HEADLINE

Kesaksian Korban Selamat Gempa dan Tsunami Sulteng

"Pertama kali itu ada goncangan terus mati lampu, habis mati lampu itu saya lihat air setinggi enggak tahu berapa, itu ombak hitam," cerita Naskur kepada KBR.

AUTHOR / Muji Lestari

Kesaksian Korban Selamat Gempa dan Tsunami Sulteng
Foto udara dampak kerusakan akibat gempa dan tsunami di Tondo, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (3/10). (Foto: ANTARA/ Hafidz M)

KBR, Jombang – Seperti hari-hari biasa, Jumat (28/10/2018) petang itu Naskur berada di warung bersama istri dan anaknya. Hingga tiba-tiba ia merasakan goncangan cukup kuat dan menyaksikan gulungan ombak berwarna hitam.

Tanpa pikir panjang, ia mengajak anak dan istrinya lari ke atas bukti. Menyelamatkan diri.

"Saat kejadian saya jalan kaki dan lari nggak pakai apa-apa, yang penting keluarga saya. Anak istri saya selamat," ungkap Naskur kepada KBR, Kamis (4/10/2018).

"Pertama kali itu ada goncangan, terus mati lampu. Habis mati lampu itu saya lihat air setinggi enggak tahu berapa, itu ombak hitam," cerita Naskur mengenang.

Naskur merupakan salah satu korban selamat gempa dan tsunami yang melanda Sulawesi Tengah. Warga asal Jombang, Jawa Timur itu sudah 25 tahun merantau dan berjualan bakso di Kota Palu. Warungnya, tak jauh dari pantai. 

Saat gulungan ombak menyapu daratan yang bersisian dengan Pantai Talise, ia bersama istrinya Winarti (32) dan anak semata wayangnya, Mochamad Aulia Rohman (7) sedang berada di warung.

red

Naskur, salah satu korban selamat gempa dan tsunami Sulawesi Tengah. (Foto: KBR/ Muji L)

Kejadian berlangsung begitu cepat, Naskur mengenang. Beberapa kerabat dan anggota keluarganya pun hingga kini masih ada yang belum jelas keberadaannya. Sementara paman, bibi, beserta dua keponakannya menjadi korban meninggal atas bencana ini.

Duka tampak masih tinggal saat KBR mengunjungi rumah Naskur di Dusun Ganggang, Desa Kedungdowo, Kecamatan Ploso, Jombang. Ia dan keluarga berhasil pulang dan tiba di Jombang pada Rabu (3/10/2018) kemarin.

"Saya datang baru tadi malam sama istri, Alhamdulillah ada orang menolong saya ikut mobil logistik ke Makassar. Habis Makassar, Alhamdulillah saya dibantu orang ada yang kenal saya dibantu naik pesawat kesini," kata Naskur.

Bayangan kejadian itu masih lekat di ingatannya. Naskur mengaku trauma dan enggan kembali ke Kota Palu. Ia dan keluarganya berencana membuka usaha di kampung halamannya di Jombang.

Hal serupa dialami keluarga Suyitno (47) dan Ngatmini (42). Rumah mereka tak jauh dari tempat tinggal Naskur di Kota Palu. Saat kejadian, Suyitno bersama keempat anak serta menantunya berhasil menyelamatkan diri. Ia membawa keluarganya berlari sekencang-kencangnya menuju lapangan Kota Palu.

"Pertama yang terjadi itu saya ke Wali Kota, atas. Saya belum bertemu istri saya. Hari kedua pagi-pagi ketemu istri dan keluarga saya," kata Suyitno.

Tak berbeda dengan Naskur, Suyitno dan keluarga telah belasan tahun merantau di Kota Palu untuk berdagang.

Seluruh dagangan beserta rumah kontrakannya hancur karena gempa bumi dan hantaman gelombang tsunami. Menurutnya, sepuluh anggota keluarganya pun hingga kini belum ditemukan. Sementara dua adiknya yang meninggal telah dikuburkan secara massal oleh petugas di Palu.

"Yang lain keluarga belum ketemu ada sepuluh orang, yang dapat dua sudah meninggal," tutur Suyitno. Atas bencana ini, ia mengaku telah merelakan anggota keluarganya yang tewas.

Baca juga:




Editor: Nurika Manan

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!