NASIONAL
Dedi Mulyadi Dilaporkan Komnas HAM karena Kirim Siswa ke Barak Militer
Pelapornya adalah Adhel Setiawan, seorang wali murid asal Babelan, Kabupaten Bekasi.

KBR, Jakarta- Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait program pembinaan siswa di barak militer. Pelapornya adalah Adhel Setiawan, seorang wali murid asal Babelan, Kabupaten Bekasi.
Adhel melaporkan gubernur Jabar didampingi kuasa hukumnya, Rezekinta Sofrizal, Kamis, 8 Mei 2025.
"Pelaporan tersebut sebagai bentuk protes atas kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang menempatkan anak-anak bermasalah di barak militer," kata Adhel di Babelan, Senin, 12 Mei 2025, seperti dikutip KBR dari Kompas.com, Rabu, 14 Mei 2025.
Adhel menilai, ada pelanggaran HAM dalam program Dedi Mulyadi mengirim anak-anak yang ia klaim nakal ke barak militer. Adhel tidak terima dalih pembentukan karakter jadi alasan Dedi untuk inisiatifnya tersebut.
Menurutnya, meski anak-anak berperilaku nakal, mereka seharusnya dibimbing orang tua, guru, dan pemerintah, bukan oleh prajurit TNI.
"Tidak ada satu pun jaminan bahwa dengan dimasukkan ke barak, perilaku anak akan menjadi baik," ujar Adhel.
Tidak Tepat
Kritik serupa sebelumnya juga disampaikan Psikolog Anak, Feka Angge Pramita. Menurutnya, penerapan pendidikan karakter ala militer untuk siswa yang dituding nakal di Jawa Barat tidak sepenuhnya tepat.
Secara psikologis, anak akan menjadi lebih memahami diri mereka, tetapi juga berdampak negatif pada relasi anak dan keluarga.
"Apabila hal itu belum terpenuhi atau belum matang maka hal ini akan berdampak negatif gitu secara psikologis, karena banyak terpisah dari orang tua gitu, ya, dan hanya fokus dengan pendidikan yang ada di sekolah saja," ujar Psikolog Anak, Feka Angge Pramita kepada KBR, Rabu, (8/5/2025).
"Meskipun dampak hal ini pun sangat mungkin saja dialami oleh anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan berbasis militer tapi anak-anak yang memang tinggal di asrama gitu, ya," katanya.
"Harapannya saat mereka nanti terjun ke masyarakat, mereka sudah terbiasa ketika ada sebuah pola relasi di mana harus mengikuti apa yang menjadi arahan dari figur yang lebih otoritas. Memang kalau dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain pada umumnya, titik yang paling berbeda memang terletak pada kedisiplinan," ungkapnya.
"Sangat jomplang sekali sebenarnya, karena diharapkan kalau di pendidikan berbasis militer sama seperti bagaimana relasi militer yang kita tahu, adanya strata gitu, ya, adanya ranking," imbuhnya.
Menciptakan Strata
Feka mengatakan, pendidikan militer membentuk sistem strata atau ranking yang mendorong siswa mengejar pangkat melalui pencapaian tertentu. Sistem ini dapat memotivasi siswa, namun di sisi lain pendekatan ini menciptakan risiko besar jika tidak diimbangi penyediaan ruang mengelola emosi.
"Hal ini tentu saja di satu sisi akan memunculkan sisi lain yang kita bisa bilang adanya-adanya daya juang, motivasi internal dari dalam dirinya remaja ataupun eksternal, terpacu, termotivasi sehingga akhirnya dia mau mencapai hal yang diberikan supaya dia mendapatkan pangkat itu," jelasnya.
"Pendidikan berbasis militer ini dampak psikologisnya kalau kita lihat tidak hanya terkesan negatif saja, tapi memang ada positifnya," tuturnya.
