indeks
Empat Izin Tambang di Raja Ampat Dicabut tapi Mengapa PT Gag Nikel Aman, Istimewa atau Bermasalah?

“Kalau kita mau serius dan konsekuen, maka semua pihak yang memberikan dan menerima izin, padahal jelas dilarang oleh undang-undang, harus diproses secara pidana," ujar Herdiansyah

Penulis: Hoirunnisa

Editor: Resky Novianto

Google News
gag
Alat berat pertambangan nikel terparkir sejak PT GAG Nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Sabtu (7/6/2025). ANTARA/Putu Indah Savitri

KBR, Jakarta- Langkah tegas pemerintah mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah Raja Ampat menuai sorotan. Keputusan ini diambil di tengah polemik soal keberadaan tambang di kawasan hutan lindung dan geopark dunia yang selama ini menjadi jantung konservasi laut dan hutan Indonesia.

Empat perusahaan tersebut adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham.

Namun di tengah gelombang pencabutan izin tersebut, satu nama tetap bertahan dan mendapat perhatian publik yakni PT Gag Nikel. IUP perusahaan tersebut tidak dicabut dan hanya ditangguhkan operasionalnya sementara.

Pemerintah menegaskan bahwa langkah ini merupakan bagian dari penataan sektor pertambangan nasional secara menyeluruh, sesuai amanat Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan.

Menanggapi itu, Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai pemberian izin tambang di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, tidak hanya bermasalah secara administratif, tetapi juga telah memasuki wilayah pelanggaran pidana.

Ia menyebut setidaknya terdapat tiga undang-undang yang dilanggar dalam penerbitan izin-izin tambang di kawasan tersebut, termasuk Undang-Undang tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Jangan hanya bicara soal Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yang paling penting adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” tegas Herdiansyah kepada KBR, Kamis (12/6/2025).

Menurut Herdiansyah, keberadaan konsesi tambang di kawasan seperti Pulau Gag dalam Raja Ampat jelas melanggar ketentuan dalam Pasal 35 huruf K undang-undang tersebut, yang melarang eksploitasi tambang di pulau-pulau kecil, termasuk wilayah pesisir dengan luas di bawah 2.000 km².

red
Tambang Nikel di Kawasan wisata perairan Raja Ampat di Papua Barat. Foto: Tangkapan Layar Youtube Greenpeace Indonesia

Pelanggaran Serius dan Unsur Pidana

Herdiansyah menyebut pelanggaran atas tiga undang-undang itu yakni UU Kehutanan, UU PPLH, dan UU Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ia juga menegaskan hal ini bukan sekadar pelanggaran administratif, dan konsekuensi hukumnya jelas masuk ke dalam ranah pidana.

“Di Undang-Undang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pelanggaran terhadap larangan itu bukan hanya bisa disanksi administratif, tapi juga tindak pidana. Jadi bukan cuma cabut izin, tapi harus ada proses hukum terhadap pejabat yang mengeluarkan izin,” jelasnya.

Herdiansyah juga menyoroti adanya potensi tindak pidana korupsi dalam proses perizinan, seperti suap dan gratifikasi, yang memungkinkan izin tetap keluar meski bertentangan dengan aturan yang berlaku.

“Tidak mungkin pejabat yang mengeluarkan izin tidak tahu Undang-undang. Artinya, ada tawar-menawar yang patut diduga mengandung unsur korupsi,” lanjutnya.

Pemerintah ‘Masuk Angin’

Herdiansyah mengaku heran mengapa pemerintah tetap mengeluarkan izin meskipun telah ada pelarangan eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Ia menyebut fenomena ini sebagai bentuk 'pemerintah masuk angin' atau kompromistis terhadap kepentingan tertentu.

“Saya yakin ada simbiosis mutualisme. Artinya, pemberian izin itu terjadi karena ada keuntungan yang diperoleh dua belah pihak. Ini indikasi kuat adanya korupsi,” ujarnya tegas.

