NASIONAL
Kasus Dugaan Pemerkosaan oleh Polisi, RUU KUHAP Harus Hapuskan Tahanan di Kantor Kepolisian
“Seharusnya sesuai dengan prinsip HAM untuk mencegah penyiksaan, penahanan di kantor kepolisian harus dihapuskan,” ucapnya.

KBR, Jakarta – Kasus kekerasan terhadap tahanan di kantor polisi kembali terjadi, kali ini salah seorang anggota polisi berinisial LC diduga memerkosa tahanan wanita berinisial PW di ruang tahanan Markas Kepolisian Resor (Mapolres) Pacitan, Jawa Timur.
LC yang merupakan Pejabat Sementara (Ps) Kepala Satuan Perawatan Tahanan dan Barang Bukti (Kasat Tahti) di Mapolres Pacitan diduga memerkosa korban secara berturut pada Jumat (4/4/2025) hingga Minggu (6/4/2025).
Korban PW adalah tahanan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) asal Jawa Tengah. PW ditangkap karena diduga sebagai muncikari. Ia diduga memperdagangkan anak di bawah umur di salah satu hotel di Kabupaten Pacitan.
Terduga pelaku kini resmi ditahan di Markas Kepolisian Daerah Jawa Timur (Mapolda Jatim). Kabid Humas Polda Jatim, Jules Abraham Abast menyampaikan LC mengatakan pihaknya telah memproses kasus tersebut dan diilakukan penahanan dalam tempat khusus terhadap terduga pelaku.
Kata dia, secepatnya bakal dilakukan sidang etik untuk terduga pelaku, “Secepatnya akan disidangkan oleh Propam Polda Jawa Timur serta yang bersangkutan dapat dikenakan ancaman pemberhentian dengan tidak hormat maupun sanksi hukum lainnnya,” ucapnya.
Dikutuk Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengutuk keras perbuatan tidak pidana yang diduga dilakukan anggota Polres Pacitan tersebut.
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Eksekutif ICJR, Maidina Rahmawati mengatakan terjadinya kembali kekerasan terhadap tahanan yang dilakukan kepolisian mesti jadi momentum untuk dilakukan penghapusan penahanan di kantor polisi.
Hal ini sejalan dengan amanat yang tertera dalam komentar umum Pasal 9 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) tentang hak atas kebebasan, di paragraf 36 menjelaskan bahwa penahanan sebagai bentuk tindak lanjut dari kebutuhan membatasi kemerdekaan seseorang tersangka yang dituduh melakukan tindak pidana, harus tidak dilakukan di kantor kepolisian.
ICJR menilai ketika penahanan dilakukan di kantor polisi, kontrol penuh terhadap tersangka ada di tangan penyidik dengan kepentingan penegakan hukum, memperoleh bukti untuk memperkuat perkaranya. Dalam kondisi seperti itu, tidak dapat dipungkiri kekerasan yang dilakukan secara verbal dalam bentuk intimidasi hingga fisik, sangat rentan terjadi.
Itu sebab, pihaknya menyatakan tahanan harus ditempatkan pada fasiltas yang berbeda otoritas dari kepolisian, untuk memastikan hak tahanan tidak terlanggar termasuk di dalamnya mencegah terjadinya penyiksaan. Otoritas yang berbeda tersebut di Indonesia yaitu Rumah Tahanan Negara (Rutan) yang dikelola berbeda dari Kepolisian, yaitu oleh Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenimipas).
“Prinsipnya bilang yang melakukan perawatan tahanan itu harus berbeda dengan yang punya kepentingan penegakkan hukum, yang memutus kebutuhan untuk melakukan penahanan itu prinsip biar pemeriksaan penahanannya itu ditujukan spesifik untuk alasan penahanan, mencegah kabur mencegah menghilangkan barang bukti, merusak barang bukti dan mencegah untuk melakukan tindak pidana. Kalau misalnya polisi juga yang memonopoli yang terjadi seperti sekarang ini sampai di level melakukan kekerasan seksual,” jelasnya kepada KBR, Senin (21/4/2025).
Dia paham jika alasan penempatan tahanan di kantor polisi karena terbatasnya jumlah rumah tahanan yang dikelola Kemenimipas baik kabupaten/kota.
“Tapi ini tidak menjadi justifikasi untuk melanggar prinsip bahwa yang harus menyelenggarakan atau yang menyediakan tempatnya tetap harus Kemenimipas,” tuturnya.
