Pam Swakarsa pernah muncul ketika 1998.
Penulis: Astri Yuana Sari, Naomi Lyandra
Editor: Sindu

- Pam Swakarsa muncul lagi atas imbauan TNI melalui GM FKPPI, namun dasar hukumnya dipertanyakan.
- Para ahli khawatir Pam Swakarsa berpotensi memicu konflik, kekerasan, pelanggaran HAM, dan mengulang tragedi 1998.
- Akademisi dan aktivis mendesak penarikan instruksi, menuntut kejelasan hukum, serta akuntabilitas demi menghindari konflik.
KBR, Jakarta- Istilah Pengamanan Masyarakat Swakarsa (Pam Swakarsa) kembali muncul dan menuai sorotan. Berawal dari beredarnya surat Generasi Muda Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI-Polri (GM FKPPI) yang menginstruksikan kadernya di seluruh Indonesia segera melaksanakan Pam Swakarsa. Surat edaran tersebut tindak lanjut arahan dari Asisten Teritorial (Aster) Panglima TNI.
Bunyi instruksinya antara lain, pengurus daerah, cabang, dan rayon di seluruh Indonesia segera berkoordinasi dengan jajaran TNI di wilayah masing-masing, melaksanakan Pam Swakarsa, dan menyampaikan laporan ke pengurus pusat GM FKPPI.
Surabaya, Jawa Timur, jadi salah satu daerah yang sudah melaksanakan instruksi pelaksanaan Pam Swakarsa, meski belum ada rambu-rambu yang jelas.
TNI Benarkan Arahan Pam Swakarsa
Arahan untuk melaksanaan Pam Swakarsa dibenarkan TNI. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Freddy Ardianzah membenarkan adanya surat instruksi dari GM FKPPI.
"TNI mendorong partisipasi aktif masyarakat dan organisasi kemasyarakatan untuk turut serta menjaga kondusivitas lingkungan masing-masing melalui kegiatan positif seperti memberikan imbauan, mendukung ketertiban, melaksanakan patroli/ronda serta memperkuat persaudaraan di tengah masyarakat," kata Freddy, seperti dikutip KBR dari ANTARA.
Freddy memastikan, keterlibatan sipil bukan serta merta mengganti peran aparat dalam menjaga keamanan wilayah, dan akan tetap berada di bawah koordinasi TNI/Polri. Ia mengklaim, Pam Swakarsa efektif di berbagai daerah.
"Bukan perintah ya, sifatnya imbauan atau ajakan, karena terbukti efektif di beberapa daerah," kata Freddy
Efektif untuk Apa?
Ahli hukum dan akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Asfinawati mempertanyakan efektivitas Pam Swakarsa? Ia lantas memberikan contoh praktik Pam Swakarsa yang belum lama terjadi.
"Misalnya terakhir pertemuan konferensi air di Bali, itu kan Pam Swakarsa dengan baju adat. Dan kemudian pertemuan itu dibubarkan, banyak orang diburu, pertemuan yang harusnya membahas tentang kedaulatan air di Indonesia itu kemudian buyar karena PAM Swakarsa," kata Asfinawati kepada KBR, Rabu, (3/9/2025).
"Jadi, dia memang efektif untuk menghambat kebebasan berpendapat, berekspresi, dan menakut-nakuti warga," imbuhnya.
Menurutnya, frasa imbauan atau ajakan, dan bukan perintah yang ditekankan TNI, bukan lagi sekadar imbauan, melainkan kebijakan lisan yang bersifat mengikat.
"Kalau yang mengimbau itu anak SMP, anak kuliah, itu akan lain dengan imbauan yang dilakukan pejabat publik atau TNI atau polisi itu sudah sangat berbeda. Kalau misalnya ada panglima TNI, contoh ya, mengatakan saya mengimbau. Itu kan sebetulnya bukan mengimbau lagi, itu sudah jadi kebijakan, tetapi secara lisan," kata dia.

