NASIONAL

Jelang 100 Hari Pemerintahan Prabowo: Dari Tebalnya Impunitas hingga Pembatasan Ruang Sipil

Pemerintahan Prabowo Subianto akan genap berusia 100 hari pada 28 Januari 2025. Ini dihitung dari pelantikan Prabowo sebagai presiden pada 20 Oktober 2024.

AUTHOR / Astri Septiani, Heru Haetami

EDITOR / Agus Luqman

Jelang 100 Hari Pemerintahan Prabowo: Dari Tebalnya Impunitas hingga Pembatasan Ruang Sipil
Presiden Prabowo Subianto dalam acara Munas KADIN Indonesia di Jakarta, Kamis (16/1/2025). (Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra)

KBR, Jakarta - Pemerintahan Prabowo Subianto akan genap berusia 100 hari pada 28 Januari 2025. Ini dihitung dari pelantikan Prabowo sebagai presiden pada 20 Oktober 2024.

Selama memerintah, Prabowo kerap menyuarakan keinginannya untuk menyejahterakan rakyat hingga mengurangi kemiskinan.

"Ada kadang-kadang salah pengertian ya kami selesaikan, kami perbaiki. Niatnya adalah bawa kemajuan kesejahteraan rakyat kita," kata Prabowo di PLTA Jatigede, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, Senin (20/1/2025).

Baca:

Namun, menjelang 100 hari pertama pemerintahan Prabowo, banyak sorotan dan penilaian buruk terhadap kinerja lain, khususnya di bidang penegakan hukum dan jaminan perlindungan hak asasi manusia.

Impunitas

LSM hak asasi manusia KONTRAS menyebut di 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto, fenomena impunitas semakin tebal.

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas LSM KONTRAS, Jane Rosalin mengatakan, selain tidak adanya komitmen penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia, ada juga sejumlah pernyataan kontroversial yang dikeluarkan oleh pejabat di pemerintahan Prabowo.

"Kita telah mendokumentasikan, bahwa di dalam pemerintahan Prabowo, yang pertama kali nampak jelas adalah terkait dengan pemutihan kasus pelanggaran hak asasi manusia. Ini ditunjukkan adanya pernyataan kontroversial dari Yusril Ihza Mahendra yang menjabat Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi serta Pemasyarakatan Indonesia," kata Jane dalam konferensi pers, Selasa (21/1/2025).

Jane menyoroti pernyataan Yusril menjawab wartawan, bahwa kasus 1998 bukan kasus pelanggaran HAM berat karena tidak ada genosida atau pembersihan etnis.

Menurut Jane, pernyataannya Yusril merupakan bentuk pemutihan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Yusril Ihza Mahendra menyatakan peristiwa Mei bukanlah pelanggaran berat hak asasi manusia, sebab dia tidak terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, dan hanya terjadi pada masa kolonial. Padahal kita tahu, kasus Mei 1998 itu sudah ditetapkan oleh Komnas HAM sebagai bagian dari kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang seharusnya dilanjutkan oleh Jaksa Agung ke tingkat penyidikan," katanya.

Aktivis LSM KONTRAS Jane Rosalin menyebut pernyataan kontroversial Yusril itu menambah daftar pejabat problematik dalam kabinet Prabowo-Gibran.

"Selain dia menyakiti ataupun mengangkangi hak-hak dan martabat korban yang hari ini masih mencari keadilan, juga ini adalah bentuk pemutihan karena bertentangan dengan proses penyelesaian yang sudah dimandatkan oleh Undang-Undang 26 2000 lewat Undang-Undang Pengadilan HAM. Padahal kita melihat di pasal 8 dan pasal 9 Undang-Undang Pengadilan HAM itu selain genosida bentuk pelanggaran beratnya adalah kejahatan kemanusiaan," kata Jane Rosalin

Baca juga:


Pembatasan kebebasan sipil

Selain menguatnya impunitas, ada juga sorotan terhadap ancaman kebebasan sipil.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut di 100 hari kerja pemerintahan Prabowo Subianto terjadi sejumlah peristiwa yang membatasi dan mengancam kebebasan sipil.

Menurutnya, situasi ini harus dibaca sebagai alarm bahaya yang sangat kuat.

"Pertama, ada pembubaran Jalsah Salanah Ahmadiyah, padahal sudah bertahun-tahun aman. Berdatang 15 ribu orang ke Kuningan, sudah mau siap pelaksanaan, tapi polisi tutup jalan, tutup kampung. Padahal tiap tahun aman tuh. Ini ada gejala apa? Besoknya di tempat yang sama di Kuningan, mau ada diskusi lintas agama, malah digeruduk lagi, dibatalkan," kata Isnur di Jakarta, Selasa, (21/1/2025).

Menurut Isnur, di era pemerintahan Prabowo, pembatasan ruang ekspresi kelompok minoritas makin terasa, dan ruang kebebasan terancam semakin sempit.

Isnur mengatakan semestinya pemerintahan Prabowo memperbaiki apa yang kurang di era pemerintahan sebelumnya.

Isnur juga menyoroti bangkitnya ormas-ormas yang merepresi hak-hak berdemokrasi warga sipil.

"Termasuk penggunaan ormas-ormas dengan segala, tanda kutip, seragam dan wajahnya yang mengancam ruang demokrasi. Karena sekarang polanya demonstrasi dihadapi oleh ormas. Dan ormas-ormas itu mulai, tanda kutip, mulai ribut antar-ormas, ya kan. Berarti apa? Ada konstelasi peningkatan kekuasaan ekonomi dan politik antarormas. Dan mulai mengancam," katanya.

Isnur menyebut situasi ini diperparah dengan tidak adanya kontrol atau kekuatan penyeimbang dari partai politik di parlemen.

"Ada tuh harapan, 'wah ayo dong, jadi oposisi, kritik dong'. Nggak, nggak bisa (nggak ada oposisi). Ternyata sesuai dengan teorinya. Lagi-lagi masyarakat sipil diharapkan, menjadi agen yang memang benar-benar kritis dan tidak takut bersuara. Ternyata tantangannya benar semakin berat," kata Isnur.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!