pertimbangan politik juga. Apakah itu pertimbangan politik dari partai politik ataupun juga dari lembaga instansi lainnya," ujar Dave menambahkan. 

Anggota Komisi bidang Intelijen di DPR, Dave Laksono menambahkan, DPR belum berencana memanggil Badan Intelijen Negara (BIN) atau intelijen di institusi lain mengenai pernyataan presiden .

Jangan Disalahgunakan

Sementara iru, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memahami setiap kepala negara wajib dan berhak mengetahui segala aspek terkait situasi partai politik.

Meski begitu, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera PKS, Mardani Ali Sera meminta Presiden Joko Widodo tidak menyalahgunakan informasi intelijen itu untuk kepentingan pribadi. Misalnya cawe-cawe untuk kepentingan Pemilu 2024.

"Maksudnya apa gitu loh, apalagi disampaikan di forum relawan kayak partai itu di bawah relawan. Kami tidak kenapa asal presidennya bersikap sebagai kepala negara. Justru dengan tahu kondisi parpol bukan cawe-cawe. Tapi, apa nih yang bisa dibantu agar partai sehat, agar partai kian demokratis, aspiratif biar jadi sumber peradaban Indonesia. Bukan malah cawe-cawe. Pak Jokowi harus tahu beliau itu bukan cuma ngurus politik, tetapi beliau itu mengurus negara," ujar Mardani, kepada KBR, Minggu, (17/9/2023).

Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera PKS Mardani Ali Sera meminta Presiden Jokowi bersikap netral dan tidak terpengaruh kepentingan lain, di luar kepentingan negara.

Panggil Presiden

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta DPR memanggil Presiden Joko Widodo terkait pernyataannya soal data intelijen terkait parpol.

Perwakilan koalisi sekaligus Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia YLBHI, Muhammad Isnur menilai, pernyataan Jokowi mengindikasikan ada penyalahgunaan kekuasaan terhadap alat-alat keamanan negara untuk mengontrol dan pengawasan demi tujuan politik.

“Ini merupakan bentuk skandal partai politik dan jadi masalah serius dalam demokrasi. Sehingga wajib diusut tuntas. Oleh karena itu sudah sepatutnya DPR melakukan pemeriksaan, mengambil hak angketnya, untuk menjelaskan hal ini kepada publik secara terang benderang,” kata Isnur kepada KBR, Minggu, (17/9/2023).

Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Muhammad Isnur menyebut Presiden Jokowi melanggar sejumlah peraturan seperti Undang-Undang Intelijen, Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Partai Politik.

Isnur mengatakan, dalam negara demokrasi, kepala negara beserta perangkat intelijennya dilarang menjadikan partai politik sebagai objek dan target pemantauan. Menurutnya, informasi intelijen yang dilaporkan ke presiden seharusnya terkait dengan kepentingan politik negara maupun penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional.

Baca juga:

Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!