BERITA

Di-cap Anak PKI, Supripto Terpaksa Pindah Ke Yogyakarta

Suripto kecil yang, saat tragedi '65 meletus masih berusia dua tahun, tak tahu-menahu alasan bapaknya dibui.

AUTHOR / Muhamad Ridlo Susanto

Di-cap Anak PKI, Supripto Terpaksa Pindah Ke Yogyakarta
Suripto, anak bekas Tapol ’65 (Foto: KBR/ Muhamad Ridlo)

KBR, Banyumas - Keluarga korban '65 meminta pemerintah segera mengungkap kebenaran tragedi pembantaian massal 1965/1966. Ini dilakukan untuk memutus stigma bagi penyintas dan keluarga korban.

Salah satu anak bekas tahanan politik (Tapol) tragedi '65 asal Cilacap, Suripto bercerita, lantaran cap sebagai anak anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), dirinya terpaksa harus pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan. Sebab saat itu di sekolah, stigma anak PKI membuat kawan dan guru memusuhinya.

Suripto kecil yang, saat tragedi '65 meletus masih berusia dua tahun, tak tahu-menahu alasan bapaknya dibui.

"Orang tua saya itu hanya rubuh-rubuh gedang. Hanya ikut-ikutan saja, tidak menjadi pengurus ranting, tidak menjadi anggota PKI. Tidak ada itu. Karena dengan BTI-nya (Barisan Tani Indonesia--Red) dan buruh itu sehingga dikatakan orang yang masuk dalam BTI itu dianggap sebagai PKI," jelasnya.

Bapak Supripto, dipenjara di Nusakambangan. Padahal saat itu, lanjut Supripto, bapaknya hanya bergabung dalam Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SARBUPRI) dan Barisan Tani Indonesia (BTI).

"Orangtua saya juga tidak tahu bahwa Sarbupri dan BTI merupakan underbouw PKI," imbuhnya.

Itu sebab, ia mengaku heran saat orangtuanya juga ikut dituding melakukan tindakan makar. Maka ia mendesak pemerintah membuka fakta terkait latar belakang tragedi di tahun-tahun tersebu. Termasuk, jumlah korban dari masyarakat sipil. Pengungkapan kebenaran, kata dia, sangat berguna untuk menghapuskan stigma yang selama ini ditanggungnya.

"Saya beban moral karena saya yang tidak tahu apa-apa, saya membawa dosa politik dan menanggung stigma itu. Bahkan saya tidak tahu persis PKI itu seperti apa," kenangnya saat berbincang dengan KBR di Cilacap, Rabu (11/5).

Negara, kata dia, harus bertanggung jawab menuntaskan kasus tersebut. Sebab hingga kini, stigma PKI masih terus dirawat bahkan kembali dibangun oleh kelompok tertentu.



Editor: Nurika Manan

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!