"Sehingga seolah-olah emosi itu tidak bisa ditampilkan dengan cair, dengan santai, karena adanya tuntutan dari lingkungan yang ada di sekitar anak itu karena pendidikannya berbasis militer. Dan pendidikan berbasis militer yang saya tahu sekolah-sekolah ini menekankan adanya tinggal bersama," imbuhnya.
"Jadi, diharapkan pola kedisiplinan dan pendidikannya itu terus menerus. Artinya ya memang seratus persen memang diserahkan kepada sekolah, kepada pihak pendidik ini," katanya.

Tidak Sepenuhnya Cocok
Feka mengatakan, perlu menyesuaikan metode dengan usia dan kondisi anak, serta memastikan adanya komunikasi yang sehat antara anak dan orang dewasa di sekitarnya.
Pendidikan militer yang cenderung lebih kaku tidak membantu perkembangan anak secara utuh. Feka mengatakan, pendidikan untuk siswa nakal harus jauh dari bentakan, hukuman fisik, apalagi psikis.
"Pendidikan militer penuh dengan struktur yang perlu mempertimbangkan dengan siapa, dia berbicara, pangkatnya di mana, ranking-ranknya, peringkatnya bagaimana, dan hal ini tentu saja akan membuat relasi komunikasi dan kedekatan yang seharusnya bisa menjadi fondasi bagi anak itu, bagi remaja itu berkembang, maka tidak berkembang," ujarnya.
"Jika diadopsi sepenuhnya berbasis militer, tentu saja tidak tepat dan itu memberikan dampak yang tidak terlalu banyak men-support perkembangan anak secara utuh sebagai manusia," imbuhnya.
Meski mampu membentuk kedisiplinan, pendekatan militer dinilai berisiko menekan kebebasan dan keinginan anak. Tekanan untuk mengikuti aturan yang bertentangan dengan keinginan pribadi dapat berdampak negatif terhadap kemandirian dan pekembangan priskologis anak.
"Anaknya bisa saja akan disiplin, akan menjadi mengikuti aturan, tetapi di sisi lain ada hal-hal yang kalau itu bertentangan sekali dengan apa yang sebenarnya dia ingin lakukan, maka hal itu menjadi berdampak negatif sebenarnya bagi perkembangannya dia dan bagaimana nantinya dia bisa menjadi individu yang lebih mandiri," ungkapnya.
Bagaimana Pendekatan Nonmiliter?
Feka mengatakan, orang tua perlu memahami bahwa kondisi fisik anak yang lebih besar bukan berarti mereka mampu berpikir dan bertanggung jawab layaknya orang dewasa. Kesalahan umum ini kerap membuat orang tua melepaskan pendampingan terlalu dini.
"Sehingga jangan ketika kelihatannya mereka sudah berkumis, kelihatannya sudah badannya lebih besar daripada orang dewasanya, menganggap bahwa mereka bisa gede sendiri, mereka kan sudah gede jadi bisa berpikir sendiri," ujarnya.
"Yang harus di-coaching, di-training, atau mungkin mendapatkan pendidikan, itu bukan hanya anaknya saja. Tetapi, juga orang tuanya, walinya, sekolahnya mungkin, ataupun orang-orang yang tinggal bersama dengan si anaknya," katanya.
"Jadi, kalau definisi dari anak nakal, artinya kenakalan rermaja di mana sudah masuk dalam ranah kriminalitas karena sudah membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Nakal yang sudah melewati batasan hukum," imbuhnya.
Feka menyebut, tidak cukup mengandalkan pendidikan militer untuk menangani kenakalan siswa. Pemerintah perlu melibatkan profesional untuk melakukan program dan pemantauan sehingga kebutuhan psikologis anak terpenuhi. Feka mengatakan perubahan perilaku siswa nakal idealnya berlangsung secara intensif dan konsisten secara jangka panjang.
"Itulah penting sekali kalau kita bicara pemerintah, maka melihat missing link-nya di mana. Apalagi dengan zaman sekarang banyak PHK. Jadi, stres orang tua akan mempengaruhi relasi orang tua dengan anak. Memang butuh profesional. Jadi, butuh profesional. Artinya butuh ada program, dilakukan dan dipantau oleh profesional," ujarnya.
