indeks
Kisruh Royalti Musik di Kafe-Resto, Apa Jalan Keluarnya?

Pengamat bilang persoalan utama bukan hanya pada tarif atau sistem, melainkan pada pemikiran dan ketimpangan komunikasi antara regulator dan pelaku usaha hingga masyarakat.

Penulis: Naomi Lyandra

Editor: Resky Novianto

Google News
antara
Penyanyi Bay (tengah) menyanyikan lagu “Simpan Saja”, disertai penyerahan sertifikat kekayaan intelektual di kafe 168 House, Palu, Kamis (10/7/2025). ANTARA

KBR, Jakarta- Perdebatan seputar kewajiban pembayaran royalti musik di tempat usaha seperti kafe hingga restoran kembali mencuat ke permukaan, menyusul polemik yang melibatkan pelaku usaha dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Sejumlah pelaku usaha bahkan memilih untuk tidak memutar musik atau lagu, lantaran takut terkena kewajiban membayar royalti.

Minim Pemahaman

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran, menyoroti minimnya pemahaman yang seragam di kalangan pelaku usaha.

“Ya sebenarnya kalau kami bicara di lingkup PHRI, pemahaman kawan-kawan terhadap royalti ini tidak sama dan banyak yang masih menyimpang dari aturan main itu,” ujar Maulana dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (6/8/2025).

Maulana juga menekankan bahwa pendekatan hukum seringkali menciptakan kegaduhan yang kontraproduktif.

“Kami juga sayangkan pada saat melakukan sosialisasi itu lebih ke sosialisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Padahal pendekatan administratif bisa lebih efektif dan tidak menimbulkan ketakutan,” lanjutnya.

Maulana menyebut kebutuhan besar akan sistem digital yang transparan, termasuk bank lagu, agar pelaku usaha tidak dirugikan karena membayar royalti atas lagu yang sebenarnya mereka ciptakan sendiri.

“Kalau saya nyiptain lagu sendiri saya putar tempat usaha saya, saya juga harus bayar juga ke LMKN? Kan nggak masuk akal,” tegasnya.

Royalti Musik Amanat Undang-Undang

Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menegaskan bahwa kewajiban membayar royalti bukan sekadar beban biaya tambahan bagi pelaku usaha, melainkan amanat langsung dari undang-undang.

“Ada undang-undang itu wajib, sekali lagi wajib untuk kita patuhi, jadi lembaga manajemen kolektif itu dibentuk untuk memudahkan pengguna dan pemilik hak cipta maupun hak terkait supaya tidak terjadi pelanggaran hak cipta di dalamnya,” ujar Dharma dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (6/8/2025).

Ia juga menjelaskan struktur tarif royalti, misalnya untuk kafe dan restoran, sebesar Rp120.000 per kursi per tahun.

“Kalau 10 kursi berarti total satu tahun itu dia membayar 1.200.000. Itu satu hari itu hanya 4.000 rupiah satu kursi”, jelasnya.

red
Sumber: jdih.dgip.go.id

Akar Kisruh Royalti Musik di Kafe/Restoran

Pengamat musik, Buddy Ace, menilai persoalan utama bukan hanya pada tarif atau sistem, melainkan pada pemikiran dan ketimpangan komunikasi antara regulator dan masyarakat.

“Saya membayangkan kalau seluruh keluarga besar pelaku usaha punya pemahaman seperti Pak Maulana, polemik ini nggak akan berlarut, problem utamanya adalah soal cara pandang masyarakat. Mindset. Ada yang tidak seragam”, ujar Buddy dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu (6/8/2025).

Buddy juga mengkritisi pendekatan pemerintah yang cenderung legalistik ketimbang edukatif.

“Pemerintah, DJKI khususnya, mengakui tidak punya energi yang cukup untuk sosialisasi. Lalu siapa yang harus mengedukasi publik? LMKN sendiri terbatas. Energi mereka untuk keliling Indonesia nggak bisa menjangkau semua provinsi”, ujarnya.

Buddy pun berharap agar kementerian lain seperti Kementerian Kebudayaan, Kementerian UMKM, dan Kemenparekraf ikut ambil bagian dalam proses edukasi publik.

“Menteri Kebudayaan Fadli Zon harus turun langsung menjadi ujung tombak mengatasi permasalahan ini,” tuturnya.

Evaluasi Tarif Royalti

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran juga menyampaikan pentingnya evaluasi tarif dan perbaikan sistem distribusi royalti. Apalagi, mayoritas pelaku usaha di Indonesia adalah sektor mikro dan kecil.

“Dari total sektor usaha yang ada di Indonesia, pelaku mikro itu 93,5 persen, jadi di persepsi ‘mahal’ atau tidaknya tarif itu akan beragam,” ujar Maulana.

Maulana berharap berharap sistem digital segera diterapkan dalam mekanisme hak cipta dalam kisruh royalti tersebut.

“Tadi supaya juga tidak ada penarikan double. Masyarakat juga punya hak untuk memutarkan lagu sendiri tanpa harus terjebak masalah royalti,” tegas Maulana.

red
Sumber: jdih.dgip.go.id

DPR Minta Pemerintah Tak Sulitkan Pelaku Usaha

DPR RI meminta pemerintah tidak menyulitkan pelaku usaha di tanah air atas pemutaran lagu di ruang komersil, menyusul munculnya sejumlah kafe dan tempat usaha yang enggan memutarkan lagu-lagu Indonesia karena kekhawatiran masalah royalti.