Ia mendorong agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan aparat penegak hukum lain segera menyelidiki dan mengusut dugaan tindak pidana korupsi dalam proses perizinan tambang di wilayah Raja Ampat.

red
Pengamat hukum tata negara Unmul Herdiansyah Hamzah. ANTARA/HO-Dok Castro.



Cabut Izin Saja Tak Cukup

Herdiansyah juga menyoroti pendekatan pemerintah yang selama ini hanya mencabut izin dan menghentikan kegiatan tambang sebagai langkah akhir. Ia menilai langkah itu tidak cukup memberikan efek jera.

“Kalau hanya mencabut izin, itu bukan penyelesaian. Harus ada proses hukum terhadap pejabat yang menerbitkan izin dan perusahaan yang melanggar,” katanya.

Baginya, pendekatan pidana adalah satu-satunya cara untuk memberikan dampak jera terhadap pelaku-pelaku perusakan lingkungan di kawasan yang seharusnya dilindungi.

Penegakan Hukum Adalah Keharusan, Bukan Pilihan

Herdiansyah menjelaskan pelanggaran Pasal 35 huruf K Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 sebagai pintu masuk pidana. Ia mengingatkan Indonesia akan terus mengulang pelanggaran serupa jika penegakan hukum tidak dijalankan secara konsisten.

“Kalau kita mau serius dan konsekuen, maka semua pihak yang memberikan dan menerima izin, padahal jelas dilarang oleh undang-undang, harus diproses secara pidana,” ujarnya.

Jangan Terkesan Diistimewakan

Sementara pakar kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan pendekatan yang diambil pemerintah seharusnya konsisten dan adil terhadap seluruh perusahaan, tanpa pengecualian.

“Pemberlakuan aturan harus sama. Kalau empat perusahaan dicabut izinnya, mestinya PT Gag juga ikut dievaluasi secara serius. Jangan sampai ada kesan istimewa,” ujar Trubus kepada KBR, Rabu (11/6/2025).

Menurut Trubus, bahkan jika PT Gag Nikel memiliki dokumen Amdal dan RKAB yang sah, pemerintah tetap harus melakukan audit lingkungan menyeluruh terhadap dampak aktual di lapangan.

“Amdal itu hanya satu tahap awal. Yang terpenting adalah bagaimana implementasinya, bagaimana dampaknya terhadap lingkungan, dan apakah perusahaan benar-benar menyerap tenaga kerja lokal atau tidak,” jelas Trubus.

Lebih jauh, ia menyoroti fakta bahwa PT Gag merupakan bagian dari BUMN besar, yakni PT Antam. Hal ini dikhawatirkan menjadi celah ketimpangan perlakuan di antara perusahaan tambang.

Risiko Ketergantungan SDA dan Beban Generasi Mendatang

Trubus juga memperingatkan tentang risiko jangka panjang jika pemerintah terus memberikan toleransi terhadap praktik tambang di kawasan lindung.

“Kalau orientasi kita hanya eksploitasi sumber daya alam, habis nanti. Lihat saja contoh minyak, dulu kita eksportir, sekarang jadi pengimpor. Ini persoalan keadilan antar generasi,” tegasnya.

Ia mendorong agar negara mulai mengembangkan kebijakan berbasis inovasi dan diversifikasi ekonomi, tidak lagi terlalu bergantung pada sektor ekstraktif yang merusak lingkungan.

red
Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah. ANTARA


Reklamasi dan Kepentingan Publik yang Terabaikan

Salah satu catatan penting dalam kebijakan tambang, menurut Trubus, adalah soal reklamasi pasca-tambang. Banyak perusahaan, kata dia, meninggalkan wilayah tambang tanpa pemulihan lahan.

“Lubang-lubang bekas tambang dibiarkan begitu saja. Akhirnya yang menanggung beban adalah pemerintah dan generasi berikutnya. Ini tidak berkelanjutan,” ungkapnya.

Selain itu, ia mempertanyakan kontribusi sosial dan ekonomi tambang terhadap masyarakat lokal.

“Apakah masyarakat di sekitar benar-benar mendapat manfaat? Atau justru lingkungan mereka rusak, udara tercemar, dan lahan tergerus?” tanya Trubus.