Pola Lama, Bentuk Baru
Ahli hukum dan akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Asfinawati menilai, keberadaan Pam Swakarsa selalu berkaitan erat dengan upaya kekuasaan melanggengkan kontrol terhadap masyarakat. Menurutnya, sejak awal kemunculannya pada masa akhir Orde Baru, Pam Swakarsa sudah membawa catatan kelam.
"Waktu itu mereka mau membuat RUU PKB, Penanganan Keadaan Bahaya. Dan aksinya luas sekali pada saat itu, di awal-awal reformasi itu. Dan kita tahu kenapa ramai banyak Pam Swakarsa yang terlibat dan juga melakukan kekerasan kepada peserta aksi yang menolak RUU tentang Penanganan Keadaan Bahaya," kata Asfinawati kepada KBR, Rabu (3/9/2025)
Meski reformasi telah berlangsung dua dekade lebih, Asfinawati menilai, pola serupa muncul kembali. Pada 2020, Polri menerbitkan Peraturan Kepolisian Negara (Perpol) Nomor 4 Tahun 2020 tentang PAM Swakarsa. Bagi Asfinawati, aturan itu justru menumbuhkan "kultur kekerasan" di masyarakat.
"Jadi, saya melihatnya terbalik, ini bukannya polmas, bukannya memasyarakatkan, bukan membuat polisi menjadi lebih memasyarakat. Tetapi, membuat masyarakat menjadi polisi kira-kira begitu," kata dia.
Asfin menjelaskan, dalam peraturan tersebut, Pam Swakarsa bisa direkrut dari satpam, kelompok berbasis adat, hingga siswa sekolah kepolisian. Kata dia, hal ini rawan memperluas praktik kekerasan.
"Polisi saja yang punya kode etik, terikat pada undang-undang itu melakukan kekerasan di depan mata kita. Nah, apalagi kalau mereka yang tidak punya kewajiban ini. Bagaimana mereka bisa memperlakukan masyarakat saat aksi menjadi lebih keras tanpa akuntabilitas," kata Asfin.
Ancaman Terulangnya Tragedi 1998
Asfinawati menilai kemungkinan terulangnya Tragedi 1998 sangat besar. Sebab menurutnya, struktur operasi kekerasan masa lalu tidak pernah benar-benar terbongkar.
"Kita tidak pernah ada pengadilan untuk peristiwa 98. Malah menteri mau menutupi itu, kan. Seharusnya kan itu dibongkar, siapa sih yang melakukan operasi? Karena menurut temuan tim relawan untuk kemanusiaan, orang-orang yang memantau saat itu, itu bukan murni organik, bukan hanya masyarakat," jelasnya.
"Justru masyarakat hanya ikut-ikutkan, dan yang mendahuluinya adalah orang-orang yang terlatih, yang berbadan tegap, seragam, dan lain-lain."
Apalagi, kata dia, sistem hukum di Indonesia saat ini yang hanya kuat di atas kertas saja.
"Sebetulnya kalau sistem hukum kita sekarang lebih kuat daripada masa Orde Baru, ya. Karena kita punya berbagai komisi negara independen, meskipun tidak sempurna. Kita punya Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Kalau ada pelanggaran HAM berat, kita punya Undang-Undang 26/2000. Tetapi, semua yang di atas kertas itu buntu. Karena penegak hukumnya tidak melakukan, pemerintah tidak mendorong juga penegakan hukum," kata dia.

Peran Komisi Independen dan Masyarakat
Asfinawati menekankan pentingnya peran lembaga independen seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, hingga KPAI untuk membuka kembali dokumen pemantauan lama tentang peristiwa 98. Ia berharap, lembaga-lembaga independen tersebut memberi pencerahan kepada publik, mengenai pola-pola kekerasan yang berulang sejak masa lalu.
"Apa sih yang terjadi pada saat itu? apa saja pola-polanya? Didahului dengan apa sih? dan berujung pada apa? Sehingga masyarakat itu bisa mengenali. Dan sebetulnya beberapa warga sudah melakukan pengamanan, sudah sensitif dengan adanya orang luar, jadi sebetulnya itu sudah ada," imbuhnya.
