BERITA

Kasus Tanjung Gusta, Bukan Hanya Kesalahan Kemenhukham

KBR68H, Jakarta - Peristiwa kerusuhan berdarah di Tanjung Gusta terjadi lantaran kapasitas lapas yang berlebih dan tidak terpenuhinya kebutuhan listrik dan air.

AUTHOR / Doddy Rosadi

Kasus Tanjung Gusta, Bukan Hanya Kesalahan Kemenhukham
tanjung gusta, lapas, tidak terawat, overkapasitas

KBR68H, Jakarta - Peristiwa kerusuhan berdarah di Tanjung Gusta terjadi lantaran kapasitas lapas yang berlebih dan tidak terpenuhinya kebutuhan listrik dan air. Lapas yang seharusnya dihuni tak lebih dari 1.100 warga binaan, nyatanya ditempati hingga 2.600 napi. Namun perkembangannya, ada masalah lain. Napi protes dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 99 tahun 2012 yang mengatur tentang pembatasan remisi bagi terpidana kasus korupsi, narkoba, dan terorisme. Narapidana kesal karena terbitnya PP ini menyulitkan mereka mendapatkan remisi. Apa sebenarnya kenadala yang dihadapi pemerintah dalam mengatasi overkapasitas penjara? Simak perbincangan penyiar KBR68H Irvan Imamsyah dan Agus Luqman dengan Juru Bicara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham, Akbar Hadi Prabowo dalam program Sarapan Pagi.

Tentang kelebihan kapasitas ini masalah rutin, sudah dibicarakan beberapa tahun lalu tapi sepertinya tidak ada perkembangannya. Apa kendalanya?

Mohon maaf bukannya kita tidak mau dipersalahkan, tapi rasanya kurang adil juga kalau semuanya itu ditimpakan kepada Kementerian Hukum dan HAM. Artinya kita bicara secara fakta ya bahwa memang produk Undang-undang atau aturan itu senantiasa bermuara kepada sanksi pidana penjara. Apalagi produk Undang-undang yang baru-baru ini cukup banyak dan semuanya bermuara pada sanksi pidana. Kemudian juga kita akui kinerja aparat penegak hukum itu luar biasa, luar biasa dalam hal penangkapan, penahanan, dan sebagainya. Didukung lagi adanya budaya masyarakat, budaya masayarakat kita masih budaya penjaraan, menghukum. Sebetulnya ada solusi tidak harus semuanya ditahan di lapas atau rutan, misalnya direhabilitasi atau tahanan kota, tahanan rumah. Tapi karena masyarakat kita masih menganut paham penjaraan, akhirnya kawan-kawan kita yang tergabung dalam penegak hukum juga enggan melakukan untuk pembinaan di luar. Pada akhirnya semakin lama semakin banyak, dalam enam bulan terakhir saja sudah 20 ribu penambahan walaupun ada upaya-upaya kita mempercepat proses pembinaannya diantaranya remisi, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, dan sebagainya. Tetapi nampaknya program-program itu tidak mengurangi dampaknya karena produk Undang-undang kita yang bermuara pada pidana dan sebagainya. Terakhir ini kita membuat suatu terobosan program yang namanya Crash Program atau Pembebasan Bersyarat, terutama kepada narapidana yang tersangkut pidana umum. Kita targetkan melalui PB online ini hingga Agustus mendatang sekitar 16.000 narapidana yang bisa kita berikan Pembebasan Bersyarat.

Tapi itu bisa menjamin masalah kapasitas ini tertanggulangi?

Sekali lagi bahwa pihak Kementerian Hukum dan HAM dalam hal ini Dirjen Lapas adalah pihak yang hanya menampung saja. Seperti halnya di hotel, kalau di hotel misalnya kapasitasnya hanya 100, seandainya ada tamu tidak bisa lagi menerima. Tetapi lain tentu saja sangat berbeda dengan di lapas ataupun di rutan, sepenuh apapun sepanjang kinerja kepolisian, kejaksaan, KPK, dan sebagainya selama menitipkan kepada kita sudah pasti kewajiban kita untuk menerima. Jadi dalam hal ini memang juga harus kita pikir bersama secara komprehensif, over kapasitas ini tidak bisa murni dipersalahkan ke Kementerian Hukum dan HAM. Dukungan masyarakat juga demikian, selama masyarakat masih punya jiwa atau pemahaman pemenjaraan, semua orang yang salah harus dihukum penjara, ada beberapa alternatif hukuman yang diakomodir oleh Undang-undang diantaranya adalah rehabilitasi, kerja sosial, dan sebagainya. Itu mungkin yang juga para hakim enggan memutuskan itu karena nanti dikira ada kongkalikong.

