NASIONAL

Gratifikasi Seks Sulit Dibuktikan Tetapi Bisa Dipidana

AUTHOR / Dimas Rizky

Gratifikasi Seks Sulit Dibuktikan Tetapi Bisa Dipidana
gratifikasi seks, pembuktian, hukum, pipdana

KBR68H, Jakarta - Gratifikasi seks sulit untuk dibuktikan. Pengamat hukum pidana Akhiar Salmi  mengatakan, penegak hukum harus bisa membuktikan besaran harga dari perbuatan seks yang terkait kasus pidana itu. Meski begitu kata dia, gratifikasi seks bisa
tetap dipidanakan karena termasuk pasal 12 UU Tipikor.

"Itu kata terakhir dalam pasal tersebut, fasilitas lainnya. Ada dua pengertian fasilitas. Pertama sarana untuk melancarkan pelaksanaan fungsi. Kalau seks ini diberi untuk melancarkan fungsi, ya bisa masuk. Kedua, pengertian lainnya adalah kemudahan. Karena kalau diberi sesuatu tadi, tentu akan dapat kemudahan pengurusan. Jadi saya berpendapat, gratifikasi seks masuk dalam pasal 12b tadi," ujarnya di gedung DPR Jakarta, kemarin.

Pengamat hukum pidana Akhiar Salmi menambahkan seseorang bisa terkena pasal tersebut jika tak melapor dalam kurun waktu 30 hari setelah mendapat gratifikasi. Sebaliknya, jika langsung melapor, tak terjerat pasal 12 UU Tipikor.

Sebelumnya pasal gratifikasi seks menjadi perdebatan karena belum ada yang mengatur di dalam UU. Komisi hukum DPR bahkan mendorong adanya aturan khusus yang mengatur soal gratifikasi seks.


Kasus gratifikasi seks menimpa Hakim Pengadilan Negeri Bandung, Setyabudi Tedjocahyono. Setyabudi   sebelumnya tersangkut suap pengurusan perkara dana bantuan sosial (Bansos) Kota Bandung sebesar lebih dari Rp66 miliar.Selain menerima suap Hakim Setyabudi Tedjocahyono juga diduga menerima gratifikasi seks dari Toto Hutagalung. Hal ini disampaikan oleh kuasa hukum Toto, Johnson Panjaitan. Kata dia, Hakim Setyabudi selalu meminta "jatah layanan" setiap hari Kamis atau Jumat.

Editor: Doddy Rosadi


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!