Asfinawati tidak ingin kekerasan dilegitimasi atas nama pengamanan.
"Saya pikir yang paling penting adalah kita tidak melakukan kekerasan kepada sesama warga, apalagi hanya berdasarkan semata-mata etnis atau agama yang berbeda. Dengan begini, maka masyarakat sebetulnya bisa membentengi dirinya untuk tidak memperluas kekerasan," pungkasnya.
Dasar Hukum Pam Swakarsa
Kritik soal imbauan Pam Swakarsa juga datang dari Eks Gubernus Lemhannas, Agus Widjojo. Menurutnya, Pam Swakarsa tidak memiliki dasar hukum jelas dan justru berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.
"Rasanya itu tidak ada. Sehingga ketika itu diperbesar dan membesar, itu menjadi lepas kendali karena tidak ada dalam undang-undang. Tidak tahu ini garisnya, garis tanggung jawabnya ini kepada siapa? Dan siapa yang patut diminta tanggung jawab apabila ada proses lepas kendali dari organisasi ini?" kata Agus kepada KBR, Senin, (8/9/2025).
Istilah Pam Swakarsa memang tidak ada dalam peraturan-peraturan hukum terkait TNI. Namun, Pam Swakarsa disebut dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan diturunkan dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 4 Tahun 2020.
Dalam aturan itu disebutkan, Pam Swakarsa bertugas menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungannya secara swakarsa guna mencegah terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban.
Pam Swakarsa terdiri atas Satpam, Satkamling, dan Pam Swakarsa yang berasal dari pranata sosial/kearifan lokal, seperti Pecalang di Bali, kelompok masyarakat sadar keamanan dan ketertiban, siswa dan mahasiswa Bhayangkara.
Eks Gubernus Lemhannas, Agus Widjojo menyebut, tidak ada aturan soal Pam Swakarsa di dalam TNI.
"TNI juga jangan ngarang, enggak ada itu istilah PAM Swakarsa. Kecuali kalau misalnya, dan kalau itu adalah peraturan Polri, ya, itu perlu kita tanya, itu bukan undang-undang yang berlaku secara mengikat, itu adalah aturan Polri. Polri itu mengikatkan aturan Polri terhadap siapa? Kalau ada apa-apa, sebaliknya tanggung jawab ini menjadi tanggung jawab Polri sepenuhnya. Jangan lari dari tanggung jawab," kata Agus.

Surat Instruksi GM FKPPI dan Klaim Efektivitas dari TNI
Agus lantas mempertanyakan legitimasi GM FKPPI menginstruksikan pelaksanaan Pam Swakarsa di seluruh Indonesia.
"Dia (GM FKPPI) bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Lihat di undang-undangnya. Apakah ada undang-undang memberikan kewenangan kepada FKPPI untuk membentuk Pam Swakarsa? Tidak ada. Ini nanti akan menjadi kerikil untuk berkembang tidak terkendali. Dan akhirnya bisa terulang orang saling tunjuk," tegasnya.
Ia juga menyoroti klaim TNI yang menyebut Pam Swakarsa efektif di beberapa daerah.
"Efektif itu definisinya apa? Segala sesuatu yang diwujudkan secara konkret harus didasarkan kepada peraturan, legislasi undang-undang. Sehingga jelas yang bertanggung jawab itu siapa, apabila ada apa-apa. Maka dia yang bertanggung jawab untuk membentuk organisasi ini. Dan sebaliknya kalau terjadi penyimpangan, maka akan mudah untuk ditelusuri ini menjadi tanggung jawab siapa," kata dia.
Potensi Konflik Horizontal dan Adu Domba
Agus mengingatkan, penerapan Pam Swakarsa oleh TNI tanpa dasar hukum jelas berpotensi besar memicu konflik antarwarga.