Pemerintah Perlu Konsistensi dan Transparansi

Trubus menyambut baik keputusan pencabutan empat IUP sebagai langkah yang tepat, namun menurutnya itu belum cukup.

“Keputusan ini jangan berhenti di empat perusahaan saja. Harus ada penataan menyeluruh. Karena inkonsistensi kebijakan justru akan merusak kepercayaan publik dan merugikan investor dalam jangka panjang.”

Ia mengingatkan, tekanan dari masyarakat sipil maupun komunitas internasional seperti Greenpeace tak seharusnya menjadi satu-satunya alasan di balik kebijakan pemerintah.

“Pemerintah harus bertindak berdasarkan prinsip keadilan dan keberlanjutan, bukan hanya karena tekanan. Negara butuh keberanian untuk bersikap, bukan justru selektif dalam menerapkan aturan.” kata Trubus.

Sorotan Greenpeace dan Warganet

Polemik ini bermula pada Selasa 3 Juni 2025, anggota Greenpeace bersama empat pemuda asal Raja Ampat Indonesia melakukan aksi damai saat Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroseno, berpidato dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta.

Aktivitas tambang nikel di beberapa pulau di Raja Ampat, di antaranya Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran disebut telah menyebabkan kerusakan ekosistem hutan yang sangat signifikan.

Warganet ramai-ramai membagikan unggahan yang menyoroti kerusakan lingkungan di Raja Ampat, Papua Barat, yang disebut terdampak aktivitas tambang nikel dengan menggunakan tagar #SaveRajaAmpat.

Unggahan di media sosial tersebut umumnya berbentuk template Instagram Story dengan narasi “Papua bukan tanah kosong” atau cuplikan dari kampanye Greenpeace yang memperlihatkan kondisi hutan yang telah diterabas hingga tampak area cokelat gundul di tengah hamparan hijau.

red
Foto: Greenpeace Indonesia


Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas mengungkapkan temuan keberadaan lima izin aktif pertambangan yang empat di antaranya berada di dalam kawasan Global Geopark Raja Ampat, wilayah yang diakui UNESCO karena kekayaan biodiversitasnya.

Namun, Arie menyebut ada 16 izin tambang yang pernah diterbitkan di kawasan Raja Ampat. Meski sebagian sudah dicabut, lima izin saat ini masih aktif, dan tiga lainnya tengah menggugat di pengadilan dengan peluang besar untuk kembali aktif.

“Salah satu wilayah paling rusak adalah Pulau Manuran. Izin tambang di sana dipegang oleh perusahaan yang 60% sahamnya dimiliki PT Ancina,” ujar Arie dalam konferensi pers di kanal Youtube Greenpeace, Kamis (12/6/2025).

Sementara itu, izin tambang di Pulau Gag yang dipegang PT Antam juga tidak dicabut, meskipun masyarakat setempat dan berbagai pihak menolak keras aktivitas tersebut.

Jejak Oligarki dan Konflik Kepentingan

Greenpeace juga menyoroti konflik kepentingan di balik perusahaan-perusahaan tambang tersebut. Arie menyebut bahwa PT Antam dan anak usahanya, PT Gag Nikel, memiliki jajaran komisaris yang diduga merupakan Politically Exposed Persons (PEP) atau tokoh-tokoh yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan.

Beberapa nama yang disorot Greenpeace di antaranya:
• Sabtono Aji, Komisaris PT Gag Nikel dan staf khusus Kepala BIN.
• Ahmad Fahrurozi, Komisaris PT Gag Nikel dan pembina PBNU.
• Bambang Sunarwibowo, Komisaris PT Antam dan mantan Sekretaris Utama BIN.
• Fuad Bawazier, Komisaris Utama Mind ID, eks Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran.
• Grace Natalie Louisa, Komisaris Mind ID dan pendiri Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

“Ini menunjukkan adanya jaringan kekuasaan yang menancap kuat di balik industri tambang. Ini bukan soal ekonomi semata, tapi soal bagaimana oligarki bekerja dalam membajak ruang hidup masyarakat adat dan kawasan konservasi,” tegas Arie.

red
Foto: Tangkapan Layar Youtube Greenpeace


Desakan untuk Tindakan Tegas

Greenpeace menilai pencabutan sebagian izin oleh Kementerian ESDM usai pertemuan dengan Presiden terpilih Prabowo masih menyisakan tanda tanya besar. Mereka mendesak pencabutan seluruh izin tambang di kawasan konservasi Raja Ampat dan peninjauan ulang peran para politisi serta aktor kekuasaan di balik korporasi tambang.

