NASIONAL

Jumlah Anggota Wantimpres dan Kementerian Tak Dibatasi, Waspada Anggaran Membengkak

Bisa dimanfaatkan untuk mengakomodir kepentingan politik dan bisa membengkakkan anggaran.

AUTHOR / Fadli Gaper

EDITOR / Resky Novianto

Jumlah Anggota Wantimpres dan Kementerian Tak Dibatasi, Waspada Anggaran Membengkak
Ilustrasi. (Foto: ANTARA/Bayu Pratama)

KBR, Jakarta – Rancangan Undang-Undang Perubahan Dewan Pertimbangan Presiden (RUU Wantimpres) dan RUU Kementerian Negara (RUU Kementerian) telah disetujui dalam pembahasan tingkat I, untuk disahkan menjadi undang-undang dalam sidang atau rapat paripurna DPR.

Diketahui, Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama pemerintah menyetujui melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Pembahasan RUU Wantimpres dilanjutkan pada keputusan Tingkat II dalam rapat paripurna DPR guna disahkan menjadi undang-undang.

Persetujuan tersebut diambil dalam Rapat Pleno pengambilan keputusan Tingkat I atas RUU Wantimpres di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. 

"Apakah hasil pembahasan RUU tentang Wantimpres dapat diproses lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan?” ujar Ketua Baleg DPR Wihadi Wiyanto yang memimpin jalannya rapat, seperti dilansir Antaranews.com, pada Selasa, (10/9/2024).

Terkait hal itu, The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) mewaspadai, ketentuan terkait jumlah anggota Wantimpres dan jumlah Kementerian yang tidak dibatasi tetap lolos untuk disahkan. Ini jelas, lepas dari kritik yang sudah disampaikan publik.

Menurut Peneliti bidang Hukum di TII, Christina Clarissa Intania, baik DPR dan pihak pemerintah tidak mengakomodir masukan ahli maupun masyarakat umum terkait ketentuan jumlah anggota Wantimpres dan Kementerian.

”Sudah banyak sekali yang mengingatkan bahwa perubahan ketentuan jumlah anggota Wantimpres dan Kementerian tidak memiliki urgensi. Selain itu, dengan kemungkinan bertambahnya jumlah anggota Wantimpres dan Kementerian, maka bisa dimanfaatkan untuk mengakomodir kepentingan politik dan bisa membengkakkan anggaran. Jika ada penambahan, justru negara akan menjadi imbas rumitnya birokrasi yang juga akan memengaruhi kinerja pelayanan publik. Hal ini yang harus dirumuskan kembali mengingat koordinasi yang semakin memakan waktu. Korbannya adalah kebijakan yang berkualitas, inklusif, dan kesejahteraan masyarakat luas,” ujar Christina dalam keterangan tertulis yang dikirimkan ke KBR Media (11/9/2024).

Christina melanjutkan, perubahan ketentuan jumlah yang dilandasi alasan mau menguatkan kembali sistem presidensil yang melemah sejak Reformasi 1998 itu kurang tepat.

"Hal ini karena sebelum Reformasi, pengaruh presiden terlalu kuat sehingga check and balances harus ditegakkan kembali. Berkurangnya kekuatan presiden di masa Reformasi bukanlah hal buruk. Saat ini pun tidak bisa sepenuhnya dibilang lemah karena presiden masih bisa mengakses kewenangan legislasi untuk menerbitkan peraturan pengganti undang-undang dan peraturan presiden. Jadi, jika sistem presidensil saat ini dibilang lemah juga kurang tepat dan menebalkan cabang eksekutif jelas bukan jawabannya,” tegas Christina.

Christina juga menyebut, masih ada waktu untuk masyarakat bisa menyuarakan isu ketentuan jumlah anggota Wantimpres dan Kementerian sebelum RUU-RUU ini disahkan di sidang paripurna.

"Mengingat kinerja legislasi DPR dan polemik proses legislasi di DPR dan politik legal selama ini, serta gerakan rakyat melawan manipulasi demokrasi, DPR juga harus mempertimbangkan ulang potensi kerugian-kerugian yang bisa disebabkan dari ketentuan jumlah ini. Jika disahkan, menjadi tanggung jawab presiden di periode selanjutnya untuk tidak menyalahgunakan dan sewenang-wenang memanfaatkan ketentuan ini. Implementasi RUU-RUU ini akan tetap dikawal oleh masyarakat luas,” tuturnya.

Alih-alih memprioritaskan RUU dengan ketentuan perubahan yang tidak memiliki urgensi, kata Christina, lebih baik memprioritaskan RUU yang memang dibutuhkan orang banyak.

"RUU yang seharusnya menjadi prioritas saat ini di antaranya RUU Masyarakat Adat, RUU Kerukunan Umat Beragama, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Perampasan Aset. Isu korupsi, kesenjangan dalam masyarakat, intoleransi, dan pemenuhan hak dasar telah menjadi isu yang berlarut-larut di negara ini dan seharusnya ini yang menjadi sorotan DPR,” tutup Christina.

Baca juga:


Wantimpres Mau Dikembalikan Jadi DPA, Ahli Hukum: Gagasan untuk Memuaskan Syahwat Politik


Ditanya Soal RUU Wantimpres, Jokowi: Tanya DPR


Paripurna DPR Setujui Revisi UU Wantimpres

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!