NASIONAL

Keberpihakan Pengadilan Dipersoalkan, Korting Hukuman Tak Bikin Kapok Koruptor

"Dalam catatan ICW selama ini lembaga kekuasaan kehakiman tidak berpihak kepada pemberantasan korupsi. Misalnya dari sisi vonis terhadap koruptor rata-rata hanya 3 tahun dan 1 bulan penjara."

AUTHOR / Astri Septiani

koruptor
Terdakwa suap izin ekspor benih lobster 2020 Edhy Prabowo menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (29/6/2021). (Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan)

KBR, Jakarta - Selama beberapa tahun terakhir, banyak koruptor mendapat perlakuan istimewa. Termasuk vonis rendah atau hukuman yang dikorting. Banyak catatan yang menunjukkan penegakkan hukum bagi koruptor di Indonesia tidak menimbulkan efek jera.

Presiden Joko Widodo dalam acara Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia Desember 2021 lalu menyebut metode pemberantasan korupsi harus bisa diperbaiki dan sempurnakan. 

Presiden meminta penindakan korupsi tak hanya menyasar peristiwa hukum yang membuat heboh di permukaan. Kata dia, dibutuhkan upaya fundamental, mendasar dan komprehensif yang dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat.

"Upaya penindakan sangat penting dilakukan secara tegas dan tidak pandang bulu. Bukan hanya untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan memberikan efek menakutkan kepada yang berbuat tapi penindakan sangat penting untuk menyelamatkan uang negara dan mengembalikan kerugian negara," kata Jokowi dalam acara Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Jakarta, Kamis (9/12/21). 

Baca juga:

Tren Korting Hukuman Koruptor

Penegakan hukum pidana korupsi di Indonesia terus menuai kritik di masyarakat, terutama karena makin banyak terdakwa yang divonis rendah atau mendapat pemotongan hukuman.

Sejumlah terpidana korupsi yang mendapat vonis ringan di antaranya jaksa Pinangki Sirna Malasari, jenderal polisi Napoleon Bonaparte dan Prasetijo, hingga pengusaha Djoko Tjandra dan bekas Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin. 

Terakhir, bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo juga menerima korting hukuman. Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasi 7 Maret 2022 memotong hukuman pidana penjara bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dari sembilan tahun menjadi lima tahun penjara. MA beralasan selama menjabat menteri, Edhy bekerja dengan baik. 

Bekas Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsuddin divonis 3 tahun 6 bulan penjara terkait kasus dugaan suap senilai total lebih dari Rp3,6 miliar kepada bekas penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju dan advokat Maskur Husain. Vonis Azis Syamsuddin itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa KPK, yakni 4 tahun dan 2 bulan penjara. 

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman Djoko Tjandra menjadi 3 tahun 6 bulan penjara. Sebelumnya, di pengadilan tingkat pertama, Djoko Tjandra divonis 4,5 tahun penjara karena terbukti menyuap jenderal polisi Napoleon Bonaparte dan Prasetijo dalam kasus penghapusan status red notice Djoko Tjandra. 

Ia juga terbukti menyuap Pinangki Sirna Malasari, jaksa di Kejaksaan Agung soal upaya permohonan fatwa MA. Setali tiga uang, Pengadilan Tinggi DKI juga memangkas vonis Pinangki Sirna Malasari dalam perkara tindak pidana korupsi dari 10 tahun menjadi 4 tahun.

Peneliti lembaga pemantau korupsi Indonesia ICW Kurnia Ramadhana menyebut putusan pengadilan terhadap koruptor di Indonesia saat ini sama sekali tak memberikan efek jera. 

Kurnia mengkritik, baik dari segi hukuman pidana maupun pemulihan kerugian keuangan negara tak sebanding dengan kerugian yang diciptakan akibat korupsi.

"Dalam catatan ICW selama ini lembaga kekuasaan kehakiman tidak berpihak kepada pemberantasan korupsi. Misalnya dari sisi vonis terhadap koruptor rata-rata hanya 3 tahun dan 1 bulan penjara. Begitu pula terhadap pemulihan kerugian keuangan negara. Sepanjang tahun 2020 total kerugian negara yang timbul akibat praktek korupsi mencapai Rp56 triliun rupiah. Maka kami berkesimpulan bahwa putusan putusan pengadilan terhadap pelaku korupsi masih sangat jauh dari kata ideal dan masih belum memberikan efek jera yang maksimal," kata Kurnia saat dihubungi KBR (9/12/21).

Baca juga:

Sepanjang 2020, ICW juga mencatat setidaknya ada 14 terpidana dikurangi hukumannya pada tingkat peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung. 

Praktik pemotongan hukuman makin ramai, setelah Hakim Agung Artidjo Alkostar yang dikenal kejam terhadap koruptor masuk pensiun. Pensiunnya Artidjo seperti membuka kesempatan terpidana korupsi beramai-ramai mengajukan peninjauan kembali kasus agar hukumannya dikurangi.

Tidak takut

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut upaya pemberantasan korupsi hanya bagus di awal-awal masa reformasi saja. 

Menurut Mahfud, para pelaku korupsi sudah tidak memiliki rasa takut. Meski, pemberantasan korupsi di indonesia telah mengadopsi aturan-aturan yang bagus dan membentuk lembaga antirasuah seperti KPK.

"Mungkin kalau kita cari, katanya membangun hukum untuk memberantas korupsi itu kan satu membentuk aturannya, sudah kita buat. Lembaganya sudah kita buat banyak sekali. Korupsi ternyata banyak. Lalu kita apa sih yang kurang? Itu tadi satu mungkin pembangunan budaya antikorupsi itu kurang," kata Mahfud dalam Peringatan Hakordia Kementerian Keuangan 2021, Rabu (8/12/2021).

Mahfud berpendapat, membangun budaya antikorupsi harus menciptakan kesadaran pemberantasan korupsi, tidak hanya ketakutan terhadap hukum. Sebab, kata dia, orang saat ini sudah tidak takut terhadap hukum.

Baca juga:

Sementara itu, bekas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengatakan, vonis ringan koruptor mencerminkan perlunya revisinya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). 

Menurut Laode, UU Tipikor yang sekarang tak bisa lagi membuat kapok para koruptor.

"Saya itu percaya dengan efek jera itu (ada), kalau konsisten dilakukan bisa membuat orang berpikir dua sampai tiga kali melakukan korupsi. Kalau itu memang konsisten, (masalahnya) konsistensi di negeri kita ini kurang, sehingga akhirnya banyak (hukuman) yang tidak menimbulkan efek jera seperti itu," kata Laode.

Menurut Laode, hukuman pidana maupun denda kepada para koruptor kelas kakap, hendaknya diberikan semaksimal mungkin agar efektif menimbulkan efek jera.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!