HEADLINE

Jokowi Cabut 2.078 IUP, JATAM: Tak Usah Dibanggakan

Pencabutan IUP tidak menyelesaikan masalah tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tambang.

AUTHOR / Astri Yuanasari

Cabut 2.078 IUP, JATAM: Tak Usah Dibanggakan
Melky Nahar. (Foto: JATAM.org)

KBR, Jakarta - Presiden Joko Widodo telah mencabut lebih dari 2.000 izin usaha pertambangan (IUP) serta sektor kehutanan. Izin perusahaan pertambangan mineral dan batu bara (Minerba) yang dicabut pemerintah itu dilakukan karena perusahaan tidak pernah menyampaikan rencana terkait penggunaan lahan.

Ketika itu, Jokowi mengatakan, pencabutan izin ribuan perusahaan tambang dilakukan lantaran tidak adanya penyampaian rencana kerja. Selain itu, kata dia, izin pertambangan dan penggunaan lahan negara terus dievaluasi secara menyeluruh.

"Hari ini sebanyak 2.078 izin perusahaan penambangan Minerba kita cabut. Izin yang sudah bertahun-tahun telah diberikan, tetapi tidak dikerjakan. Dan ini menyebabkan tersanderanya pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat," ujar Jokowi dalam siaran kanal YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (6/1/2022).

Mengomentari langkah Pemerintah itu, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai, tidak ada yang perlu dibanggakan dari keputusan Presiden Jokowi tersebut.

Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar mengatakan, pencabutan IUP tidak menyelesaikan masalah tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tambang.

Berikut wawancara jurnalis KBR Astri Yuana Sari bersama Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar:

Jokowi mencabut 2000 izin usaha pertambangan, bagaimana tanggapan JATAM?

Ya, kalau terkait pencabutan izin kemarin itu kalau kita lihat itu kan maksudnya bukan kepada praktik tindak kejahatan lingkungan atau kemanusiaan yang dilakukan oleh perusahaan, tapi lebih ke soal perencanaan kerja yang tidak jelas atau tidak dilaporkan atau soal konsesi tambangnya yang terlantarkan. Dalam artian tidak ada aktivitas pertambangan jadi ini pure begitu tidak ada urusannya dengan persoalan yang dialami oleh masyarakat di lingkar tambang, yang ruang hidupnya itu sudah lama dihancurkan oleh korporasi tambang itu sendiri. Jadi itu, satu. 

Lalu yang kedua adalah, kalau Jokowi berpihak kepada tata kelola sumber daya alam yang adil, yang kemudian bisa membuat warga sejahtera ya mestinya justru ruang hidup warga itu yang dilindungi. Bukannya ruang produksi warga malah dialih-fungsikan untuk konsesi tambang. Misalnya untuk industri sawit, untuk industri hutan atau kertas misalnya. Jadi itu problem berikutnya yang menurut kami tidak ada dalam pikiran seorang Presiden Jokowi. Jadi kemarin murni kepentingannya untuk bisnis kalau lahannya ditelantarkan, tidak ada laporan kerja atau segala macam, ini sama halnya dengan ayo kau harus segera beraktivitas gitu. Kau harus segera lakukan kewajiban-kewajiban administrasi gitu kan, sehingga ujungnya akan berproduksi jadi tidak ada hubungannya dengan urusan warga yang telah lama menolak atau telah lama bersuara terkait dengan penolakan tambang itu sendiri.

Kalau selama ini memang lahan-lahan perusahaan tambang ini banyak yang terbengkalai ya?

Persis memang banyak kalau kita lihat itu kan ada perusahaan yang dari konteks izinnya izin usaha pertambangannya dia aktif, tetapi di lapangan kan dia tidak beraktivitas. Jadi dia hanya menguasai lahan itu. Apalagi dia tidak akan mungkin menyerahkan rencana kerjanya seperti apa, makanya kemudian tidak heran diterlantarkan toh? Nah itu yang harus diperbaiki oleh Presiden melalui kebijakan yang kemarin itu kan, bahwasanya ini karena perusahaannya sudah tidak melakukan aktivitas, dalam artian lahannya diterlantarkan, kemudian tidak menjalankan laporan perencanaan kerja ke pemerintah, lalu kemudian izin dicabut begitu ya. Padahal kalau Jokowi serius yang mestinya diurus itu ya soal tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan oleh perusahaan, seperti yang dilakukan perusahaan Menko Marinvest Luhut Binsar Pandjaitan di Kalimantan Timur yang diduga mengambrukan rumah-rumah warga, karena aktivitas tambangnya atau ada hal yang merampas tanah-tanah warga. 

Di Kalimantan Selatan atau perusahaan-perusahaan Prabowo yang bergerak di sawit dan kehutanan di Kalimantan Timur yang merampas tanah adat warga juga. Nah yang gitu-gitu mestinya yang perlu dievaluasi dan yang perlu didorong ke penegakan hukum untuk kemudian izinnya dicabut.

Kalau dari JATAM sendiri ada semacam dorongan enggak sih bahwa lahan ini harus dikembalikan ke rakyat atau seperti apa dorongannya?

Nah persis, karena itu yang jadi pertanyaannya sekarang, kira-kira ketika ini izinnya dicabut maka konsesi tambang yang dimiliki perusahaan itu diapakan mau dikemanakan? Apakah diambil-alih oleh Negara dalam hal ini pemerintah tapi dugaan kami jangan-jangan izin-izin ini dicabut oleh perusahaan yang tidak beraktivitas yang menelantarkan lahan ini, tapi kemudian supaya membuka ruang bagi perusahaan-perusahaan lain sehingga bisa masuk, untuk birokrasi jadi konteksnya, lebih kepada bagaimana supaya perusahaan itu terus didorong untuk segera beraktivitas kira-kira begitu ya, dengan dia mulai beraktifitas kan artinya kerusakan mulai terjadi juga kan itu yang menjadi pertanyaan banyak orang juga kan? Lahannya mau diapakan? 

Nah dugaan kami rencana Presiden ini ia ingin membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan lain untuk kalau bisa harus serius dalam mengelola sumber daya alam, atau yang kedua misalnya, dia ingin "memaksa" dalam tanda kutip perusahaan untuk ayo segera beraktivitas sehingga perusahaan yang izinnya dicabut itu dia bisa kembali mengurus izinnya untuk melakukan operasi di wilayah yang sama. Karena pasti kan ada persaingan setelah itu toh ketika izinnya dicabut.

Baca juga:

Jatam: UU Minerba Hasil Revisi Mempercepat Kerusakan Lingkungan

Jatam: RUU Omnibus Law Bisa Pupus Perjuangan Pegiat Lingkungan

Editor: Fadli Gaper

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!