"Tidak bisa hanya dalam jangka waktu yang singkat sebenarnya. Jadi, kalau itu bisa dilakukan setiap minggu dan setiap minggu itu tadi secara bergantian. Misalkan ada konseling keluarga bersama dengan psikolog, pekerja sosial itu memantau seminggu dua kali misalkan, guru juga memantau. Kalau ini berhubungan dengan kenakalan remaja yang bersifat lingkungan, maka lingkungannya pun itu harus diubah," pungkasnya.

Siswa Bermasalah
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyekolahkan siswa bermasalah agar digembleng di barak militer mulai 2 Mei 2025. Program ini menggandeng TNI dan Polri.
Dedi Mulyadi mengatakan, rencana ini bertujuan membina siswa yang terindikasi nakal agar terhindar dari perilaku negatif.
“Selama enam bulan siswa akan dibina di barak dan tidak mengikuti sekolah formal. TNI yang akan menjemput langsung siswa ke rumah untuk dibina karakter dan perilakunya," ujar Dedi kepada wartawan di Bandung, Minggu, (27/4/2025).
Dalam program ini, siswa dipilih berdasarkan kesepakatan antara sekolah dan orang tua. Prioritasnya adalah siswa yang sulit dibina atau terindikasi terlibat pergaulan bebas maupun tindakan kriminal.
Bertahap
Dedi menyebut nantinya program ini tidak akan dijalankan serentak, namun bertahap ke daerah yang dianggap rawan.
Kata dia, sekitar 30-40 barak khusus telah disiapkan TNI.
"Tidak harus langsung di 27 kabupaten/kota. Kita mulai dari daerah yang siap dan dianggap rawan terlebih dahulu, lalu bertahap," katanya.
Dedi menjelaskan, pembiayaan program akan dilakukan melalui kolaborasi antara Pemprov Jabar dan pemerintah kabupaten/kota yang terlibat.

Perlu Dikaji
Terpisah, Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengaku belum mengetahui detail program mengirim siswa nakal ke barak militer yang digagas gubernur Jawa Barat.
Namun, ia menilai semua upaya yang bertujuan memperbaiki karakter anak-anak bangsa patut diapresiasi. Tetapi menurutnya, kebijakan itu tetap perlu melalui kajian mendalam terkait pendekatan dan dampaknya.
"Saya belum paham benar gagasan dasarnya dan solusi apa yang ditawarkan. Tetapi, setiap upaya untuk anak-anak kita menjadi lebih baik itu baik, meski caranya tentu perlu dikaji,” ujar Gus Ipul di Yogyakarta, Sabtu (3/5/2025) malam.
Kata Gus Ipul, selama ini Kementerian Sosial fokus menangani kelompok rentan seperti anak-anak telantar, korban kekerasan, perempuan korban perdagangan orang dan mereka yang mengalami masalah psikologis.
Karenanya, ia menekankan perlu pendekatan rehabilitatif dan edukatif dalam menangani permasalahan anak dan remaja.
"Kami biasanya menangani yang betul-betul rentan secara sosial, psikologis, dan hukum. Kalau pendekatannya militer, itu harus dikaji apakah sesuai dengan hak anak dan prinsip perlindungan anak," pungkasnya.
Baca juga:
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!
Don juana month ago
Psikolog2 itu bisanya cuma kasih positif dan negatif tapi hingga saat ini tak ada langkah pasti selain konseling. Segala hal itu ada positif dan negatif sudah tentu. Tapi tinggal memutuskan bukan sekedar menimbang tanpa keputusan. Krn sering diberi kelonggaran disiplin jadi tidak ada. Yang digagas adalah kedisiplinan dan kebiasaan bukan masalah jiwa. Anak remaja belum bisa ambil keputusan matang. Sebaiknya didisiplin dahulu. Terlalu kompleks berpikir kaji ini itu dan hasilnya pun belum tentu.