Baca juga:
- Prabowo Saat Rapim TNI-Polri: Jangan Arogan, Pangkat dari Rakyat
Momentum Revisi UU KUHAP
Terlebih Indonesia telah meratikasi ICCPR melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Selain itu, Penjelasan Pasal 20 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku saat ini juga mengamini bahwa tahanan di kantor kepolisian hanya bersifat sementara, karena sifatnya sementara untuk keperluan pemeriksaan, maka ruangan-ruangan ini seharusnya diperuntukkan hanya sebagai tempat transit dan bukan sebagai tempat penahanan yang permanen.
Sayangnya, lanjut dia, dalam Pasal 100 RUU KUHAP 2025 justru belum ada upaya menghapuskan tahanan di kantor kepolisian. Penjelasan Pasal 100 RUU KUHAP 2025 masih menjelaskan bahwa penahanan dapat dilakukan pada kantor kepolisian.
“Seharusnya sesuai dengan prinsip HAM untuk mencegah penyiksaan, penahanan di kantor kepolisian harus dihapuskan,” ucapnya.
Pada dasarnya, kata dia, penghapusan penahanan ini bukan saja yang ditempatkan di kantor polisi, namun juga kantor aparat penegak hukum lainnya tetapi kasus kekerasan terkait tahanan banyak terjadi di kantor polisi.
“Kasusnya yang banyak terjadi di kantor kepolisian karena yang paling awal ketemu tersangka adalah kepolisian, banyak dilaporkan (kekerasan) di kantor-kantor kepolisian,” ujarnya.
Baca juga:
- Polisi Jangan Lagi Dibekali Senjata Api!
ICJR mencermati kasus kekerasan seksual yang dilakukan anggota polisi terhadap tahanan bukan kali ini saja terjadi. Pada September 2024 lalu, Pengadilan Negeri Makassar memutus bersalah Briptu Sanjaya atas perbuatan memaksa tahanan perempuan untuk melakukan oral seks.
Lanjutnya, kekerasan oleh polisi bahkan juga menimpa keluarga tahanan. Pada Oktober 2021, dua Polisi memperkosa istri tahanan di Polsek Kutalimbaru Deli Serdang, dan seorang polisi memperkosa istri tahanan hingga hamil di Polres Lahat pada Desember 2021.
Pada peringatan hari anti penyiksaan 2024, Komnas Perempuan mencatat bahwa Komnas Perempuan menerima pengaduan Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di ranah negara sebanyak 308 kasus, 106 kasus diantaranya terkait dengan Perempuan Berkonflik dengan Hukum (PBH), diantaranya 15 kasus mengalami penyiksaan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia dalam proses penyidikan, dalam bentuk penelanjangan, pemerkosaan untuk memaksa, menekan, mengintimidasi bahkan menyiksa agar perempuan memberikan keterangan yang diinginkan penyidik.
Sebelumnya, dalam penelitian Perempuan Bersuara pada 2016 lalu juga dilaporkan, dari 730 perempuan pengguna narkotika yang disurvei, menyatakan bahwa 60 persen pernah berinteraksi dengan kepolisian, dari angka tersebut 27 persen mengalami kekerasan fisik, dan 5 persen bahkan mengalami kekerasan seksual oleh polisi.
Dorongan Kompolnas
Komisioner Komisi kepolisian Nasional (Kompolnas) Choirul Anam mengatakan bila tahanan di tempatkan di Rutan yang dikelola Kemenimipas justru akan membuat proses hukum terhadap tahanan jadi tak efektif karena khawatir jadi bertele-tele akibat birokrasi.
Menurut dia sistem penahanan sejauh ini sudah cukup baik hanya saja memang perlu ada pengawasan agar tidak terjadi kekerasan termasuk oleh anggota polisi sendiri.
“Yang paling penting itu soal pengawasan personel ya sistemnya menurut saya sudah maksimal, pengawasan terhadap personel ini menjadi sangat penting kalau ditaruh di Imipas saya kira malah nambah soal, karena ini tahap awal penegakkan hukum, efektivitas dan lain sebagainya jadi sangat penting karena waktunya sangat terbatas kalau menambah birokrasi malah merugikan siapapun yang ditahan atau jadi tersangka,” tuturnya kepada KBR, Senin (21/4/2025).
Terkait dengan dugaan kasus pemerkosaan tahanan yang dilakukan LC, pihaknya meminta agar sanksi yang diberikan tidak hanya sanksi etik berupa pemecatan namun perlu diberi sanksi pidana agar kejadian serupa tak kembali terjadi.
“Bagi kami Ini tidak cukup dengan kode etik kalau terbukti tindak pidananya ada, pemerkosaan tersebut, dan ini problem serius karena memang di bawah kewenangan kepolisian orang yang ditahan terus mendapat kejahatan kayak begitu sehingga tidak cukup dengan etik tapi juga harus pidana,” ucapnya.
Baca juga:
- Revisi UU Polri: Kekhawatiran Jika Kewenangan Polisi Bertambah
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!