"Besar sekali. Karena dasar hukumnya tidak jelas. Dan yang bertanggung jawab tidak jelas. Apakah FKPPI kemudian bertanggung jawab apabila terjadi penyimpangan? Apa kewenangan yang dimiliki oleh FKPPI? Apa alat yang ada pada FKPPI untuk menertibkan keadaan apabila terjadi lepas kendali? Semuanya ke situ larinya," kata Agus.
Ia juga memperingatkan risiko adu domba antaraparat.
"Hati-hati masyarakat diadu domba. Hati-hati untuk menjadikan polisi kambing hitam oleh TNI dan TNI kambing hitam oleh polisi. Itu sudah adu domba. Karena kita ini belum sadar regulasi. Belum sadar aturan. Padahal semua tata kehidupan itu kan diatur melalui aturan," tegasnya.
Agus menekankan, kehidupan berbangsa harus dibangun di atas aturan hukum, bukan imajinasi atau nostalgia masa lalu.
"Peraturan perundang-undangan itu adalah kesepakatan kita bersama. Kalau itu tidak ada, jangan mau untuk percaya bahwa ada sebuah institusi itu bisa membuat sebuah organisasi atau kelembagaan sendiri. Sama saja nanti kalau dikatakan bahwa Pam Swakarsa itu bisa bertindak untuk mengamankan situasi. Sama saja ketika FPI mengambil hukum di tangannya sendiri. Dari mana FPI itu mendapatkan legitimasi untuk melaksanakan penegakan hukum?" tegasnya.
Agus mengingatkan masyarakat agar membangun peradaban hukum yang jelas dan tak mudah ditipu narasi-narasi negatif yang bisa memecah belah.
"Kita harus membangun masyarakat ini menjadi masyarakat yang beradab. Yaitu masyarakat yang dibangun atas kesepakatan. Kalau terjadi apa-apa, siapa yang bertanggung jawab? Lari semuanya, lepas tanggung jawab semuanya," pungkas Agus.

Respons FKPPI
Menanggapi polemik Pam Swakarsa, Ketua bidang Politik Pengurus Pusat Keluarga Besar FKPPI, Arif Bawono menyarankan, surat edaran imbauan itu seyogianya bisa dipertimbangkan ditarik. Alasannya, kata dia, penggunaan istilah Pam Swakarsa dinilai membangkitkan trauma publik terhadap praktik politik masa lalu.
“Yang pertama yang harus dilakukan adalah Aster Panglima TNI untuk melakukan revisi kalimat kata-kata. Misalnya Pam Swakarsa tersebut, ataupun ditarik sama sekali kalimat tersebut. Jadi, itu akan lebih elok dan lebih baik,” jelasnya dalam siaran Ruang Publik KBR, Rabu, (10/9/2025).
FKPPI, kata dia, lebih memprioritaskan menghidupkan kembali konsep Siskamling ketimbang memunculkan kembali Pam Swakarsa.
“Yang kami KB FKPPI malah mendorong adanya ini (Siskamling), saya langsung saja mendorong adanya Siskamling untuk dihidupkan kembali di dalam lingkungan kita. Yang itu lebih kepada sifatnya gotong royong, dari masyarakat untuk masyarakat,” tegas Arif.
Tarik Surat Edaran Pam Swakarsa
Sementara itu, menurut Sekjen Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Gina Sabrina, keluarnya surat imbauan itu bertentangan dengan konstitusi dan kewenangan lembaga negara.
“Pertama-tama kami ingin mengkritisi apa yang dilakukan Asisten Teritorial (Aster) Mabes TNI yang mengeluarkan pembawaan tersebut. Kami memandangnya itu bertentangan dengan tugas dan fungsi TNI sendiri, enggak ada kewenangan dalam konteks keamanan dalam negeri,” ujarnya.
Menurut Gina, kewenangan pengamanan swakarsa bukan dari TNI melainkan Polri.
