NASIONAL

Dompet Digital Rawan Jadi Alat Politik Uang

Masyarakat tidak menyadari transaksi tersebut masuk kecurangan pemilu.

AUTHOR / Heru Haetami

Dompet Digital Rawan Jadi Alat Politik Uang
Ilustrasi: Warga berada dekat iklan imbauan antipolitik uang di Stasiun KA Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis, (14/12/2023). (Foto: ANTARA/Uyu Septiyati Liman)

KBR, Jakarta- Peneliti Pusat Studi Politik-Hukum Pemilu dan Demokrasi (PoshDem) Universitas Andalas, Feri Amsari menyebut dompet digital berpotensi menjadi alat kecurangan pemilu lantaran digunakan sebagai media politik uang.

Namun kata dia, masyarakat tidak menyadari transaksi tersebut masuk kecurangan pemilu. Itu disampaikan Feri saat peluncuran penelitian titik rawan dan peta kecurangan Pemilu, di Jakarta, Minggu, 7 Januari 2024.

"Mereka bisa saja bilang ada pembagian sesuatu tetapi kami nggak ngerti ini politik uang. Karena yang mereka pahami politik uang menggunakan amplop. Sekarang tidak, sekarang sudah ada Shopee Pay, Go Pay, dan pay, pay yang lain," kata Feri, Minggu, (7/1/2024).

Peneliti PoshDem, Feri Amsari menilai, politik uang melalui dompet digital semestinya menguntungkan penyelenggara pemilu dalam pengawasan kecurangan. Sebab, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), akan lebih mudah mengumpulkan bukti lantaran ada jejak transaksi.

Titik Rawan dan Peta Kecurangan Pemilu 2024 diinisiasi sejumlah organisasi pemerhati demokrasi dan pemilu, antara lain Perludem. Salah satu kecurangan yang dipetakan yakni pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah yang dinilai inkonstitusional.

Penelitian menyebut, pengangkatan Pj mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengangkatan Pj yang sebagian di antaranya merupakan personel TNI/Polri. Selain itu, mengabaikan demokrasi, tidak menjalankan putusan KIP, dan mengabaikan rekomendasi Ombudsman terkait dugaan maladministrasi proses penunjukan Pj.

Baca juga:

Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!