NASIONAL

DPR dan Pemerintah Lawan Putusan MK, Publik Diminta Tidak Diam

"Kita butuh publik ya, karena di atas kedaulatan hukum itu kan ada kedaulatan rakyat,"

AUTHOR / Muthia Kusuma, Ardhi Ridwansyah

EDITOR / Muthia Kusuma Wardani

pilkada
Pendemo menyiramkan air ke personel Polri dalam simulasi pengamanan Pilkada di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (19/8/2024). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya.

KBR, Jakarta– Kalangan pakar hukum tata negara menilai draf Rancangan Undang-Undang Pilkada yang disepakati DPR dan pemerintah merupakan intrik politik untuk mempertahankan dominasi mayoritas parpol di pilkada. Pada draf RUU Pilkada itu, DPR dan pemerintah menyepakati perubahan syarat ambang batas pencalonan kepala daerah di pilkada dari jalur partai, hanya berlaku bagi partai yang tidak punya kursi di DPRD, sedangkan partai yang punya kursi di DPRD tetap mengikuti aturan lama.

Pakar Hukum Tata Negara Charles Simabura mengatakan, semestinya DPR dan pemerintah mematuhi keputusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024. 

"Ini betul-betul murni intrik politik yang dilakukan oleh DPR ya, dalam rangka untuk tetap mempertahankan dominasi mereka di dalam proses pencalonan di pilkada. Ini sungguh-sungguh merupakan wujud pemufakatan jahat untuk dapat menjegal partai politik tertentu untuk tidak bisa ikut mencalonkan. Saya nggak tahu kenapa kemudian DPR sampai sebrutal itu ya dalam melakukan, padahal Keputusan Mahkamah Konstitusi itu cukup memberikan ruang yang sangat-sangat demokratis bagi partai politik sebagai sesama peserta pemilu untuk bisa ikut mencalonkan," ucap Charles kepada KBR, Rabu, (21/8/2024).

Pakar Hukum Tata Negara Charles Simabura mengatakan, pembangkangan atas putusan MK oleh DPR dan pemerintah telah berulang kali terjadi. Salah satunya saat pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk membatalkan putusan MK tentang UU Cipta Kerja.

"Pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi ini kan sebenarnya bukan sekali dua kali ya dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Salah satu contoh yang terang-benderang kan di UU Cipta Kerja, Bagaimana MK suruh kita membatalkan tapi malah justru mereka, presiden menghidupkannya dengan mekanisme Perpu gitu. Jadi saya ingin mengatakan ini penghancuran terhadap institusi hukum dan institusi demokrasi di negara kita," imbuhnya.

Baca juga:

Charles menegaskan, secara normatif pembangkangan DPR dan pemerintah itu bisa diganjar sanksi melalui gugatan uji materi ke MK. Namun, ia menyebut tetap ada kemungkinan peraturan itu kembali dibatalkan di parlemen. Dia menegaskan, sanksi yang paling kuat mestinya kritik dari masyarakat sipil.

“Kalau sanksinya tentu dari publik ya kita butuh publik ya, karena di atas kedaulatan hukum itu kan ada kedaulatan rakyat. Sekarang kan cuma rakyatnya sadar tidak kedaulatan mereka itu diambil oleh DPR? Ini kemudian kan yang kita lihat reaksi publik juga sepertinya biasa-biasa saja. Bagi saya ini lampu merah bagi demokrasi kita," ucapnya.

Kawal putusan MK

Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan sejatinya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 yang mengubah ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Pilkada tak bisa dianulir.

Sebab, menurut Fadli putusan MK itu bersifat final dan mengikat, sehingga mesti dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang maupun penyelenggara pemilu.

“Jadi putusan MK itu enggak bisa dianulir dengan undang-undang apalagi dengan perpu. Kalau itu terjadi ya berarti pembangkangan terhadap konstitusi, perlawanan terhadap konstitusi, nanti hasil pilkadanya bisa batal semua dan kalau toh itu akan dilakukan ya nanti akan di-judicial review lagi ke MK untuk dibatalkan ketentuan haram itu,” ucapnya kepada KBR, Rabu (21/8/2024).

Menurut dia, putusan MK tersebut menjadi angin segar di tengah situasi demokrasi tanpa kompetisi.

“Iya kan itu yang jadi petumbangan MK kan, agar suara partai politik tidak terbuang dan menghindari munculnya banyak calon tunggal maka konfigurasi atau ketentuan terkait syarat pencalonan mesti diubah,” ujarnya.

Dia pun berharap agar publik tidak diam, dan bersama-sama mengawal putusan ini.

“Ya kan sekarang sudah jadi sorotan publik, ini kan praktik legislasi yang sangat culas ya. Saya kira tanpa perlu dikawal ini mesti dilihat sebagai sesuatu yang tidak benar, nanti kita lihat saja kalau memang DPR-nya main gila dengan pemerintah kan nanti di-judicial review lagi oleh publik ke MK,” jelasnya.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!