“Ketika ini jadi domain-nya Polri, kenapa kemudian TNI yang justru mengeluarkan imbauan ini? Ini jadi ada miskonsepsi soal kewenangan terhadap imbauan pembentukan Pam Swakarsa,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan potensi pelanggaran HAM jika surat itu dijadikan legitimasi bagi ormas untuk bertindak di lapangan.
“Kalau dulu mereka dipersenjatai misalnya dengan bambu runcing ... akhirnya bentrokan saling serang. Dan kita ingat peristiwa Semanggi I itu setidaknya ada 17 orang tewas, 109 yang luka. Semanggi II itu 11 orang yang tewas, 217 yang luka-luka. Dan itu akhirnya diakui sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu,” paparnya.
Gina mendesak pemerintah dan DPR segera mengambil langkah korektif dengan memerintahkan penarikan surat edaran Aster TNI yang kontroversial.
“Kami meminta menhan maupun presiden serta DPR bisa memanggil Aster termasuk Panglima TNI untuk mengevaluasi mengenai surat imbauan pembentukan Pam Swakarsa ... dan membatalkan aktivasi terhadap Pam Swakarsa dengan menarik surat edaran tadi,” tutupnya.

Sekilas tentang Pam Swakarsa
Pam Swakarsa muncul ketika 1998. Terdiri dari sejumlah ormas, antara lain FKPPI, Banser, dan Pemuda Pancasila. Mengutip Kompas, jumlahnya sekitar 30 ribu dan tersebar di berbagai titik strategis. Mereka mendapat makan siang gratis dan uang saku 10 ribu per hari
Saat itu, menurut keterangan bekas Kepala Staf Komando Strategis Angkatan Darat, Mayjen TNI Purnawirawan Kivlan Zen, Pam Swakarsa dibentuk atas perintah Jenderal Wiranto yang menjabat panglima ABRI (kini TNI) sekaligus menteri pertahanan dan keamanan era Presiden Habibie. Tujuannya, menghadapi protes publik terhadap Sidang Istimewa MPR.
Kivlan Zen turut menjelaskan kronologi pembentukan Pam Swakarsa dalam gugatan perbuatan melawan hukum terhadap Wiranto. Dalam gugatannnya, ia menagih biaya yang telah dikeluarkan guna pembentukan Pam Swakarsa yang mencapai Rp8 miliar. Sebab, dana 400 juta yang didapat Wiranto dengan menelepon pengusaha saat itu, kurang. Ia pun harus menambal dengan uangnya sendiri, menjual barang, hingga berutang.
Wiranto pernah menanggapi gugatan ke pengadilan oleh Kivlan Zen soal pembentukan Pam Swakarsa pada 2019. Ia mengklaim, hanya berusaha bekerja sesuai tanggung jawab yang ditanggungnya. Ia mempersilakan siapa pun yang ingin menggugat
Pam Swakarsa bertugas mengamankan jalannya sidang tersebut dari berbagai demonstrasi yang menentang kebijakan politik kala itu. Sebab, aksi protes diperkirakan bakal mengganggu jalannya SI MPR.
Jenderal Wiranto bilang, Pam Swakarsa sangat untuk memastikan stabilitas politik dan mengamankan sidang. Tetapi, di lapangan ...
Pengamanan sipil ini terlibat bentrok dengan kelompok masyarakat juga kalangan mahasiswa penentang sidang. Mereka mengadang demonstran yang ingin menggagalkan sidang selama delapan hari sejak 6-13 November 1998.
Kala itu, mahasiswa mendesak penghapusan Dwi Fungsi ABRI dan menolak Habibie sebagai presiden lewat Sidang Istimewa. Ribuan mahasiswa penolak SI MPR diadang aparat di depan Kampus Atma Jaya. Aksi yang berlangsung sejak 11 November, memuncak pada 13 November 1998.
Aparat menembak ke arah mahasiswa yang kala itu berbaur dengan masyarakat. Beberapa mahasiswa tertembak dan tewas di jalan. Antara lain, Bernardus Realino Norma Irmawan atau Wawan dari Universitas Atma Jaya.
Baca juga: