NASIONAL

Dispensasi Kawin, Hakim Bersertifikasi Peradilan Pidana Anak, dan Budaya

Dispensasi kawin adalah pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami atau isteri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan.

AUTHOR / Ardhi Ridwansyah, Hoirunnisa

Dispensasi Kawin, Hakim Bersertifikasi Peradilan Pidana Anak, dan Budaya
Ilustrasi: Sejumlah siswa membawa poster setop perkawinan anak di depan Kantor Gubernur Jateng, (20/11/2017). (Antara-Aditya Pradana)

KBR, Jakarta- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendorong peningkatan kapasitas hakim yang mengadili permohonan dispensasi kawin. Hal ini bisa menjadi salah satu langkah menghalangi kenaikan kawin anak.

Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah yakin, dispensasi kawin dapat diperketat jika hakim lebih memahami hak anak.

Karena itu menurutnya, perlu ada penguatan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi.

"Kalau dari perspektif perlindungan anak akan lebih detail lagi mengetahui apa yang menjadi latar belakang, bagaimana anak memberikan kesaksian dan apa yang kemudian menjadikan anak ini memutuskan untuk menikah atau tidak. Nah, hal-hal seperti ini yang kemudian mensyaratkan bahwa hakim juga harus memiliki sertifikasi atas anak ini yang KPAI tunjukan sebagai penyempurnaan bukan berarti tidak berkualitas," ujar Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah kepada KBR, Selasa, (20/6/2023).

Pelatihan Hakim

Merespons itu, Mahkamah Agung (MA) mengeklaim telah menggelar Pelatihan Sertifikasi Peradilan Pidana Anak (SPPA) maupun pelatihan singkat dengan materi Peraturan MA Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin untuk para hakim.

Juru bicara Mahkamah Agung, Suharto mengatakan, pelatihan tersebut digelar secara bergelombang setiap tahun. Kata dia, pelatihan digelar secara hibrid baik luar jaringan (luring) maupun dalam jaringan (daring).

Dia mengaku belum semua hakim mendapat sertifikasi peradilan pidana anak, sebab pelatihan diikuti secara bertahap. Karena itu, belum semua hakim mengikuti pelatihan secara menyeluruh. Faktor lain adalah keterbatasan anggaran.

“Saat diklat (pendidikan dan pelatihan, red) itu diadakan, kan, memerlukan anggaran, kan hakimnya tujuh ribu lebih, kan enggak mungkin (langsung semuanya), dia harus bergelombang. Bergelombang itu sesuai dengan anggaran yang di satker diklat itu sendiri,” kata Suharto kepada KBR, Selasa,(20/6/2023).

Menurut Suharto, terkait dispensasi kawin yang tertera dalam PERMA Nomor 5 Tahun 2019, hakim tentu mempertimbangkan sejumlah hal terkait perkawinan dengan calon suami atau istri di bawah 19 tahun. 

Hal yang dipertimbangkan hakim antara lain mencakup mendengarkan keterangan anak hingga meminta rekomendasi psikolog maupun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Tujuannya untuk mengetahui apakah anak itu menikah dengan kemauan sendiri atau dengan paksaan.

Fenomena Kultural

Kendati demikian, Suharto menjelaskan perkawinan anak merupakan fenomena kultural yang masih terjadi hingga kini. Sehingga jika memang ingin mencegah perkawinan anak, maka perlu mengubah pola pikir masyarakatnya terlebih dahulu.

“Makanya efisiennya penegakan hukum itu kalau budaya hukumnya mendukung. Nah kalau masyarakat kita masih berkebiasaan mengawinkan anak-anak setelah haid atau setelah dikhitan, atau pada usia-usia yang sebetulnya belum memenuhi menurut undang-undang ini kan tugas kita semua untuk pelan-pelan kita budayakan sampai masyarakat sadar secara hukum,” ucap Suharto.

Belum Maksimal

Sementara menurut Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jakarta, Indah Sulistyowati, kehadiran PERMA Nomor 5 Tahun 2019 sebetulnya untuk memperketat perizinan dispensasi kawin dengan calon suami atau istri di bawah 19 tahun. Namun menurutnya, penerapan di lapangan belum maksimal.

“Dengan melalui PERMA Nomor 5 Tahun 2019 itu sebenarnya tujuannya adalah untuk memperketat dispensasi untuk kawin namun demikian implementasi di lapangan kayaknya belum maksimal karena kurang pemahaman atau sosialisasi, biasanya kita diberikan pelatihan untuk pendalaman materi terkait PERMA itu sendiri,” ucap Indah saat Peluncuruan Laporan Studi Dispensasi Kawin yang digelar Plan Indonesia dan Kementerian PPPA, Senin, 19 Juni 2023.

Dispensasi Kawin

Dispensasi kawin adalah pemberian izin kawin oleh pengadilan kepada calon suami atau isteri yang belum berusia 19 tahun untuk melangsungkan perkawinan.

Namun, dispensasi itu dinilai bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Pasal itu menyatakan, bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria berusia minimal 19 tahun dan pihak wanita minimal 19 tahun.  

Berdasarkan temuan terbaru Plan Indonesia, pengabulan dispensasi kawin di Kabupaten Lombok Barat, NTB, dan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, persentasenya berkisar 70 hingga 95 persen pada 2020 hingga 2022.

Data Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2021, ada 59.709 dispensasi pernikahan anak di pengadilan agama. Angka ini menurun 7 persen jika dibanding 2020, yang mencapai 64.211

Baca juga:

Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!