NASIONAL
Johan Budi: DPR, Pejabat, Swasta, Semua Ngeri dengan RUU Perampasan Aset
Termasuk swasta ya. Orang yang diduga ngemplang pajak saja, ini di RUU Perampasan Asst bisa dikejar oleh penegak hukum.
AUTHOR / Hoirunnisa
-
EDITOR / R. Fadli
KBR, Jakarta - Bekas juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi KPK Johan Budi optimistis, DPR bersama Pemerintah akan membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang RUU Perampasan Aset.
Apalagi, menurut Johan Budi, saat pidato pelantikannya 20 Oktober lalu, Presiden Prabowo Subianto menyebut banyak kebocoran dan penyelewengan anggaran, serta korupsi dan kolusi yang menghantui masa depan Indonesia.
Di lain pihak, Ketua DPR Puan Maharani sudah menyatakan, RUU Perampasan Aset akan dibahas Dewan periode saat ini.
"Siapa sih yang takut (dengan) UU Perampasan Aset? Saya kira tidak hanya anggota DPR, tapi juga pejabat dari atas sampai bawah ini ngeri juga kalau lihat UU Perampasan Aset ini. Termasuk swasta ya. Orang yang diduga ngemplang pajak saja, ini di RUU Perampasan Asst bisa dikejar oleh penegak hukum tanpa harus melalui proses pengadilan yang panjang, kemudian harus menunggu sampai keputusan itu inkrah (berkekuatan hukum tetap - red)," ujar bekas Anggota Komisi Hukum dan HAM Johan Budi saat Diskusi Publik Urgensi dan Nasib RUU Perampasan Aset terkait dengan Tindak Pidana, Rabu (23/10/2024).
Bekas juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi KPK Johan Budi juga mengingatkan, nantinya penerapan RUU Perampasan Asset sangat membutuhkan aparat penegak hukum yang berintegritas.
Jangan sampai, aparat penegak hukumnya "nakal" dengan malah menjadikan asset-asset terduga pelaku korupsi sebagai "mesin uang" untuk diselewengkan.
Hingga kini, RUU Perampasan Asset sudah mangkrak di DPR selama 16 tahun sejak naskahnya pertama kali disusun. Saat ini, RUU Perampasan Asset masuk di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR periode 2024-2029.
Minim, Pengembalian Hasil Korupsi
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan, hanya 22 persen aset negara yang di kembalikan dari hasil tindak pidana korupsi setiap tahunnya.
Peneliti ICW, Diky Anandya menyebut, jika diakumulasi, kerugian negara yang terjadi dari perkara korupsi sejak 2015 hingga 2023 sebesar Rp279,2 triliun.
"Celakanya rata-rata pengembalian aset hasil kejahatan. Baik itu yang dilakukan misalnya oleh penuntut umum Kejaksaan Agung maupun satuan kerja kejaksaan dibawahnya, juga KPK itu hanya 22 persen setiap tahunnya," ujar Diky pada acara diskusi yang sama.
Diky mencontohkan, kerugian negara terbesar terjadi pada 2021 sebanyak Rp62,9 triliun, namun yang dikembalikan hanya Rp1,4 triliun.
Menurut Diky, hal ini terjadi karena pendekatan sistem penghukuman melalui perampasan aset hasil korupsi belum jadi prioritas utama.
"Baik itu oleh penegak hukum maupun oleh pembuat kebijakan," kata Diky.
Dalam hasil kajian ICW, dari sekitar 1.700 vonis terdakwa tindak pidana korupsi, hanya 17 terdakwa yang dituntut menggunakan pasal pencucian uang.
Kata dia, hal ini memperlihatkan minimnya kemampuan dari Aparat Penegak Hukum menggunakan regulasi yang ada.
Dengan begitu, besar harapan untuk mempercepat pembahasan RUU perampasan aset yang merupakan regulasi usulan dari pemerintah.
Kata Diky, sayangnya kemauan pemerintah yang cenderung minim dibanding dengan pembahasan RUU inisiatif pemerintah lainnya.
Baca juga:
RUU Perampasan Aset, Puan: Tunggu Pergantian Periode DPR
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!