Apakah sempat ada komunikasi dengan Mahkamah Agung kenapa model hukum-hukum semacam itu tidak pernah diterapkan?

Sebetulnya dalam beberapa kesempatan kita juga sudah lakukan diantaranya forum-forum di pusat, kita ada forum namanya Mahkumjakpol. Mahkumjakpol ini bukan berarti kita intervensi dalam masalah teknis pemidanaan tetapi dalam hal administrasi, kita sudah sering sampaikan seperti bagaimana menyampaikan over kapasitas. Upaya-upaya itu sudah kita lakukan baik di pusat maupun di wilayah, kalau di wilayah itu ada forum Dilkumjakpol. Tapi kembali lagi kepada masyarakat juga manakala hakim memutuskan ini rehabilitasi dan sebagainya mungkin melalui LSM atau media seolah-olah kurang setuju dengan putusan yang disampaikan. Ini yang mungkin harus kita lihat secara menyeluruh bahwa tidak serta merta over kapasitas ini menjadi beban Kementerian Hukum dan HAM saja dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasyaratan. 

Sempat ada program penambahan kapasitas ada dana Rp 1 triliun yang digelontorkan pemerintah, kabarnya bagaimana?

Mohon maaf sebelumnya bahwa Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menangani bidang teknisnya saja dalam hal pembinaan narapidana dan tahanan. Jadi dalam hal pembangunan dan sebagainya itu kurang begitu menguasai karena itu wilayah Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum dan HAM. Tapi perlu dipahami seperti halnya jalan, selama infrastruktur itu dibuat tetapi daya beli masyarakat masih kuat dan pengadaan mobilnya, itu tidak cukup mengimbangi. Ini proses pembinaan yang harus dilalui kalau kita masih menggunakan sistem kemasyarakat, beda kalau kita menggunakan sistem kepenjaraan. Kalau kepenjaraan ya mungkin tidak ada proses seperti itu, tidak ada mensosialisasikan pidana ini ke masyarakat. Kita sekarang ini sejak tahun 1968 sudah menggunakan sistem pemasyarakatan, sudah menghilangkan sistem kepenjaraan. Kalau kita menggunakan sistem kepenjaraan ya oke mungkin itu tidak bisa ditolerir tapi masyarakat juga harus paham bahwa sekarang ini yang kita gunakan adalah sistem pemasyarakatan, ada proses pembinaan yang harus dilalui diantaranya adalah pembinaan di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu proses pembinaan di masyarakat ada juga resistensi dari masyarakat untuk tidak menerima program-program seperti itu.

Adakah target untuk menambah kapasitas?

Kalau pembangunan itu perlu proses. Artinya perlu waktu, tidak serta merta bahwa pembangunan lapas itu satu tahun ini selesai. Karena memang dari sisi struktur bangunannya beda dengan bangunan pada umumnya dan spesifikasi bangunan sangat berbeda dengan bangunan lain. Jadi proses pembangunan lapas tidak semudah membangun apartemen atau membangun perumahan biasa. Sehingga rata-rata pembangunan lapas itu selesai dalam waktu paling cepat itu dua tahun. Sekarang ini terus berlangsung, ada beberapa lapas yang kita bangun. Mengingat begitu besarnya volume kerja, perlu kami juga mohon dukungan dari masyarakat ataupun pemerintah pusat, dengan adanya over kapasitas ini perlu kiranya dipertimbangkan juga HAM-nya petugas. Artinya kerawanan-kerawanan yang timbul diakibatkan over kapasitas ini juga berpengaruh pada kejiwaan petugas juga. Seperti kemarin dalam tugas kawan kita meninggal, artinya juga perlu dipikirkan kesejahteraan petugas, kemudian asuransi. Sekarang ini mayoritas lapas dan rutan over kapasitas sehingga sangat rentang terjadi kerusuhan, hanya sedikit saja persoalan resikonya besar. Jadi mohon dukungannya, jangan hanya melihat kinerjanya saja tapi lihat dulu sarana prasarana, SDM, kemampuan kapasitas seperti apa ini mohon kiranya bisa dipahami dan dimaklumi.  

           

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!