BERITA

ICJR: Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan Ganggu Hukum Indonesia

16 tahun setelah ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan tidak banyak yang dilakukan pemerintah.

AUTHOR / Vitri Angreni

ICJR: Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan Ganggu Hukum Indonesia
Konvensi, ratifikasi, hukum, penyiksaan, ICJR

KBR, Jakarta – Setiap tanggal 26 Juni, dunia merayakan Hari Anti Penyiksaan Internasional. Meski Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan sejak 16 tahun silam, kasus-kasus penyiksaan masih saja terjadi.

Working Group on the Advocacy against Torture (WGAT) mencatat kurun Januari – Mei 2014 ada 24 kasus yang terindikasi kuat terjadi tindak penyiksaan. Dari kasus itu, 3 korban yang meninggal dunia diduga akibat tindak penyiksaan.

Supriyadi Widodo Eddyono dari Institute For Criminal & Justice Reform (ICJR) mengatakan penyebab gagalnya implementasi ratifikasi ini adalah anggapan ratifikasi itu akan menggangu kedaulatan stabilitas hukum Indonesia.

Apa dampak mandeknya pelaksanaan konvensi ini bagi Indonesia? Berikut ini perbincangan lengkap Supriyadi Widodo dalam Program Sarapan Pagi KBR (26/6).

Sebetulnya bagaimana Anda melihat komitmen dari pemerintah terutama dari Menteri Hukum dan HAM?

“Sebenarnya kalau kita lihat 16 tahun setelah ratifikasi tidak banyak yang dilakukan pemerintah. Sudah 16 tahun kita ratifikasi, sudah dua kali kita bikin laporan ke internasional ke komite dan komisi tetapi tidak banyak peningkatan. Terutama tentang penegakan hukum itu tidak banyak berubah, bahkan menurut kami dalam waktu Januari-Mei ini saja kasusnya yang bisa kami monitor sudah hampir 24 kasus dalam tahun ini. Bagaimana dengan kasus-kasus yang tidak terangkat oleh media.”

Pak menteri sempat menyebutkan bahwa kita sudah meratifikasi dan yang belum diratifikasi adalah protokol opsionalnya. Komentar Anda?

“Iya itu gagal. Jadi banyak tantangan dari instansi pemerintah yang menolak dari ratifikasi, karena dianggap itu akan mengganggu kedaulatan stabilitas hukum Indonesia.”

Apa sebetulnya isi opsional ini?

“Sebenarnya itu adalah mekanisme monitoring nasional agar pemantauan terhadap kasus penyiksaan itu bisa langsung dihubungkan ke Komite Anti Penyiksaan. Kekhawatiran dari pemerintah Indonesia adalah ada mekanisme kunjungan langsung ke tempat-tempat yang dianggap sebagai biangnya penyiksaan. Itu sebagian besar ditolak oleh pemerintah sampai sekarang tidak jelas. Sehingga kalau memang kondisinya begini kami dari teman-teman anti penyiksaan lebih bagus mendorong Rancangan Undang-undang anti penyiksaan secara khusus yang mencantumkan tentang mekanisme pemantauan dan pencegahan penyiksaan di tempat-tempat tadi itu.”  

Apa artinya kita sudah meratifikasi tapi tidak dilakukan pemerintah itu?

“Itu sama saja pemerintah tidak melaksanakan kewajibannya. Tapi yang paling penting tugas pemerintah adalah membuat suatu legislasi yang menyatakan penyiksaan sebagai kejahatan, itu yang sampai sekarang tidak terealisasi.”

Apakah itu prosedur yang sulit dilakukan karena harus merevisi KUHAP?

“Tidak KUHAP. Jadi anti penyiksaan ini bisa diadopsi di berbagai Undang-undang terutama KUHP, KUHAP, perlindungan saksi dan korban, dan ratifikasi OPCAT. Keempat ini tidak jalan seperti KUHP tidak maju-maju, KUHAP tidak benar, ratifikasi OPCAT juga mentok. Apalagi yang dikatakan pemerintah sebagai respon kami terhadap anti penyiksaan karena semua itu tidak terjadi bahkan kasusnya makin ada terus dan meningkat.”  

Ini mau dilaporkan kembali ke PBB?

“Iya jadi tahun depan pemerintah Indonesia harus melaporkan ulang penegakan anti penyiksaan. Saya khawatir pemerintah akan malu karena laporan pemerintah dari 2005 sampai sekarang tidak berubah laporannya. Itu menurut kami tong kosong saja.”

Ketika kita tidak meratifikasi kembali OPCAT, seharusnya ketika kita sudah meratifikasi konvensi itu ya?