“Yang kami sebut sebagai ‘surga terakhir’ ini sedang digerogoti. Kalau tidak ada pengawalan ketat dari publik dan media, kita akan kehilangan Raja Ampat, bukan hanya sebagai warisan bangsa, tapi warisan dunia,” tutur Arie.

Penjelasan Pemerintah

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menjelaskan pencabutan dilakukan berdasarkan evaluasi dari aspek lingkungan, teknis, serta masukan dari masyarakat dan pemerintah daerah.

“Alasannya adalah pertama memang secara lingkungan, yang kedua adalah memang secara teknis setelah kami melihat ini sebagian masuk di kawasan geopark, dan yang ketiga adalah keputusan ratas dengan mempertimbangkan masukan dari pemerintah daerah dan juga adalah melihat dari tokoh-tokoh masyarakat yang saya kunjungi,” ujar Bahlil dalam keterangan pers bersama sejumlah menteri Kabinet Merah Putih di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, pada Selasa, 10 Juni 2025.

Bahlil menegaskan bahwa Presiden Prabowo telah memerintahkan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan izin pertambangan yang masih beroperasi di lapangan.

red
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengecek langsung tambang nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, Sabtu (7/6/2025). ANTARA/Putu Indah Savitri/aa.


Bahlil juga menjelaskan bahwa pemerintah telah memulai penertiban sejak awal tahun 2025 pasca-terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, termasuk perizinan pertambangan di dalamnya. Penataan dilakukan secara bertahap dan menyeluruh, sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam membenahi sektor pertambangan secara sistemik.

Melalui pencabutan IUP ini, pemerintah berharap tidak ada lagi kebingungan atau informasi simpang siur, serta menegaskan komitmen untuk menata sektor pertambangan yang berkelanjutan dan berpihak pada perlindungan lingkungan serta kesejahteraan masyarakat.

Bahlil menyebut pertambangan nikel PT Gag Nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, sudah ada sejak 1972. Adapun anak perusahaan PT Aneka Tambang (Persero) Tbk. atau Antam itu menjadi satu-satunya perusahaan yang Izin Usaha Pertambangan-nya (IUP) tidak dicabut.

“PT Gag Nikel itu sejarahnya dari tahun 1972 eksplorasi. Kemudian, penandatangan Kontrak Karya-nya (KK) itu tahun 1998 (19 Februari 1998),” kata Bahlil.

“Saya harus sampaikan bahwa dari lima IUP yang beroperasi, yang mempunyai RKAB, itu hanya satu IUP yang beroperasi, yaitu PT Gag Nikel. Yang lainnya di 2025 belum mendapat RKAB,” tambahnya.

Bahlil menampilkan dokumentasi visual terkini dari lokasi tambang PT Gag Nikel yang memperlihatkan laut yang masih jernih serta kawasan tambang yang telah direklamasi sebagian. Menurut Bahlil, informasi visual yang simpang siur berisiko menciptakan persepsi yang keliru terhadap kebijakan pemerintah.

“Jadi sangatlah mohon maaf, tidak objektif, kalau ada gambar lain yang kurang pas,” imbuhnya.

Dalam kesempatan tersebut, Bahlil juga menegaskan bahwa klarifikasi visual ini penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap proses pengambilan keputusan pemerintah.

Baca juga:

Tambang Nikel Jadi Ancaman Nyata Kerusakan Lingkungan di Raja Ampat

GAG
Gag Nikel
Tambang
Izin Tambang Nikel
Nikel
Raja ampat

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...