NASIONAL
Januari 2025 Tercatat Deflasi, Apa Kabar Daya Beli?
Selama kondisi ini tidak ada intervensi yang mencukupi atau bahkan malah dibebani akan terus seperti ini, karena kelas tengah yang mengalami penurunan jumlahnya sangat signifikan diatas 50 persen.

KBR, Jakarta- Ekonomi Indonesia pada 2024 tumbuh sebesar 5,03 persen secara tahunan (year on year), melambat tipis dibandingkan 2023.
Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap perlambatan ini adalah konsumsi rumah tangga, tidak mencapai 5 persen, atau hanya tumbuh 4,98 persen. Padahal, rumah tangga menyumbang 50 persen lebih Produk Domestik Bruto (PDB).
Plt Kepala Badan Pusat Statistik BPS, Amalia Adininggar Widyasanti mencatat, sektor produksi yang menopang pertumbuhan ekonomi tahun lalu adalah industri pengolahan, konstruksi, dan perdagangan.
"Komponen pengeluaran yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB adalah konsumsi rumah tangga dengan kontribusi sebesar 53,71 persen dan tumbuh sebesar 4,98 persen. Selanjutnya disusul oleh PMTB yang memberikan kontribusi sebesar 30,12 persen dan pertumbuhannya sebesar 5,03 persen," kata Amalia saat konferensi pers daring, Rabu, (5/2/2025).
Amalia juga mencatat deflasi 0,76 persen pada Januari 2025. Kata dia, ini merupakan penurunan terdalam sejak Agustus 1999.
Deflasi terjadi di tengah kebijakan pemerintah yang memberikan diskon tarif listrik, hingga kenaikan harga BBM nonsubsidi.
Sebagai contoh di waktu terdekat, deflasi lima bulan beruntun terjadi pada 2024. Pada Mei 2024 deflasi sebesar 0,03 persen. Lalu, semakin dalam di Juni 2024 menyentuh 0,08 persen dan tak lebih baik pada Juli 2024 yang menembus 0,18 persen.
BPS mencatat deflasi mulai membaik pada Agustus 2024, yakni 0,03 persen. Namun kembali merosot September 2024, hanya 0,12 persen secara bulanan.
Tanggapan Komisi XI DPR
Meski begitu, kalangan DPR optimistis pemerintah mampu mencapai target ekonomi 8 persen, lewat fokus swasembada pangan dan energi.
Menurut Wakil Ketua Komisi XI yang membidangi Keuangan di DPR, Mohamad Hekal Bawazier, target bisa dikejar lewat efisiensi anggaran dan realokasi dana yang berdampak ke masyarakat.
"Supaya nanti kalau kita ada UMKM itu bisa hidup semua dengan dana-dana yang dihemat. Dihemat, didistribusikan. Kalau kita bicara makan bergizi gratis Itulah salah satu andalan kita supaya uang berputar. Kemudian membangun rumah, pernah dihitung nggak kalau membangun rumah kita bisa galakkan itu bisa menggerakkan perekonomian seperti apa? Hari ini kontribusi Perumahan kepada GDP aja kira-kira 15-16 persen. Itu masih bangun biasa-biasa aja," kata Hekal, Rabu (5/2/2025).
Mohamad Hekal menambahkan, peningkatan produktivitas dalam negeri harus menjadi prioritas guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan.
Reaksi Kalangan Asosiasi UMKM
Di lain pihak, Asosiasi Industri UMKM Indonesia (Akumandiri) menyoroti kondisi daya beli masyarakat yang melemah.
Ketua Akumandiri, Hermawati Setyorinny, mengatakan konsumsi rumah tangga merosot 5 persen, berkontribusi pada penurunan pendapatan pelaku UMKM.
"Disini negara justru harus berpihak dengan produk UMKM. Misalnya dengan produk impor yang masuk saya harap pemerintah membatasi secara ketat. Disamping itu kesulitan UMKM adalah ongkos produksi yang semakin tinggi," ujar Hermawati kepada KBR, Rabu (5/2/2025).
Hermawati juga menekankan pentingnya sosialisasi kebijakan pemerintah kepada pelaku usaha serta kemudahan akses permodalan, untuk mencegah UMKM terjerat pinjol.
Keluhan Serikat Buruh/Pekerja
Sementara itu, Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) menilai penurunan daya beli buruh belum pulih sejak pandemi Covid-19.
Presiden ASPIRASI Mirah Sumirat mengatakan, kondisi ini diperparah oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal sepanjang tahun lalu.
"Banyak kawan-kawan kelas menengah ini yang kemudian ter-PHK sehingga kemudian sudah upahnya rendah, dia ter-PHK lalu kemudian harga pangan tinggi, harga pangan sembako tinggi sehingga mengakibatkan makin memperkuat daya beli masyarakat dan khususnya para pekerja buruh itu sangat rendah. Yang paling berkontribusi paling besar adalah karena PHK massal itu," kata Mirah kepada KBR, Rabu (5/2/2025).
Mirah mengaku pesimistis terhadap kebijakan pemerintah Prabowo dalam upaya mendongkrak daya beli masyarakat yang melemah.
Itu sebab, ia mendorong pemerintah untuk menekan harga pangan serta mengendalikan stabilitas harga agar masyarakat memiliki akses terhadap kebutuhan pokok dengan harga terjangkau.
Pandangan Ekonom
Kondisi deflasi bulan lalu, disorot Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia.
Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal menilai daya beli masyarakat lemah, khususnya di kelas menengah. Menurutnya, pemulihan ini tidak merata di semua kelompok ekonomi.
"Selama kondisi ini tidak ada intervensi yang mencukupi atau bahkan malah dibebani akan terus seperti ini. Karena kelas tengah yang mengalami penurunan jumlahnya sangat signifikan diatas 50 persen dari total konsumsi di Indonesia. Sehingga kalau ini tidak diperbaiki mempengaruhi konsumsi rumah tangga secara nasional," ujar Faisal kepada KBR, Rabu (5/2/2025).
Faisal mengusulkan beberapa kebijakan untuk mengatasi lesunya daya beli, seperti meninjau ulang kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) yang dapat semakin menekan daya beli masyarakat.
Faisal juga mendorong pemerintah untuk memberikan insentif bagi kelas menengah, termasuk perpanjangan diskon tarif listrik, pencegahan PHK, hingga stabilisasi harga pangan yang terjangkau.
Baca juga:
- Menteri Widiyanti Lapor Kinerja 100 Hari Sektor Pariwisata kepada Presiden
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!