“Opsional. Karena dia opsional pemerintah sebenarnya boleh iya boleh tidak, tapi menurut kami kewajiban opsional pemerintah harus meratifikasi itu. Karena kepentingan ratifikasi OPCAT itu adalah mengatasi kelemahan dari penegakan hukum yang sampai sekarang tidak terjadi di Indonesia.”

Apa resiko yang dihadapi negara kalau sampai tahun depan tidak meratifikasi ini?

“Pertama adalah dipermalukan di tingkat internasional tentang komitmen kita.”

Sekadar dipermalukan atau ada sanksi?

“Dipermalukan akan dipertanyakan dan mungkin akan turun lagi tim untuk melakukan pemeriksaan di Indonesia. Tapi sebenarnya kita malu karena tetangga kita di Filipina sudah berhasil membuat legislasi tentang anti penyiksaan.”

Berapa negara di Asia Tenggara yang belum ratifikasi OPCAT ini?

“Terutama yang jadi konsentrasi baru-baru ini di Vietnam dan sekitarnya. Tetapi Indonesia negara yang cukup lama, meratifikasi 1998 perubahannya tidak banyak. Sedangkan Filipina yang kita anggap baru saja sudah berhasil melegislasi Undang-undang anti penyiksaan.”

Ada aturan khusus kalau di negara-negara luar itu? tidak gabung dalam KUHAP atau KUHP begitu?

“Lebih efektif sebenarnya kalau dalam transisi sekarang Undang-undang khusus anti penyiksaan. Karena kalau KUHP dia hanya tindak pidananya diatur padahal anti penyiksaan itu tidak hanya tindak pidana tapi juga ada masalah rehabilitasi korban, pemantauan tempat penyiksaan atau mekanisme pencegahan, dan sebagainya yang tidak mungkin diserap dalam KUHP. Makanya kemudian pemerintah memisahkan mana yang KUHAP, perlindungan saksi dan korban, mana yang mekanisme OPCAT.”

“Tapi karena semuanya gagal akhirnya tidak ada yang bisa kita pegang, makanya yang didorong menurut saya adalah Rancangan Undang-undang khusus tentang anti penyiksaan yang sebenarnya saat ini sudah mulai digagas oleh Departemen Luar Negeri. Karena Departemen Luar Negeri ini garda kita di internasional, mereka melihat kalau kita tidak punya progres agak susah juga kemudian mereka menggagas kembali Rancangan Undang-undang Anti Penyiksaan.”

Itu mandek akhirnya?

“Kalau RUU baru saja digagas, embrionya sekitar sebulan ini.”

Jadi biar lebih mudah dipahami oleh masyarakat yang terutama juga rentan terhadap korban. Sebetulnya kalau tanpa adanya mekanisme hukum yang jelas itu apakah resiko-resiko itu akan tetap tinggi bagi mereka?

“Iya karena sistem hukum acara kita. Jadi ada bukti-bukti yang didapat dari penyiksaan itu masih bisa jadi bukti yang diterima pengadilan. Karena sistem hukum kita seperti ini sehingga pengakuan itu penting bagi aparat hukum, kadang-kadang dari pengakuan dia disiksa itu harusnya tidak boleh tapi dalam sistem hukum acara kita masih diperbolehkan. Kalau kita bisa memastikan bukti-bukti hasil penyiksaan itu tidak bisa dijadikan bukti di pengadilan itu sudah progres yang luar biasa.”

“Kedua peran dari pemerintah terutama Komnas HAM, Komnas HAM saya pikir tidak perlu menunggu mekanisme internasional sampai sekarang tidak diperbaiki oleh pemerintah. Komnas HAM bisa bikin pokja sendiri dengan lembaga-lembaga seperti Ombudsman, LPSK. Ketiga lembaga ini saja dibuat pokja atau tugas khusus untuk bisa memonitor kasus-kasus kekerasan di seluruh Indonesia.”

(Baca juga: Stop Penyiksaan, Pemerintah Didesak Susun UU Anti Penyiksaan)

Sambil menunggu instrumen hukum yang jelas ya?

“Iya tapi itu tidak dilakukan. Komnas HAM masih pemadam kebakaran tapi dia tidak bisa membuat mekanisme pencegahan.”

Seperti sulit kalau kita berharap pada pemerintahan SBY. Lantas apakah isu ini didorong pada dua calon presiden yang ada sekarang?

“Seharusnya didorong. Kita juga sudah merekomendasikan ke penelitian ke depan, mulai kita harus menyerukan tentang penyiksaan. Tapi Presiden SBY sudah kelewat ini, kita tidak punya harapan lagi.” 

(Baca juga: Tolak Prabowo, Para Aktivis HAM Peringati Hari Anti Penyiksaan)

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!