Penulis: Aris Santoso
Editor:
KBR68H, Jakarta - Setelah diperjuangkan sekitar 12 tahun, akhirnya terbentuk juga Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), sebagai provinsi ke-34 dalam wilayah RI. Provinsi Kaltara sebagai DOB (daerah otonom baru) disahkan dalam sidang paripurna DPR tanggal 25 Oktober 2012 lalu.
Provinsi Kaltara adalah pemekaran dari Provinsi Kaltim. Adapun yang masuk dalam Provinsi Kaltara adalah Kabupaten Bulungan, Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Tana Tidung dan Kota Tarakan.
Dilihat dari segi kewilayahan, Kaltara sebenarnya identik dengan Bulungan, sebelum terjadi pemekaran. Wilayah Malinau, Nunukan, Tana Tidung, termasuk Kota Tarakan, sebelumnya merupakan bagian Kabupaten Bulungan. Karena itu, sebagai bentuk penghormatan terhadap Bulungan, Tanjung Selor ditetapkan sebagai ibukota Kalimantan Utara.
Pemekaran Bulungan tidak dapat dipisahkan dari eforia pembentukan DOB pascareformasi. Malinau dan Nunukan lepas dari Bulungan secara bersamaan, yakni pada 4 Oktober 1999. Kemudian menyusul pembentukan Kabupaten Tana Tidung, pada 17 Juli 2007. Sementara Kota Tarakan adalah wilayah yang paling awal lepas dari Bulungan, sejak masa Orde Baru. Pada 1981, Tarakan ditetapkan sebagai kota administratif. Kemudian pada 1997, Tarakan resmi sebagai kotamadya.
Dua Konsep Kalimantan Utara Dalam memori bangsa Indonesia, istilah Kalimantan Utara sebenarnya bukanlah gagasan yang terlalu asing. Pada awal 1960-an, Bung Karno mengintrodusir istilah Kalimantan Utara, ketika sedang panas-panasnya pelaksanaan politik konfrontasi terhadap Malaysia. Namun, istilah Kalimantan Utara yang dimaksud Bung Karno, merujuk pada wilayah Sabah dan Serawak, yang masuk wilayah Malaysia.
Konfrontasi terhadap Malaysia (dan Singapura) terjadi pada penggal terakhir kekuasaan Bung Karno. Sesuai dengan gaya Bung Karno saat berkuasa - yang gemar merilis istilah bombastis dan membentuk lembaga ekstra parlementer - demikian pula saat konfrontasi dengan Malaysia. Bung Karno mencanangkan Operasi Dwikora dan membentuk Kogam (Komando Ganyang Malaysia). Saat Bung Karno benar-benar jatuh pada 1966, konfrontasi (beserta Operasi Dwikora) dengan sendirinya berakhir.
Konfrontasi sendiri adalah perwujudan pola pikir (mindset) Bung Karno dalam menentang dominasi negara Barat, dalam hal ini Inggris. Ketika itu, dunia memang sedang dilanda perang dingin, antara kekuatan di bawah pengaruh AS, melawan kekuatan di bawah pengaruh Uni Soviet. Inggris sendiri berada di pihak AS. Sementara Indonesia lebih condong ke Uni Soviet, mengingat PKI masih eksis saat itu, terlebih persenjataan TNI (d/h ABRI) banyak dipasok dari Uni Soviet dan Eropa Timur.
Dalam praktik operasional di lapangan, konfrontasi sendiri tak lebih dari sebuah perang urat saraf, ketimbang perang terbuka yang biasa kita kenal. Karena itu pasukan yang dikirim ke perbatasan Malaysia, khususnya ke Sabah, disebut dengan sukarelawan, untuk memberi kesan mereka bukanlah tentara reguler yang dikirim secara resmi oleh pemerintah. Istilah sukarelawan sendiri bernuansa politis dan kamuflase, karena dalam kenyataannya, sukarelawan itu umumnya berisi tentara reguler juga, hanya sebagian kecil saja yang benar-benar warga biasa.