"Kami sudah minta Kementerian Hukum yang kemudian juga membawahi LMK-LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) untuk juga kemudian membuat aturan yang tidak menyulitkan," kata Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/8/2025) dikutip dari ANTARA.

Hal tersebut perlu dilakukan sembari menunggu selesainya revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang bergulir di parlemen.

"Sambil menunggu revisi Undang-Undang Hak Cipta yang sedang direvisi oleh DPR," ucapnya.

Royalti Ditujukan kepada Pencipta dan Pemilik Hak, Bukan Negara

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI Kemenkum Agung Damarsasongko mengatakan setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik, termasuk restoran, kafe toko, pusat kebugaran, dan hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.

Pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Hak Cipta Lagu dan atau musik.

Aturan tersebut berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music, atau layanan streaming lainnya. Pembayaran royalti juga termasuk pada pemutaran lagu-lagu barat.

Hal tersebut dikarenakan langganan pribadi dari platform musik tersebut tidak termasuk dalam hak pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang publik.

Pemutaran musik di ruang usaha termasuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah.

Cari “Win-win Solution”

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan akan mencari solusi terhadap kasus sejumlah kafe dan tempat usaha yang enggan memutar lagu-lagu Indonesia karena kekhawatiran masalah royalti.

"Nanti kita benahi supaya ada jalan keluar yang win-win solution karena memang ada kesalahpahaman, ketakutan semacam itu," kata Menbud di kawasan Tapos, Depok, Jawa Barat dikutip dari ANTARA.

red
Menteri Kebudayaan Fadli Zon memberikan sambutan pada pembukaan latihan paduan suara dan orkestra Gita Bahana Nusantara (GBN) di Depok, Jawa Barat, Minggu (3/8/2025). Foto: ANTARA

Fadli menegaskan bahwa persoalan itu tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Kebudayaan, melainkan perlu melibatkan Kementerian Hukum dan HAM, khususnya terkait perlindungan hak cipta dan kekayaan intelektual (HAKI).

Ia menambahkan bahwa dalam waktu dekat, pihaknya juga akan menginisiasi koordinasi antarinstansi guna mencari jalan keluar yang adil bagi pelaku industri musik maupun para pemilik usaha.

Beberapa kafe dan restoran di Indonesia, terutama di daerah Tebet, Jakarta Selatan, mulai mengurangi atau bahkan menghentikan pemutaran lagu-lagu Indonesia karena kekhawatiran akan masalah royalti.

Pemerintah Cari Jalan Keluar

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan pemerintah tengah mencari jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan polemik terkait sejumlah kafe dan tempat usaha yang enggan memutar lagu-lagu Indonesia karena kekhawatiran terhadap masalah royalti.

"Kita sedang mencari jalan keluar ya, sebaik-baiknya," ujar Prasetyo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (5/8/2025) dikutip dari ANTARA.

red
Mensesneg Prasetyo Hadi menjawab pertanyaan wartawan di ruang media, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (25/7/2025). Mensesneg menjawab dan menanggapi sejumlah pertanyaan dari pers soal isu-isu terkini seperti isu pertumbuhan ekonomi dan isu politik. ANTARA FOTO/Galih Pradipta

Prasetyo menyampaikan polemik tersebut memunculkan pandangan berbeda di masyarakat. Di satu sisi, terdapat tuntutan dari para pencipta lagu agar hak ekonomi mereka dihormati, termasuk dalam penggunaan karya di ruang publik.

Namun di sisi lain, ada pihak yang menganggap pemutaran lagu di tempat seperti kafe bukan bentuk komersialisasi yang seharusnya dikenakan royalti.

"Juga ada sebagian juga yang merasa bahwa kalau itu domain publik, kemudian kalaupun dalam tanda kutip dianggap dikomersialisasikan itu, tetapi bentuknya seperti hanya diputar di kafe atau di rumah makan, ada juga yang berpendapat bahwa kalau seperti itu bentuknya ya enggak masalah," kata dia.

Prasetyo mengatakan ada pula pihak-pihak yang berpendapat bahwa pemanfaatan lagu yang bersifat komersial, seperti melalui platform digital, pertunjukan, atau acara tertentu yang menghasilkan keuntungan, merupakan bentuk penggunaan yang seharusnya diatur dalam pembagian hak kepada pencipta lagu.

"Ada yang berpendapat bahwa itulah yang harus diatur pembagian haknya kepada yang menciptakan lagu. Kita sedang cari jalan keluar terbaiknya," ucap Prasetyo.

Pembahasan Bersama Seluruh Pihak

Pemerintah, kata Prasetyo, berupaya mempertemukan berbagai pihak yang terlibat untuk membahas permasalahan ini bersama, guna menghasilkan solusi yang adil bagi semua pihak.

"Kita duduk bareng lah. (Pemerintah turun tangan) Pasti," pungkasnya.

Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media

Baca juga:

Lhokseumawe Larang Gelar Musik Selama Ramadan


musik
royalti
royalti musik
kafe
restoran
PHRI
hotel
musisi

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...