NUSANTARA

Ketika Izin Pendirian Gereja Ditolak Warga di Kota Toleran

Peristiwa penyegelan lahan untuk pendirian gereja serta sekolah Minggu di Solo ini sempat viral di media sosial pada Juni 2023.

AUTHOR / Yudha Satriawan

pendirian gereja
Spanduk penolakan pendirian gereja di Banyuanyar Solo Jawa Tengah. (Foto: Istimewa/Yudha)

KBR, Solo - Di ujung gang Jalan Banyuanyar Utara, Banyuanyar, Solo Jawa Tengah terletak sebuah lahan kosong dipagari tembok warna hijau dan pagar besi berkarat warna hitam.

Lokasi ini menjadi saksi bisu kedatangan sekelompok orang pada pertengahan Juni 2023. Mereka memasang poster bertuliskan "warga dan umat muslim Banyuanyar menolak pendirian gereja di RT 4 RW 7 Banyuanyar".

Pantauan KBR pada September 2023, lahan itu terlihat sepi tanpa aktivitas manusia. Hanya terlihat deretan tanaman mengering, tumpukan bebatuan serta sebuah gubug tanpa dinding bertiang bambu dan beratap seng yang sudah berkarat. Puing-puing bekas bangunan yang dirobohkan serta pecahan genting terlihat berserakan di sana-sini.

Akses menuju lokasi sangat sepi. Depan lokasi tersedia jalan gang selebar sebuah mobil untuk perlintasan warga yang lewat. Tidak ada aktifitas apapun di dalam lokasi ini.

Suasana lengang juga terlihat di sebuah bangunan kosong di RW 8 Banyuanyar. Rumah itu bercat putih dengan pintu gerbang warna biru. Ini merupakan rumah yang sempat dipakai aktivitas sekolah Minggu bagi belasan anak.

Rumah ini juga sempat dipasang spanduk penolakan oleh kelompok warga pada Juni lalu, sebelum kemudian dicopot.

red

***

Peristiwa penyegelan lahan untuk pendirian gereja serta sekolah Minggu di Solo ini sempat viral di media sosial pada Juni 2023.

Pascakejadian, Kepolisian setempat segera mempertemukan kelompok penolak dan pengurus Gereja Kristen Jawa (GKJ) yang menaungi aktivitas sekolah Minggu di RT 8.

Kapolresta Solo Iwan Saktiadi menyebut insiden itu sebuah kesalahpahaman.

"Kesalahpahaman kemarin sudah kita luruskan. Kita libatkan FKUB juga. Artinya proses peribadatan itu nantinya akan menunggu atau penggunaan tempat sebagai sarana resmi tempat ibadah menunggu keluarnya ijin pemerintah. Saat ini sedang berproses. Upaya-upaya yang kita lakukan sejak kemarin untuk tidak munculnya friksi maupun kesalahpahaman yang akan berujung pada gesekan sosial", ujar Iwan, Kamis (22/6/2023).

Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming mengklaim saat ini kasus tersebut sedang diselesaikan.

"Ada sedikit kejadian yang kemarin sempat viral di medsos. Masalah penyegelan bangunan yang akan menjadi tempat ibadah. Hari ini saya akan selesaikan. Solo kan dapat predikat nomor 4 kota Toleran, ini harus kita pertahankan dan tingkatkan. Jadi, kasus-kasus seperti ini saya turun tangan langsung," kata Gibran di Balaikota, Senin (19/6/2023).

Gibran merasa terganggu dengan peristiwa itu. Apalagi, lembaga Setara Institute di tahun ini memasukkan Kota Solo dalam daftar kota paling toleran di Indonesia.

Kota Solo berada di peringkat empat kota paling toleran se-Indonesia. Peringkatnya hanya di bawah Singkawang (Kalimantan Barat), Salatiga (Jawa Tengah) dan Bekasi (Jawa Barat). Sedangkan peringkat kelima ada Kediri (Jawa Timur).

Baca juga:

red


***

Sekitar tiga bulan setelah penyegelan, warga sekitar yang ditemui KBR memilih tak banyak bicara.

"Jangan saya mas, tanya yang lain saja," kata seorang warga yang lantas masuk lagi ke dalam rumah.

Setidaknya lima kali KBR bolak-balik ke lokasi dan berupaya menemui sejumlah warga sekitar untuk berbincang mengenai penyegelan itu. Hasilnya, tak ada yang mau bicara.

Bahkan, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming saat ditanya jurnalis pada September 2023, enggan membahas masalah itu. Ia hanya menegaskan Pemerintah Kota Solo tidak akan mempersulit kebebasan beribadah bagi warganya selama mematuhi regulasi.

"Ra sah (tidak usah) dibahas. Ijinnya belum ada tapi sedang saya urus. Kan ada kepengurusan gereja yang baru, sedang saya urus juga. Tenang saja. Saya tidak pernah mempersulit kok. Mohon ijinnya dilengkapi, jangan kegiatan ibadah berjalan tapi ijinnya belum ada," kata putra sulung Presiden Jokowi ini, awal September 2023 lalu.

***

Selama ini proses pendirian rumah ibadah diatur melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat.

Aturan itu diteken oleh Menteri Agama Muhammad Basyuni dan Menteri Dalam Negeri Mohammad Ma'ruf pada 21 Maret 2006.

Dalam PBM Pendirian Rumah Ibadah, umat yang hendak mengajukan izin mendirikan rumah ibadah wajib menyertakan 90 kartu identitas dari jemaat dan dukungan dari 60 warga sekitar.

Selain itu harus ada rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama daerah dan dari Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). Aturan itu di luar persyaratan administrasi lain seperti status tanah serta Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Baca juga:

red


Dalam pelaksanaanya, PBM Pendirian Rumah Ibadat justru menimbulkan masalah karena memberatkan. Dalam Laporan Kajian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) 2019, berbagai persyaratan tersebut dalam perspektif kebebasan beragama justru dinilai mempersulit pendirian rumah ibadah, terutama bagi kelompok minoritas. Implikasinya mengakibatkan banyak komunitas agama terpaksa melakukan ibadah di tempatnya masing-masing dengan status ilegal atau tanpa izin.

Komnas HAM juga melaporkan sejumlah pemerintah daerah justru membuat kebijakan yang melampaui substansi atau bahkan bertentangan dengan PBM 2006. Pada Sidang Hak Asasi Manusia (HAM) ke-VI 2018, Komnas HAM menyebut ini disebabkan politik di daerah masih menggunakan sentimen sektarianisme dan berbasis identitas keagamaan atau tunduknya Pemda pada tekanan publik tertentu.

Laporan Komnas HAM 2019 juga menyebut tidak sedikit jemaat yang sudah memenuhi persyaratan pengajuan izin pendirian rumah ibadah dan mendapat rekomendasi dari FKUB, namun tetap mendapat penolakan massa dan tindakan intoleransi. Komnas HAM menyebut PBM 2006 justru menjadi hambatan dalam perlindungan kebebasan beragama dan berkeyakinan khususnya bagi agama kelompok minoritas di suatu wilayah.

Sepanjang 2007 hingga 2022, lembaga Setara Institute mencatat ada 573 kasus gangguan beribadah dan tempat ibadah umat minoritas. Bentuknya bermacam-macam, dari penyegelan tempat ibadah hingga intimidasi.

Baca selanjutnya: Polemik Tak Berkesudahan Aturan Pendirian Rumah Ibadah 

Editor: Agus Luqman

Laporan ini merupakan liputan kolaborasi dengan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) 2023.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!