Secara kebetulan, wilayah yang sekarang ini menjadi Provinsi Kalimantan Utara, berbatasan langsung dengan “Kalimantan Utara” versi Bung Karno, yaitu Sabah. Wilayah yang kini masuk Malinau atau Nunukan, merupakan basis para sukarelawan, bila akan menyusup ke wilayah Sabah. Wilayah-wilayah yang menjadi basis sukarelawan antara lain: Simanggaris, Nunukan, Siglayan, Sebatik, dan seterusnya.
Aspirasi Lama
Kalau Bung Karno di masa lalu pernah mengintrodusir gagasan Kalimantan Utara, kini gagasan tersebut benar-benar terwujud, dengan lahirnya Provinsi Kalimantan Utara. Bahkan di Tanjung Selor - ibukota Kabupaten Bulungan yang kini ditetapkan sebagai ibukota Kaltara - sudah sejak lama berdiri perguruan tinggi swasta, dengan nama Universitas Kalimantan Utara (Unikal), jauh sebelum Prov Kaltara sendiri resmi berdiri. Penamaan kampus tersebut, bisa dijadikan petunjuk bahwa aspirasi pembentukan Kaltara sudah berlangsung lama.
Alasan generik yang selalu muncul saat pembentukan DOB, adalah untuk mempercepat pembangunan, memperpendek hirarki, meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan bagi rakyat. Menilik pengalaman pembentukan DOB sebelumnya, lebih banyak cerita kegagalannya ketimbang keberhasilannya. Dari data Kemendagri, 80 persen lebih daerah otonom baru yang dimekarkan sejak 1999 gagal mencapai tujuan utama yang memperbaiki pelayanan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Aktivis antikorupsi di Samarinda, Carolus Tuah, termasuk yang ragu soal motivasi pembentukan Kaltara, apakah benar-benar untuk kepentingan rakyat. Menurut Carolus, yang juga Koordinator Pokja 30 Kaltim, pembentukan Kaltara sebenarnya hanyalah pengulangan pengalaman yang sama, di mana kepentingan elite lokal lebih berperan. “Masih harus dibuktikan soal niatan percepatan pembangunan bagi kesejahteraan rakyat,” ujar Tuah.
Hal senada disampaikan pengajar Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman, Kismanto Sastroamidjojo, yang menyebutkan euforia pemekaran wilayah pascareformasi di Kaltim memang gila-gilaan. Menurut Kismanto, fenemena ini dipelopori oleh Syaukani, ketika membentuk Kabupaten Kutai Kartanegara, yang kebetulan daerahnya sangat kaya sumber daya alam.
“Khusus untuk Kaltara, terkesan ada unsur primordialnya juga, di mana komunitas Tidung ingin menaikkan posisi tawarnya,” tambah Kismanto.
Sementara Rinda Desianti, pengajar di Universitas Kutai Kartanegara, masih menaruh harapan besar terhadap prospek Kaltara. Menurut Rinda, sangat wajar bila Kaltara didirikan, karena wilayah Kaltim memang sangat luas. Soal kepentingan elite lokal, Rinda yang juga anggota KPU KKN, menganggap tidak terlalu signifikan. Rinda menyebut tokoh utama di balik pendirian Kaltara, yaitu Jusuf SK, yang juga bekas Walikota Tarakan dua periode.
“Saya melihat Pak Jusuf tidak memiliki kepentingan pribadi, ini semua dilakukannya demi kepentingan masyarakat," ujar Rinda.
Sesepuh masyarakat Kaltim di Jakarta, Soehario Padmodiwiryo yang kerap dipanggil Hario Kecik, sudah mewanti-wanti, agar unsur pimpinan daerah di Kaltara, benar-benar berkomitmen bagi perbaikan nasib rakyat. Hario Kecik adalah bekas Pangdam Mulawarman (1959-1965), tahun-tahun ketika terjadi konfrontasi dengan Malaysia.
Meski sudah lama tidak berkunjung ke Kaltim, Hario Kecik mengaku masih menaruh perhatian khusus pada wilayah Kaltim (termasuk Kaltara), yang disebutnya memiliki kekayaan alam yang melimpah, seperti batubara, emas, dan kemungkinan platinum, selain minyak tentunya.
“Kaltim sejak dulu sudah diincar perusahaan-peruasahaan asing, terutama Inggris,” tambah Hario. (Aris Santoso)